Kisah Si Raja Mogok: Soerjopranoto

Namanya jarang disebutkan dalam deretan pejuang kemerdekaan Indonesia. Namun, pada masanya, dia adalah salah seorang pemimpin gerakan buruh paling disegani. Dirinya sering disejajarkan dengan Semaun.

Dia adalah Soerjopranoto. Selain sebagai tokoh gerakan buruh, Soerjopranoto juga anggota Sarekat Islam (SI), organisasi yang bermula dari perkumpulan ronda kemudian bertumbuh menjadi organisasi rakyat. Dia pernah memimpin SI cabang Jogjakarta.

Untuk diketahui, Soerjopranoto adalah kakak kandung dari bapak pendidikan kita, Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara. Di tahun 1920-an, kakak-beradik ini sama-sama mengusik tatanan kolonialisme.

Sejak kecil “memberontak”

Soerjopranoto dilahirkan 11 Agustus 1871. Meski bergelar “Raja Mogok” (De Stakingskoning), ia tidak berasal dari keluarga proletar. Soerjopranoto berasal dari keluarga aristokrat. Nama kecilnya adalah Iskandar.

Ayahnya, Pangeran Suryaningrat, masih keturunan Paku Alam III. Sejak kecil, Iskandar dan adiknya, Suwardi, dititipkan pada pamannya yang tinggal di desa. Pengalaman inilah yang membentuk karakter Iskandar dan adiknya: bergaul dan dekat dengan rakyat jelata.

Sejak kecil, Iskandar dan adiknya sudah berjiwa pemberontak. Iskandar sering membantah gurunya di sekolah dan berkelahi dengan anak-anak Belanda. Tapi, pemberontakannya juga sering mengarah pada tatanan feodal. Konon, Soerjopranoto menggergaji gelar “Raden Mas” dari papan namanya.

Ia lulus sekolah OSVIA di Magelang. Sempat menjadi pegawai, namun ditinggalkan karena sering konflik dengan atasannya: orang Belanda. Ia melanjutkan pendidikan di sekolah pertanian di Bogor. 

Di kota Bogor lah, Soerjopranoto bertemu Deuwes Dekker alias Danudirja Setiabudi, yang kelak bersama Ki Hajar Dewantara dan Tjipto Mangunkusumo mendirikan Indische Partij (IP).

Di sini, semangat anti-kolonial Soerjopranoto makin terbentuk. Di tahun 1908, Soerjopranoto sudah berembuk dengan pelajar-pelajar STOVIA untuk membikin perhimpunan. Tetapi menemui kegagalan. Namun, seperti kita ketahui, organisasi lain berdiri, yaitu Boedi Oetomo (BO).

Soerjopranoto langsung bergabung dengan organisasi baru ini. Ia menjadi sekretaris BO di Jogjakarta. Namun, jiwa memberontaknya membuatnya sering resah di organisasi kaum priayi ini. Seperti dikatakannya, “jalannya organisasi Boedi Oetomo masih sangat berhati-hati dan lambat.”

Tak lama kemudian, BO mengalami perpecahan. Ia meninggalkan organisasi priayi yang dianggapnya “tidak terasa di kalangan rakyat tingkatan bawah.” Ia pun mengorganisir gerakan bernama “Adhi Dharma”. Gerakan ini, seperti ditulis Takashi Shiraishi di buku “Zaman Bergerak”, mirip dengan badan sosial yang memberi bantuan kepada ‘orang tidak mampu’.

Si ‘Raja Mogok’

Pada tahun 1918, ketika terjadi kerusuhan buruh di pabrik gula Padokan, Jogjakarta, Soerjopranoto mengorganisir Arbeidsleiger (tentara buruh). Organisasi ini membantu buruh korban PHK untuk mencari pekerjaan baru dan memberi bantuan keuangan selama mereka mencari kerja.

Di Sarekat Islam, Soerjopranoto adalah tokoh yang penting. Pada tahun 1919, terjadi perlawanan rakyat di Garut, Jawat Barat. Ini dipicu oleh kebijakan kolonial yang memaksa petani menyetor sebagian hasil panennya. Haji Hasan Arif, seorang ulama setempat yang juga anggota SI, memimpin perlawanan rakyat ini.

SI di bawah pimpinan Tjokroaminoto mengirim Soerjopranoto untuk membantu perjuangan rakyat di Garut itu. Inilah yang disebut peristiwa “SI Afdeling B”. Gara-gara peristiwa itu, Sosrokardono, sekretaris Afdeling B, ditangkap. Tjokroaminoto juga diadili tak lama setelah peristiwa itu.

Pada tahun 1917, keresahan di kalangan buruh meningkat. Di Jogjakarta, Soerjopranoto mendirikan Personeel Fabriek Bond—Ikatan Buruh Pabrik (PFB). Awalnya, seperti ditulis Ruth T. McVey, PFB hanya beranggotakan 700-an orang. Akan tetapi, setahun kemudian, anggota PFB telah meningkat menjadi 6000 anggota, ditambah 2000 calon anggota. Pada akhir 1919, PFB menjadi serikat buruh paling besar dan militan di tanah Jawa, dengan 90 cabang dan 10 ribu anggota.

Nama Soerjopranoto sebagai “Raja Mogok” mencuat. Berbagai pemogokan yang dipimpin oleh PFB mencapai kemenangan. Pada saat bersamaan, PFB juga menerbitkan sebuah koran propaganda bernama “Boeroeh Bergerak”. Soerjopranoto makin radikal. Dalam pidatonya di kongres SI tahun 1919, ia membandingkan gaji orang Belanda di pabrik gula dan kuli penggali tanah.

