14 Februari 1945, dini hari sekitar pukul 03.00 WIB, letupan mortir memecah kesunyian malam di kota Blitar, Jawa Timur. Tak lama kemudian, bunyi ledakan granat dan rentetan tembakan memecah kesunyian.
Dini hari itu tentara Pembela Tanah Air (PETA), atau Kyōdo Bōei Giyūgun, melakukan pemberontakan bersenjata. Mereka menyerbu markas dan fasilitas militer Jepang di kota Blitar.
Pemicu Pemberontakan
Sejak 9 Maret 1942, Hindia-Belanda takluk di tangan Jepang. Awalnya, Jepang berusaha meraih dukungan rakyat Indonesia lewat gerakan 3A: Jepang cahaya Asia, Jepang pelindung Asia, Jepang pemimpin Asia. Tetapi propaganda itu tidak berhasil.
Di sisi lain, praktek kekejaman oleh tentara Jepang menjadi-jadi. Puncaknya adalah praktek kerja paksa (Romusha) yang dimulai sejak 1943. Juga mobilisasi paksa perempuan sebagai penghibur (Jugun ianfu) untuk eksploitasi seksual.
Situasi itu memicu banyak pemberontakan, seperti pemberontakan petani Indramayu pada Mei 1944, pemberontakan Singaparna pada Februari 1944, dan pemberontakan Aron di Deli Serdang pada 1942. Namun, semua pemberontakan itu berhasil dipatahkan.
Di sisi lain, praktek kekejian Jepang menggugah nurani anak-anak muda yang menjadi anggota Pembela Tanah Air (PETA). Di tubuh PETA muncul gerakan bawah tanah anti-Jepang.
Di Karawang dan beberapa tempat, seperti disinggung oleh Sidik Kertapati dalam “Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945”, muncul gerakan bawah tanah anti-fasis bernama “Sapu Mas”. Pemimpinnya adalah seorang sudanco PETA bernama Oemar Bahsan.
Jalannya Pemberontakan
Di Blitar, gerakan bawah tanah anti-Jepang dalam tubuh PETA dikomandoi oleh tiga anak muda: sudanco Soeprijadi, sudanco Moeradi, dan sudanco Soeparjono. Sejak Agustus 1944, mereka menyiapkan pemberontakan.
Sepanjang Agustus 1944 hingga menjelang pemberontakan, mereka setidaknya menggelar tiga kali rapat persiapan. Di rapat ketiga, sekitar Januari 1945, ada ide untuk menyertakan batalyon lain di luar Blitar untuk terlibat dalam pemberontakan.
Dini hari itu, 14 Februari 1945, Soeprijadi memimpin kawan-kawannya untuk memberontak. Mereka menyerang tentara Jepang yang ada di kota Blitar. Setelah itu, mereka berpencar menjadi tiga kelompok: ke timur, ke barat dan ke utara.
Jepang mengejar mereka. Tank dan pesawat tempur dikerahkan untuk menggempur. Pertempuran sengit terjadi di daerah Penataran, kali putih, dan kali menjangan. Akhirnya, dalam posisi terdesak, pasukan PETA dipimpin oleh sudanco Moeradi bersedia bernegosiasi.
Dampak Pemberontakan
Dari sekitar 360 orang yang terlibat pemberontakan, 55 di antaranya ditangkap. Soeprijadi, sang pemimpin pemberontakan, tak diketahui nasibnya pasca pemberontakan itu.
Para anggota PETA itu kemudian menjalani persidangan di Jakarta pada 14-16 April di Jakarta. Enam orang dijatuhi hukuman mati, yaitu Sudanco Moeradi, Sudanco Soeparjono, Cudanco (komandan kompi) Dr Ismail, Budanco (komandan regu) Soenanto, Budanco Soedarmo, dan Budanco Halir. Mereka dieksekusi mati di di Eereveld (sekarang pantai Ancol) pada tanggal 16 Mei 1945.
Sementara empat perwira PETA lainnya, yaitu sudanco Soemardi, sudanco Soenarjo, Bundanco Atmadja, dan Bundanco Soekaeni, meninggal dalam penjara karena berbagai bentuk penyiksaan.
Mereka adalah putra-putri Indonesia yang telah menyerahkan nyawa demi membebaskan Negeri dari fasisme Jepang.
Soeprijadi sendiri tidak pernah diketahui nasibnya pasca pemberontakan itu. Dia tidak ada dalam daftar prajurit yang gugur maupun tertangkap.
Namun, pasca Indonesia merdeka, tepatnya 19 Agustus 1945, Soeprijadi ditunjuk sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Akan tetapi, ia tak pernah muncul. Akhirnya, pada 20 Oktober 1945, Sukarno menunjuk Muhammad Suliyoadikusumo sebagai Menteri Keamanan Rakyat ad-interim (sementara).
MAHESA DANU


