RUU Pengadaan Barang dan Jasa, Memperlebar atau Mempersempit Ruang Korupsi Indonesia?

Jakarta, Berdikari Online – Jum’at, 21 Juli 2023. Sekretariat Nasional FITRA  melakukan diskusi dengan tema Bedah RUU Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Studi Kasus Negara Lain. Kegiatan diskusi ini dilakukan dengan tujuan mencari perbandingan terkait dengan model pengadaan dari negara lain yang kira-kira mampu mengurangi korupsi dalam kegiatan pengadaan. Salah satu yang menjadi contoh adalah Ukraina.

“Karena itu kita coba bedah bagaimana cara pengadaan di Ukraina, meski Ukraina sedang mengalami perang antar negara, akan tetapi prinsip di sana terkait dengan sistem pengadaan sudah berjalan dengan baik, mau perang atau tidak, standarnya tetap; dia akan jalan seperti itu kata Pro-Zorro,” ucap Ervyn Kaffah selaku Manager Advokasi FITRA.

Sebelumnya terkait pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, menggunakan Peraturan Presiden (Perpres). Rancangan Undang-undang sedang dibuat yang disiapkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) yang menargetkan bisa disahkan tahun 2023.

Menurut Ervyn Kaffah, jika dilihat dalam rancangannya, ada beberapa hal baru yang sebelumnya belum diatur yaitu untuk mendorong digitalisasi pengadaan yang merupakan dorongan langsung dari Presiden. Yang kedua yaitu memprioritaskan produk dalam negeri. Jika kita lihat dalam drafnya yang sebelumnya pernah disosialisasikan oleh LKPP, banyak juga mengatur soal mekanisme penyelesaian sengketa. Dari mulai sanggah, banding dan termasuk terkait penyelesaiannya itu:  mana yang yang bisa dilakukan oleh LKPP dan mana yang harus melalui Lembaga peradilan.

“Yang menjadi konsen kita adalah Indonesia belum melihat Urgensi negara terkait dengan kebutuhan Undang-undang Pengadaan Barang Jasa ini.  Kalau sekedar digilitasi, itu bisa menggunakan Perpres. Kemudian yang kedua, jika kita berkaca dari kondisi di Indonesia sendiri terkait korupsi, sektor yang paling rawan itu ada di pengadaan barang jasa,” kuatir  Ervyn Kaffah, “nah ini dalam RUU nya tidak ada sama sekali terkait bagaimana mencegah korupsi sistemik dalam pengadaan. Itu yang kita coba dalami dengan yang dilakukan oleh Ukraina dengan beberapa elemen pendekatan yang digunakan untuk memerangi korupsi, yang dari teori ekonomi biaya tinggi.  Itu yang coba dihajar bagaimana dalam pengadaan itu ruangnya dipersempit dengan cara ekonomi biaya tingginya tidak dimungkinkan eksis. Itu yang diturunkan dalam reformasi pengadaannya. Sebenarnya yang dilakukan di sana itu terkait dengan prinsip-prinsip keterbukaan supaya dokumen-dokumen tersebut bisa diakses oleh siapa saja, ” lanjut Ervyn Kaffah.

Sementara itu Ilham Saenong yang menjadi pemantik dalam diskusi tersebut menerangkan bahwa yang menjadi perbandingan sebagai contoh lebih baik dalam mereformasi pengadaan publik salah satunya adalah Ukraina.  Mereka menggunakan pendekatan anti korupsi dan yang punya prinsip motivasi yang kuat mengubah masyarakat. Tapi yang penting dari mereka yaitu dipercaya oleh masyarakat sipilnya termasuk Transparansi Internasional yang dianggap sebagai aktor yang bisa dipercaya.

Yang kedua, orang-orang yang punya kemampuan teknis tadi melihat bahwa negara mereka itu, jika mereka tidak aktif berkontribusi nanti kondisi ekonominya juga buruk. Analisa makronya memperlihatkan justru mereka akan dirugikan kalau kondisi masyarakatnya buruk. Dengan kondisi masyarakatnya atau mungkin pengadaannya jauh lebih baik, mereka justru akan mendapatkan efek yang lebih baik juga.

