STOVIA: Kisah Sekolah Dokter Gratis Di Jaman Kolonial

Anda tahu berapa biaya masuk Fakultas Kedokteran sekarang ini? Kata Menteri Kesehatan, Endang Rahayu, biaya kuliah di fakultas kedokteran rata-rata antara Rp 35 sampai Rp 50 juta per mahasiswa per semester.

Namun, di sejumlah perguruan tinggi negeri, biaya SPP fakultas kedokteran bisa mencapai ratusan juta. Di Universitas Airlangga, pada jalur yang disebut Penelusuran Minat dan Kemampuan Umum atau PMDK Umum, biaya SPP-nya bisa mencapai 800-an juta. (Sumber: Kompas)

Anda pernah dengar STOVIA? STOVIA dikenal sebagai pencetak tokoh pergerakan generasi awal: Tjipto Mangungkusumo, Wahidin Soedirohusodo, dan Dr. Sutomo. STOVIA ini singkatan dari School tot Opleiding van Indische Artsen (Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera).

Pada tahun 1800-an, di Jawa menyebar wabah penyakit. Pemerintah kolonial agak kesulitan mengatasi soal ini. Menyewa atau mendatangkan dokter dari Eropa tentu sangat mahal. Makanya, muncullah keinginan mendidik kaum pribumi agar menjadi mantri.

Pusat sekolah itu ada di Waltervreden, Batavia, di sebuah rumah sakit militer—sekarang bernama RSPAD. Lulusan sekolah ini disebut “Dokter Jawa”, namun sebagian besar menjadi mantri cacar. HF Roll, saat menjabat sebagai direktur Sekolah Dokter Jawa, mengusulkan ke pemerintah Belanda agar menyelengggarakan pendidikan kedokteran yang dapat disetarakan dengan pendidikan kedokteran yang ada di Eropa (Belanda). Dari usalan Roll itu munculah STOVIA.

Pada tahun 1903, sekolah ini diubah menjadi STOVIA.  Tetapi versi lain menyebutkan, perubahan nama terjadi pada 1889, yaitu menjadi chool tot Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen. Lalu, pada 1898, sekolah ini berubah nama lagi menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA).

Pada tahun 1920, secara bertahap pendidikan STOVIA di daerah Kwini, Senen, dipindahkan ke Salemba (sekarang kampus Universitas Indonesia). Sedangkan gedung lama di daerah Kwini, Senen, sempat gonta-ganti fungsi sebelum ditetapkan sebagai Museum Kebangkitan Nasional pada tahun 1974.

Sementara itu, kebutuhan kolonialis akan tenaga kesehatan makin meningkat. Pada awalnya, penguasa kolonial memberi iming-iming berupa beasiswa dan perumahan gratis kepada orang-orang keturunan priayi. Tetapi syaratnya jelas: mereka harus siap bekerja dinas pemerintah. Umumnya, ditempatkan sebagai mantri cacar.

Namun, para priayi—yang kurang tertarik dengan pekerjaan sebagai dokter atau mantri—kurang tertarik masuk sekolah itu. Sekolah kekurangan murid. Akhirnya, pada tahun 1891, sekolah ini dibuka untuk umum. Situasi itu menyeret anak-anak priayi kalangan menengah.

STOVIA juga membebaskan mahasiswanya dari kewajiban membayar. Selain itu, mahasiswa juga mendapat alat-alat kuliah dan seragam gratis. Juga setiap mahasiswa menerima uang saku sebesar 15 gulden per-bulan. Hal Ini untuk mendongkrak minat orang muda masuk ke sekolah dokter. STOVIA sering disebut sekolah orang miskin.

Kenapa STOVIA bisa menjadi pusat gerakan dan melahirkan banyak aktivis?

Dengan pembebasan biaya itu, maka banyak orang dari keluarga kurang mampu atau golongan priayi rendah masuk ke sekolah tersebut. Wahidin sendiri, misalnya, bukan seorang “Raden”. Demikian pula Cipto Mangunkusumo dan adiknya, Gunawan: mereka anak guru.

Salah satu tokoh yang juga sangat berkontribusi bagi pembangunan pergerakan di STOVIA adalah Ernest Douwes Dekker (Danudirja Setiabudhi). Ia tinggal di dekat STOVIA. E. Douwes Dekker saat itu, yang sudah bekerja sebagai wartawan, punya perpusatakaan dan ruang baca di rumahnya. Itulah yang menarik para mahasiswa STOVIA datang ke rumahnya.

Douwes Dekker ketika itu bekerja di Bataviaas Nieusblad, sebuah surat kabar yang awalnya cukup radikal. Lalu, ia merekrut sejumlah mahasiswa STOVIA untuk dimasukkan di koran tersebut. Dengan koran itu, Douwes Dekker menyiarkan pandangan politiknya.

Di situ pula para mahasiswa menyerap banyak informasi. Salah satunya tentang kebangkitan gerakan kaum muda di Turki. Mahasiswa mendiskusikan kejadian-kejadian tersebut. Selain itu, kehadiran sosok Wahidin Soediro Hoesodo, seorang dokter lulusan Sekolah Dokter Jawa, juga sangat mempengaruhi kelahiran pergerakan.

Di  kampus STOVIA inilah berdiri organisasi “Boedi Oetomo”.

ANNA YULIA, Pemerhati Sejarah Tempo Doeloe

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid