Serikat Tani Nelayan : Dorong Pemprov NTB Menyelesaikan Konflik Agraria Melalui Program TORA

Nusa Tenggara Barat, Berdikari Online, Serikat Tani Nelayan Nusa Tenggara Barat sedang fokus perjuangkan agenda penyelesaian konflik agraria, terutama di 3 (tiga) tempat dengan acuan utama Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

Yang pertama, Kabupaten Lombok Barat, tepatnya di Pantai Duduk Desa Batu Layar Barat Dusun Batu Bolong. Konflik yang berkepanjangan antara masyarakat dengan individu yang mengklaim sebagai tanah pribadi di Muara Sungai yang berdempetan dengan sempadan Pantai, telah memicu warga yang saat ini berdagang di bibir pantai. “Warga dikriminalisasi dengan tuntutan penggregahan lahan pribadi, Hal ini tidak masuk akal, karena penerbitan sertifikat tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007, dan amanat Pepres Nomor 51 tahun 2016 tentang sempadan pantai,” tutur Irfan Ketua STN NTB. (13/7)

Yang kedua, Kabupaten Lombok Timur di Kecamatan Sambelia Desa Dara Kunci. Irfan mengatakan ada sekitar 480 Kepala Keluarga (KK) yang sudah menggarap lahan dan bermukim sejak tahun 2001 dengan berdasarkan pada Surat Keputusan Gubernur NTB tahun 2001 yang poinnya adalah keputusan membagikan lahan bekas HGU Tanjung Kenanga Kepada 480 KK seluas masing-masing Perkepala Keluarga 41 are, poin selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan melakukan Sertifikat Hak Milik untuk 480 KK petani di lahan tersebut. Peta konfliknya adalah lahan HGU yang diklaim PT. Tanjung Kenanga tersebut adalah lahan yang di kuasai oleh 480 kepala Keluarga petani yang ijinnya sudah berakhir di Tahun 2013 yang lalu. “Artinya, Pemprov NTB dapat melihat dan meninjau kembali sengketa tersebut sesuai amanat Perpres Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria,” jelas Irfan.

Yang ketiga, Kabupaten Dompu di Kecamatan Hu, u Desa Hu, u.

“Konfliknya hampir sama antara masyarakat adat dengan HGU PT. Atlantik Graha Buana, PT. Aria Alir dan HGU PT. Bagas Ali,” kata Irfan, “di dalam dokumennya, perijinannya sudah berakhir pada tahun 1993, namun yang menjadi permasalahannya HGU tersebut dijadikan agunan oleh pemegang ijin tersebut di salah satu bank swasta di Jakarta yakni Bank BLBI. Pada tanggal 25 Mei 2023, Bank tersebut melakukan penyitaan tanah seluas 10 Hektar. Padahal di tanah tersebut tidak ada sama sekali aktivitas pariwisata selama puluhan tahun lamanya alias terlantar. Tanpa ada kejadian penyitaan itu, tentu masyarakat adat tidak tahu kalau selama ini ternyata lahan tersebut dijadikan jaminan pinjaman atau agunan Bank,” terang Irfan.

Irfan pun menyatakan bahwa perjuangan Serikat Tani Nelayan NTB adalah meminta kepada Pemerintah Propinsi NTB dan Pemerintah Kabupaten untuk sama-sama menyelesaikan konflik Agraria tersebut dengan tetap konsisten mengacu pada amanat UU Pokok-pokok Agraria Nomor 05 Tahun 1960 , dan sebagai rujukan terbaru dengan mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria/Land Reform.
(Fan)

[post-views]