Sebelum Fajar: Politik dan Kengeyelan

Saya pernah mencatat genealogi prinsip sekaligus prinsip politik “wis wani wirang” dan “putih,” yang keduanya berasal dari khazanah pewayangan Jawa (Durga, Lara Amis, dan Kemelut Pemilu, Heru Harjo Hutomo, https://berdikarionline.com). Celakanya, kedua prinsip sekaligus sikap politik inilah yang sejauh ini masih menstrukturalisasikan politik di Indonesia, sehingga setiap langkah-langkah politik adalah serupa musuh-musuh Anglingdharma ketika berhadapan dengan sang pemilik aji desendria, sebuah kemampuan dalam membaca gerakan-gerakan yang akan dikeluarkan oleh para lawan.

Pilpres 2024 yang telah berlangsung beberapa waktu yang lalu adalah contoh kasus yang paling tepat atas kedua prinsip sekaligus sikap politik yang sudah mengemuka sejak Jokowi nyapres pada 2014 yang lalu. “Wis wani wirang” jelas-jelas mendasari, sekaligus menjadi hasil, dari pergerakan calon dari kubu 03 yang sebermulanya laiknya sejenis mesias yang kemudian, pada kenyataannya, sekedar menjadi “timun wungkuk jaga imbuh” bagi perseteruan kubu 01 dan 02. Dan Jawa Timur, dalam kasus ini, adalah salah satu medan yang barangkali mampu membuat wirang kubu 03, yang otomatis juga kubu 01.

Jokowi memang terlalu “sakti” untuk sekedar dideligitimasi oleh Ganjar ataupun Anies yang, bagi saya, daripada menghadapi Prabowo, apalagi Jokowi, semestinya kedua capres gagal itu berseteru lebih dulu, bukannya bersekutu untuk mengeroyok—di ujung yang paling ekstrim—Jokowi.

Anies dan kubunya memang tampak tak lebih membingungkan daripada Ganjar dan kubunya, seolah-olah Ganjar masih pada tahap beradaptasi dengan prinsip dan sikap politik “wis wani wirang” yang dulu, sebetulnya, bukanlah prinsip dan sikap politik utamanya—setidaknya pada partai yang mengusungnya.

Di sinilah Ganjar, karena “wis wani wirang,” justru seperti dimanfaatkan oleh Anies yang memang sudah terbentuk sejak awal untuk memiliki prinsip sekaligus sikap politik, yang dalam khazanah pewayangan Jawa, merupakan  turunan dari prinsip dan sikap Bathari Durga itu. Hasil 16 persen membuktikan bahwa prinsip dan sikap politik yang dipilihnya terkesan bingung, yang barangkali memang masih dalam tahap beradaptasi dengan prinsip dan sikap politik “wis wani wirang.” Bukankah prinsip dan sikap politik “wis wani wirang” identik dengan bungkus keagamaan tertentu?

Maka jangan heran, ketika di lapangan, yang justru menuntut atau mensyaratkan identitas dan etos keagamaan tertentu secara militan adalah para pendukung Ganjar atau kubu 03, yang notabene adalah kalangan “abangan.” Dan jangan heran, para pendukung yang merasa terbuang, baik dari kubu yang sok agamis maupun semi-agamis, tumangsang pada kubu 02 yang memang membawakan diri secara sak madya. Maka, dengan melihat sejarah pilpres 2024 yang lalu, orang memang bisa dengan gampangnya membaca dinamika pilkada yang ada di Jawa Timur. Seumpamanya terlihat adanya kemelencengan, lebih tepatnya kegelapan atau kebingungan, dengan pola dinamika pilpres 2024 yang lalu, sebenarnya bukanlah sebentuk kemelencengan, karena Anies dan Ganjar memang pernah memiliki relasi seperti halnya film “Before Sunrise.”

Penulis: Heru Harjo Hutomo

Foto : Bing Image Creator

[post-views]