Pemilu, Manipulasi Oligarki, dan Nasib Rakyat Biasa

Rapat kerja Komisi II DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada tanggal 24 Januari 2022, menyepakati jadwal pemungutan suara Pemilihan Umum 2024 dilaksanakan pada 14 Februari 2024.

Tiba-tiba, pada tanggal 23 Februari 2022, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengusulkan Pemilu 2024 ditunda maksimal dua tahun. Usulan ini kemudian diperkuat oleh Ketua Umum PAN dan Ketua Umum Partai Golkar.

Publik sempat mencurigai wacana penundaan pemilu yang disampaikan oleh ketiga Ketua Umum Partai tersebut berasal dari lingkaran Istana. Dan kecurigaan tersebut kemudian terbukti ketika Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan di salah satu kanal youtube, pada 11 Maret 2022, menyampaikan alasan penundaan pemilu dengan basis big data yang kemudian menimbulkan polemik.

Dengan alasan apapun, masyarakat menilai penundaan pemilu tersebut sangat berbahaya dalam kehidupan demokrasi, karena sarat kepentingan kekuasaan, dibanding kepentingan bangsa,  melanggar ketentuan konstitusi Pasal 22E Ayat 1, yang secara jelas menyatakan bahwa ”pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali”, dan pasal 7 UUD 1945 tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, juga mementahkan kembali kesepakatan antara DPR RI (yang merepresentasikan Partai Politik, termasuk Partai dari para Ketua Umum yang mengusulkan penundaan pemilu tersebut), Pemerintah dan KPU – BAWASLU tentang pelaksanaan Pemilu 2024.

Jika dicatat dari pernyataan pimpinan Parpol di media, maka isu penundaan pemilu ini terpolarisasi menjadi tiga poros kekuatan politik. Pertama, penundaan Pemilu yang dipimpin oleh Poros Istana, yaitu LBP yang secara eksplisit didukung oleh PKB, PAN dan Golkar. Kedua, blok konstitusional, yaitu PDIP, Gerindra, Nasdem, PKS, PPP dan Demokrat. Dan ketiga, rakyat biasa mayoritas  yang menolak penundaan pemilu seperti yang sudah presentasikan melalui berbagai lembaga survei.

Agar penundaan Pemilu bisa konstitusional, tentu membutuhkan alur politik yang rasional dan formal. Dan ini bukan persoalan yang mudah. Ketentuan aturan formal yang bisa menjadi landasan penundaan pemilu tersebut levelnya adalah UUD, maka membutuhkan tindakan besar dari lembaga negara yang mengurus masalah UUD tersebut, yaitu MPR, yang di dalamnya ada unsur perwakilan Partai Politik dan DPD.

Kecuali ada situasi darurat (force majeure), sehingga pemilu tidak bisa dilaksanakan, itu lain persoalan. Atau kemudian KPU tidak bisa menyelenggarakan pemilu dengan berbagai macam alasan, misalnya masalah pendanaan.

Dengan konfigurasi politik seperti itu, jika masing-masing konsisten, maka akan terjadi kontradiksi yang cukup keras, didahului atau mendahului, blok pimpinan LBP dengan sumber daya yang dimiliki akan berusaha untuk melakukan penggalangan opini, penggalangan otoritas dan penggalangan politik ke Partai dengan goal-nya, yaitu amandemen UUD 1945, terutama pasal 7. Berdasarkan pengalaman pengesahan UU Minerba dan Cipta Kerja, gerakan ini bisa sukses.

Maka langkah politik Partai yang menolak penundaan Pemilu, seperti PDIP, Gerindra, Nasdem dan lain-lain, mau tidak mau harus mendahului melakukan konsolidasi. Dengan kekuatan yang ada di DPR segera memanggil unsur-unsur yang mewacanakan penundaan pemilu tersebut, terutama LBP sebagai pihak pemerintah, dan mengunci langkah tersebut karena pelanggaran terhadap konstitusi dan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jangan sampai karena alasan-alasan tertentu, Partai yang menolak penundaan Pemilu tersebut takluk oleh operasi senyap oligarki. Kalau itu terjadi, maka rakyat harus turun gunung, terlibat aktif ikut mengawal serta mengamankan konstitusi maupun mengamankan kepentingan bangsa dan negara.

Jika pada akhirnya semua Partai setuju dengan penundaan Pemilu, dengan membentuk aturan turunannya, maka rakyat sendirilah bersama kekuatan progresif yang ada harus berdiri di depan melawan elit politik oligarkis tersebut.

Amandemen UUD 1945 selalu memungkinkan selama hal tersebut menyangkut kepentingan bangsa Indonesia, bukan untuk melegitimasi kekuasaan dan kepentingan segelintir orang.

Bagaimanapun juga, kepentingan bangsa harus selalu ditempatkan  di atas kepentingan pribadi dan golongan, agar bangsa Indonesia ini segera mampu mewujudkan kehidupan yang adil, makmur, damai dan lestari. Menangkan Pancasila!

AGUS JABO PRIYONO, Ketua Umum Partai Rakyat Adil dan Makmur (PRIMA)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid