Presiden Joko Widodo dan Wakilnya K.H. Ma’ruf Amin menjelang akhir kepemimpinan banyak mendapatkan protes, baik via media sosial maupun dari berbagai elemen gerakan massa yang di minggu ketiga Agustus 2024 terkonsentrasi di kantor DPR RI dan berbagai daerah akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah ambang batas pencalonan peserta Pilkada oleh partai politik dan gabungan partai politik serta penegasan syarat usia minimal calon kepala daerah.
Dari sisi keputusan, MK sebagai salah satu lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan harus kita artikan sebagai kemajuan dalam berdemokrasi karena dalam logika ideal siapa saja boleh menjadi kepala daerah maupun pemimpin nasional tanpa harus dibatasi persyaratan aturan perundang-undangan yang begitu rumit dan memberatkan sehingga ke depan kepemimpinan dapat lahir dari strata sosial yang lebih luas, tidak hanya lahir dari rahim orang kaya dan pejabat yang berkuasa.
Apapun itu, inilah konsekwensi dari praktik demokrasi liberal yang tak kunjung memberikan keuntungan buat bangsa Indonesia, bahkan selalu mengarah pada kebangkrutan politik, di samping itu juga kerap sekali membawa bangsa Indonesia ke arah krisis ekonomi yang berdampak pada keadilan, kemakmuran yang tak kunjung dinikmati mayoritas rakyat Indonesia. Ini terjadi karena ekonomi politik negara tidak berjalan dengan baik alias belum mampu menciptakan kapital nasional dalam usaha memajukan tenaga produktif yang berakibat Bangsa Indonesia dikendalikan para oligark yang jumlahnya beberapa orang saja. Padahal dalam Pembukaan UUD 1945 alinea kedua tegas menyebutkan kemerdekaan bangsa Indonesia itu mengantarkan rakyat Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Presiden terpilih hasil Pilpres 2024 Prabowo Subianto dengan tegas menyampaikan tentang jalan yang harus ditempuh untuk demokrasi Indonesia saat penutupan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Gerindra: “…demokrasi kita, harus demokrasi, berani, bahwa kita bersaing boleh dan pada saat kepentingan nasional kita tidak boleh ikut pola-pola orang lain.”
Inilah hakikat kedaulatan nasional. Persatuan ditempa untuk menghadapi pihak luar yang dipandang merugikan dan cara menyelesaikan perbedaan di dalam negeri dapat dilakukan dengan cara mengembangkan sistem demokrasi nasional kita, yakni, Demokrasi Pancasila yang identik dengan musyawarah mufakat. Inilah jalan satu-satunya cara mempertahankan demokrasi di Indonesia.
Pasca kolonialsime, kita sudah beberapa kali mengalami transformasi sistem demokrasi. Masa revolusi kemerdekaan Indonesia dari tahun 1945 sampai tahun 1949, demokrasi parlementer; yang terus dilanjutkan dengan Demokrasi Liberal dari tahun 1955 hingga tahun 1959, kemudian Demokrasi Terpimpin yang ditandai dengan pembubaran Konstituante dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga peristiwa tahun 1965 mengawali demokrasi dan penghidupan yang kelam bagi rakyat Indonesia.
Kita tahu situasi saat itu Sukarno dan rakyat Indonesia sedang menggalakkan Demokrasi Terpimpin sebagai langkah realisasi Demokrasi Pancasila yang berbasiskan pada sila keempat yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Jika dimaknai, segala sesuatu yang berkaitan dengan rakyat atau warga negara haruslah terpimpin.
Sukarno dengan Demokrasi Terpimpin dalam pelaksanaannya tidak sedikit mendapat tentangan hingga berganti ke sistem demokrasi diktator di bawah Soeharto yang bertopeng memakai pelaksanaan Demokrasi Pancasila secara murni dan konsekwen. Pada akhirnya, mendapat tentangan dan dijatuhkan oleh gerakan rakyat di tahun 1998. Situasi ini dapat kita katakan puncak dari Demokrasi Liberal yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dan rakyat Indonesia yang masih melekat budaya musyawarah dan gotong royong.
Penentuan dan pelaksanaan sistem demokrasi sangat menentukan negara tertentu terjaga atas kedaulatan nasionalnya. Negara yang terjaga kedaulatan nasionalnya itu ditandai dengan adanya pemerintahan yang stabil, kuat dan berwibawa. Hal ini tidaklah bisa direalisasikan oleh Bangsa Indonesia selama tidak kembali menempuh jalan filsafat nasional kita yakni memenangkan Pancasila yang sedang dikalahkan oleh filsafat liberalisme.
(Menangkan) Pancasila sebagai basis utama mempertahankan kedaulatan nasional kita adalah usaha merealisasikan alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang menekankan tujuan pemerintahan negara Indonesia yang utama itu: harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteran umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.