Ilham Saenong juga mengatakan bahwa sistem pemerintahan yang berjalan juga berperan besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun keadaan sekarang ada dugaan yang memberikan keraguan terhadap masyarakat untuk melepaskan Indonesia dari tindakan korupsi. Pemerintahan di Indonesia dilahirkan dari proses pemilihan umum yang dilakukan lima tahun sekali yang akan menghasilkan orang-orang di legislatif dan eksekutif untuk memimpin dan menjalankan pemerintahan lima tahun ke depan.  

“Namun hingga hari ini, dirasa kurangnya pemahaman masyarakat dari sisi mengenal bagaimana sistemnya? Mengenal para calonnya?” kata Ilham Saenong

Bagi Ilham Saenong,     Pemilu akan menghasilkan orang-orang yang akan memutuskan terkait regulasinya baik dari undang-undang atau peraturan-peraturan yang akan kita jalankan dalam kehidupan bernegara. Pemilu ini merupakan awalnya atas berjalannya pemerintahan ke depan termasuk dalam hal apakah pemerintahan yang terbentuk, yang dipilih langsung oleh masyarakat mampu melakukan pemberantasan korupsi seperti yang diharapkan oleh masyarakat.

“Edukasi publik terkait hal tersebut memang masih kurang dalam artian jarang dilakukan. Yang paling pertama berkewajiban itu kan partai politik sendiri untuk melakukan edukasi pemilih namun yang mereka lakukan itu bukan edukasi yang utamanya.  Mereka juga dapat sumbangan dari APBN namun lebih banyak digunakan untuk biaya operasional bukan untuk Voters Education. Kalaupun ada pertemuan-pertemuan itu kan mobilisasi bukan untuk edukasi. Dari sini kan sudah terlihat perbedaannya.  Kalau edukasi itu ke substansi; kalau mobilisasi ya hanya demi bonding aja yang sifatnya dukungan-dukungan primordial,” terang Ilham Saoneng.

“Kalau masyarakat itu sendiri, menurut saya, memiliki PR yang sangat besar karena situasi sekarang ini publik sendiri sudah terpolasisasi.  Jadi mengharapkan mereka mengedukasi diri sendiri,  itu menjadi tantangan. Karena itu yang bisa lebih banyak muncul. Mungkin aktifis-aktifis yang mampu menggunakan sarana yang lebih dekat dengan anak muda untuk menyebarkan prinsip-prinsip maupun masalah-masalah yang menjadi konsen masyarakat sipil.  Kalau kita, sebagai NGO, itu basisnya prinsip.  Misalnya prinsip-prinsip Human Right atau prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, atau misalnya pembangunan yang berkelanjutan. Hal-hal yang semacam itu kan ada dasar-dasarnya,” tambah Ilham Saenong.

“Kita konsen pada isu-isu yang merugikan publik.  Yang itu mustinya disuarakan oleh masyarakat sipil atau NGO atau akademisi dan juga saya kira, pentingnya masyarakat sipil ini menjadi lebih muda bukan dalam hal usia tapi bagaimana mendekati publik yang muda untuk mengedukasinya. Edukasi ini dalam rangka apa? Salah satunya tadi kan supaya pemilih itu menjadi lebih mengetahui siapa yang lebih baik dan yang kedua untuk melakukan deliberasi,” lanjut Ilham Saenong.

Mereka juga bisa melakukan diskusi; melakukan diskusi dengan mengambil kebijakan, dan mereka yang mengambil kebijakan itu harus digiring juga yang sebenarnya untuk mengedukasi juga, bahwa mereka itu perlu juga, bukan hanya menjadi massa.  

“Sekarang itu yang didengar yang ngasih dukungan pendanaan atau yang bisa memberikan dukungan suara,” pungkas Ilham Saenong pesimis.

Dari diskusi itu, FITRA memberikan rekomendasi sebagai berikut :

  1. Sistem kolaborasi hibrida antara database pemerintah dan sistem komersial, agar semua informasi di The Central Database (CBD) dipublikasi ke platform.
  2. Source Code bersifat terbuka dan bebas untuk digunakan semua pihak. Masyarakat dan akademisi mengelola modul intelijen binis dan mengembangkan metodologi manajemen risiko.
  3. Dua tahun sejak operasi, menghemat $1,9 miliar anggaran PBJ dan meraih penghargaan internasional serta menjadi rujukan sistem pengadaan.

(Ika April Liani)

[post-views]