Dia bilang, seorang pegawai Belanda dalam pabrik gula, dengan duduk ongkang-ongkang kaki, mendapat persenan tahunan 500.000 rupiah. Sedangkan seorang penggali tanah, yang menggali lubang sedalam 24 kaki, hanya mendapat upah 1,5 sen.

Pada pertengahan 1920, cabang PFB sudah meningkat menjadi 179 dan anggotanya mencapai 31.000 orang. Hampir 90 persen pabrik gula terseret dalam PFB. 

Apa pemicu pembesaran organisasi ini? Takashi Shiraishi berusaha memberi jawaban: Pemerintah kolonial menganggap pemogokan itu murni “ekonomis”. Lagipula, ada ketidakpuasan buruh terhadap upah yang rendah dan tak adil. Sehingga pemerintah kolonial cenderung membiarkan pemogokan itu.

“Karena sikap netral pemerintah, banyak pemogokan yang berhasil dengan suskes. Merasa mendapat angin, afdeling-afdeling PFB menuntut lebih banyak dari pabrik dan lagi-lagi dengan sukses mengorganisir pemogokan,” tulis Takashi Shiraishi.

Pada bulan Agustus 1920, PFB menyerukan “pemogokan umum”. Pemogokan ini direncanakan akan menyeret serikat-serikat lain. Untuk diketahui, pada tahun 1916, terbentuk juga serikat lain yang tak kalah kuatnya, yaitu Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB). Serikat ini dipimpin oleh Sosrokardono sebagai ketua dan Alimin sebagai wakil. Nah, pada tahun 1919, PFB dan PPPB bersatu—bersama dengan 22 serikat lainnya, termasuk VSTP, dalam sebuah federasi bernama Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB). Inilah federasi buruh pertama dalam sejarah Indonesia.

Nah, balik lagi ke seruan pemogokan PFB pada tahun 1920. Saat itu, ada hal yang luput dihitung oleh Soerjopranoto: kesiapan sindikat gula merespon rencana pemogokan ini. Momentum pemogokan sebetulnya sudah tepat: menjelang panen (saat sindikat gula memerlukan banyak tenaga buruh). Hanya saja, sindikat gula sudah mengantisipasinya dengan menaikkan upah sebesar 20-50 persen. Selain itu, sindikat gula juga sudah meminta bantuan pemerintah untuk turun tangan. Saat itu, pemerintah kolonial mulai menganggap pemogokan sebagai tindakan “politis”.

Beberapa saat menjelang pemogokan, sindikat gula menebar ancaman: PHK. Banyak cabang-cabang PFB yang ragu untuk mengikuti pemogokan. Pemerintah kolonial juga tak memberi toleransi. Residen Jogjakarta memanggil Soerjopranoto ke kantor Keresidenan. Soerjopranoto diminta untuk tidak mogok. Sebagai imbalannya, pemerintah berjanji akan memperhatikan kegelisahan kaum buruh.

Kegagalan pemogokan membawa malapetaka. PFB mengalami kebingungan dan putus asa. Cabang-cabangnya banyak yang mundur. Tak lama kemudian, seiring dengan perpecahan di tubuh SI, PFB pun surut. 

PPBK, federasi buruh pertama itu, mengalami perpecahan: faksi kirinya (Semaun cs) keluar. Dalam kasus perpecahan SI, Soerjopranoto berada di pihak pendukung “disiplin partai” alias SI Putih.

Pamor Soerjopranoto sebagai “Raja Mogok” perlahan meredup. Kepemimpinan pemogokan berpindah ke tangan orang-orang kiri. Kini, tiba giliran VSTP untuk bersinar.

Meski berada di barisan pergerakan yang moderat, yaitu SI-putih, Soerjopranoto sering terseret spreek-delict (pelanggaran berbicara). Ia pun dipenjara tiga kali karena tuduhan tersebut: pertama di penjara di Malang (1923- 3 bulan), kedua di Semarang (1926- 6 bulan) dan ketiga kalinya di Bandung (1933- 16 bulan).

Sayang, SI juga tak menjadi tempat “perjuangan” yang abadi bagi Soerjopranoto. Pada tahun 1933, ia bersama Soekiman Wirjosandjojo berusaha membongkar kasus korupsi di tubuh SI. Akibatnya, Soerjopranoto, Soekiman, dan beberapa pendukungnya dipecat dari keanggotan SI.

Tahun 1933, dia masuk penjara karena tudingan delik pers (press delict). Dia dipenjara hingga 1935. 

Tahun 1935, ketika keluar dari penjara Sukamiskin, Bandng, kondisi kesehatannya menurun. Ia mulai mengurangi aktivitasnya di lapangan pergerakan. Ia kemudian mengurusi dan mengajar di sekolah Adhi Dharma.

Pasca proklamasi kemerdekaan 1945, Soerjopranoto banyak mengajar di sekolah “Taman Siswa”—sekolah yang dibangun adiknya, Ki Hajar Dewantara. 

Pada 15 oktober 1959, Soerjopranoto menghembuskan nafas yang terakhir di Cimahi, Jawa Barat. Ia dimakamkan di makam keluarga di Yogyakarta. Presiden Sukarno memberinya gelar “Pahlawan Kemerdekaan Nasional RI”.

MAHESA DANU

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid