Presiden terpilih 2024, Prabowo Subianto, kembali menyita perhatian publik lewat gagasannya membangun Sekolah Rakyat — sebuah program pendidikan gratis yang diklaim bergizi dan bermutu tinggi. Dalam lanskap pendidikan yang kian mahal dan tak ramah bagi kelompok marginal, narasi ini langsung mendapat respons emosional dari masyarakat.
Namun jika ditelusuri lebih jauh, Sekolah Rakyat bukan sekadar program pendidikan. Ia adalah simbol politik yang dirancang dengan kecermatan tinggi, berfungsi memperkuat legitimasi kekuasaan pasca-pemilu. Di tengah minimnya oposisi dan kekhawatiran akan arah demokrasi, Prabowo menawarkan sesuatu yang konkret namun sarat makna simbolik: negara hadir, untuk rakyat kecil.
Populisme Sebagai Strategi
Dalam teori populisme Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, populisme bukan sekadar gaya politik retoris, melainkan cara membangun artikulasi antara rakyat dan elite dalam satu antagonisme politik. Dalam konteks ini, Sekolah Rakyat memainkan peran penting: ia menjadi medan simbolik yang membelah elite (yang dianggap gagal menyelesaikan ketimpangan pendidikan) dan rakyat kecil (yang selama ini hanya menjadi konsumen kebijakan).
Alih-alih bicara soal kurikulum prototipe atau peringkat PISA, Prabowo berbicara tentang hal yang membumi: akses, gizi, dan keberpihakan. Inilah kekuatan strategi populis: sederhana, emosional, dan mudah dicerna publik.
Kapital Simbolik di Era Politik Citra
Sosiolog Pierre Bourdieu menjelaskan bagaimana kapital simbolik — yaitu pengakuan, kepercayaan sosial, dan citra — menjadi instrumen dominan dalam mempertahankan kekuasaan. Sekolah Rakyat menjadi alat akumulasi simbolik yang memperkuat posisi Prabowo sebagai pemimpin yang hadir, merakyat, dan solutif.
Kecerdasan politik Prabowo bukan hanya terletak pada apa yang ditawarkan, tapi bagaimana ia mengemasnya sebagai citra politik yang menyatu dengan kebutuhan psikososial masyarakat.
Dengan narasi ini, Prabowo tidak sedang membahas teknis pendidikan, tapi membangun panggung politik harapan — panggung yang selama ini dikuasai oleh aktivis pendidikan alternatif dan kelompok masyarakat sipil.
Peluang dan Tantangan
Dalam kajian negara kesejahteraan (welfare state), Sekolah Rakyat bisa menjadi titik masuk dalam memperluas jangkauan negara dalam pemenuhan hak dasar warganya. Jika dilaksanakan serius — dengan pendekatan berbasis komunitas, pelibatan guru, dan jaminan mutu yang terukur — program ini berpotensi memperkuat akses pendidikan di wilayah terpencil dan miskin.
Namun jika hanya dikembangkan sebagai etalase pencitraan, tanpa skema kelembagaan yang jelas, program ini akan bernasib seperti banyak proyek populis lainnya: ramai di awal, hilang arah di tengah jalan.
Publik harus jeli melihat apakah Sekolah Rakyat akan menjadi alat distribusi pengetahuan dan keadilan sosial, atau justru menjadi alat legitimasi politik belaka. Pemerintahan ke depan perlu memastikan bahwa program ini bukan hanya “gratis”, tapi juga berkualitas dan setara, baik dari segi infrastruktur, sumber daya pengajar, maupun orientasi kurikulumnya.
Penutup
Sekolah Rakyat adalah bentuk kecerdasan Prabowo dalam mengelola realitas sosial sebagai modal politik. Ia memahami betul bahwa di tengah krisis kepercayaan, masyarakat lebih mudah percaya pada simbol konkret daripada wacana abstrak.
Tugas kita sebagai warga adalah mengawal agar simbol ini tidak berhenti sebagai janji, tetapi menjadi gerakan nyata menuju pendidikan yang lebih adil, partisipatif, dan manusiawi.
Agung Nugroho
Penulis adalah Pengamat Sosial Politik, Lingkar Aktivis Jakarta.

