STN Adukan Kasus Petani Sawit Jambi Ke DPD RI

Jakarta, Berdikari Online – Pasca Diskusi “Dengarkan Tani” yang diselenggarakan Pimpinan Wilayah Serikat Tani Nelayan (STN) Jawa Tengah dan KPD Ngesrep Balong Kabupaten Kendal, Pimpinan Pusat STN melanjutkan pertemuan dengan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Jum’at (29/9) di Jakarta untuk membahas kasus Petani Jambi secara detail sekaligus penyerahan berkas dari proses dan langkah yang sudah dilakukan.

Audiensi tersebut diterima langsung Dr. Filep Wamafma, S.H., M.Hum selaku Ketua Komite I DPD RI.

Dalam kesempatan tersebut, PP STN menyampaikan: di Wilayah Jambi ada 7 petani dari Kelompok Tani Hutan (KTH) yang ditahan oleh Polda Jambi.

Penahanan petani ini dengan tuduhan Pasal 363 KUHP tentang pencurian, kemudian ketua dari 4 KTH sedang dipanggil untuk disidik sebagai saksi.

Tuduhan pencurian tersebut di lahan Sawit salah satu koperasi Plasma dari PT. RKK dan penahanan juga dilakukan terhadap seorang sopir yang mengangkut Sawit.

Dari laporan yang sempat diunggah Berdikari Online, lahan tersebut bukan lagi dalam penguasaan PT. RKK berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara pada tingkatan Kasasi dengan nomor putusan 105 PK/TUN/2014 yang menyatakan PT. RKK secara hukum telah dihapus dan tidak lagi memiliki izin mengelola usaha perkebunan Kelapa Sawit.

Titik persoalan dan kronologi pelaporan yakni lahan yang diajukan sebagai objek perhutanan sosial seluas 2391 ha yang di dalamnya terdapat 306 ha HTI PT. WKS Tahun 2004. Muncul HGU PT. RKK seluas 682 ha yang terdiri dari 306 ha hutan yang merupakan HGU HTI PT. WKS dan Area Penggunaan Lain (APL) seluas 376 Ha. PT. RKK menanam Sawit melebihi HGU di dalam hutan seluas 2085 hektar. Tindakan ini merupakan kejahatan perkebunan yang merugikan negara. PT. WKS kemudian menggugat PT. RKK di pengadilan dan menang di semua tingkat persidangan.

“Sementara petani yang tergabung di 4 Kelompok Tani Hutan mengajukan Perhutanan Sosial di KLHK RI dalam posisi sedang menunggu verifikasi teknis yang terhambat karena belum dicabutnya HGU PT RKK oleh ATR/BPN RI.

Padahal menurut PP 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah, Pasal 14, 15, 31, 32, 33 yang prinsipnya menteri harus membatalkan HGU/kelola berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,” kata Rifai, Ketua Umum PP STN.

Dalam kondisi tersebut, Koperasi Plasma PT RKK disebutnya tetap melakukan pemanenan Sawit yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Hal ini memicu 4 KTH dan warga melakukan pendudukan di eks HGU PT RKK serta melakukan panen juga di luar APL (hutan dan areal HTI WKS).

“Koperasi merasa dirugikan hingga melakukan laporan, namun yang seharusnya melakukan laporan adalah PT WKS sebagai pemilik HGU di hutan seluas 306 ha dan KLHK RI karena Sawit yang ditanam PT RKK merupakan hutan seluas 2085 ha,” ungkap Rifai.

“Dengan dikalahkannya PT RKK di Pengadilan Tata Usaha maka secara otomatis plasma ini juga batal dan tidak boleh melakukan aktivitas perkebunan; begitu juga dengan pihak lain. Saat ini, kita STN ajukan pra peradilan. Sidang akan digelar pada 2 Oktober 2023,” kata Rifai menambahkan.

Menanggapi hal itu, Dr. Filep Wamafma menyampaikan bahwa pihaknya mengapresiasi dan menerima aspirasi serta aduan permasalahan masyarakat tersebut. Komite I akan mempelajari lebih lanjut dokumen-dokumen yang disampaikan PP STN.

“Kami sampaikan apresiasi atas kepercayaan masyarakat terhadap DPD RI untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat serta mengadvokasi persoalan di daerah. Persoalan ini mencerminkan adanya dugaan mafia tanah, mafia investasi di daerah. Oleh sebab itu selaku pimpinan Komite I, persoalan ini dapat diagendakan pada masa sidang ke II,” kata Filep.

“Selain itu terkait dengan adanya penangkapan terhadap para petani dengan dugaan pencurian di areal Perkebunan Sawit, pihak Polres atau Polda harusnya dapat menyelesaikan dengan restorative justice, mengingat kerugian materi tidak signifikan dibandingkan dengan beban hidup para petani dan keluarganya,” tambahnya.

Tak hanya itu, Filep menambahkan, Komite I DPD RI pada masa sidang yang akan datang juga akan mengagendakan pemanggilan Kapolri dan Menteri ATR/BPN terkait persoalan hukum yang dihadapi para petani, buruh, juga nelayan khususnya yang terkait dengan implementasi restorative justice.

“Tentu harapannya, persoalan yang sedang dihadapi para petani hutan di Jambi ini dapat segera menemui penyelesaian yang diharapkan bersama,” pungkasnya.

(Ika A.L)

[post-views]