Kepala BIN Daerah Papua, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha, gugur dalam kontak senjata di Kampung Dambet, Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua, Minggu (25/4/2021).
Gugurnya Kabinda Papua bukan hanya menambah daftar panjang korban konflik di Papua, tetapi juga dikhawatirkan memperpanjang siklus kekerasan di sana.
Kekhawatiran ini merujuk pada statemen sejumlah pejabat tinggi Negara terkait peristiwa itu. Ada pesan untuk melakukan “serangan balasan” yang lebih keras terhadap kelompok bersenjata di Papua.
Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk terus mengejar dan menangkap seluruh anggota dari apa yang disebutnya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Sementara Ketua MPR Bambang Susatyo meminta TNI, Polri, dan BIN agar menurunkan kekuatan penuh untuk menumpas apa yang disebutnya kelompok kriminal bersenjata di Papua.
“”Saya meminta pemerintah dan aparat keamanan tidak ragu dan segera turunkan kekuatan penuh menumpas KKB di Papua yang kembali merenggut nyawa,” katanya, seperti dikutip Kompas.com, Senin (26/4/2021).
Juru bicara Dewan Pimpinan Pusat Partai Rakyat Adil Makmur (DPP PRIMA) untuk urusan Papua dan Papua Barat, Arkilaus Baho, mengatakan, pendekatan kekerasan bersenjata terbukti tidak menyelesaikan persoalan di Papua.
“Sejarah perlawanan bersenjata hari ini masih merebak akibat memori kekerasan masa lalu. Papua butuh negara hadir untuk memberi rasa aman dan adil,” kata Arkilaus di Jakarta, Selasa (27/4/2021).
Menurut dia, persoalan kelompok bersenjata di Papua itu tidak akan selesai selama persoalan ekonomi dan politik yang melatarinya tidak diselesaikan.
“Harusnya mengedepankan pendekatan kultur dan kesejahteraan, bukan pendekatan senjata ataupun labelisasi dan stigimatisasi, dalam menyelesaikan persoalan di Papua itu,” jelasnya.
Menurut dia, sejak Orde baru hingga sekarang ini, negara kerap melakukan pelabelan kepada kelompok yang dianggap merongrong keutuhan negara, mulai dari label gerakan pengacau keamanan (GPK), kelompok kriminal bersenjata (KKB), hingga kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB).
Belakangan, melalui juru bicara BIN, Wawan Hari Purwanto, ada usulan untuk memberikan label “kelompok separatis dan teroris” kepada kelompok bersenjata di Papua yang kerap mengganggu keamanan.
“Tumpas habis, stigmatisasi, bahkan memobilisasi kekuatan bersenjata, terbukti gagal,” kata Arkilaus.
Dewan Rakyat Papua
Arkilaus mengatakan, gagasan PRIMA bisa menjadi rujukan untuk menyelesaikan persoalan di Papua.
Menurut Arki, ada begitu banyak persoalan di Papua, dari persoalan ketidakadilan ekonomi hingga persolan kekerasan, tetapi hampir tak ada ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhan dan suaranya.
“Lewat otonomi khusus, Jakarta bilang Papua akan jadi tuan di rumahnya sendiri, tapi nyatanya setengah hati,” ujarnya.
Sebagai solusinya, lanjut Arki, Papua yang berbasiskan suku dan marga harus dijembatani lewat kelembagaan politik yang bernama Dewan Rakyat Papua (DRP).
“Melalui DRP, suku dan marga bukan hanya terlindungi hak-haknya, tetapi juga terwakili suara dan aspirasinya,” paparnya.
DRP merupakan kelembagaan politik yang berbasiskan suku-suku dan marga di Papua. Pada prakteknya, setiap suku dan marga di Papua punya perwakilan di DRP.
DRP sendiri sebagai lembaga yang punya kewenangan untuk terlibat dalam memutuskan berbagai kebijakan yang menyangkut kepentingan masyarakat Papua. Mulai dari soal penganggaran, regulasi, hingga pengawasannya.
“Dengan melibatkan orang Papua dalam kebijakan pembangunan di daerahnya sendiri, maka saudara dan saudari kita di ufuk Timur nusantara itu bisa menjadi tuan di tanahnya sendiri, bukan penonton,” tegasnya.
RISAL KURNIA
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid