Pandangan Dan Catatan Kritis PRD Untuk RUU Cipta Kerja (Selesai)

Artikel berikut ini merupakan sikap politik dan catatan kritis Partai Rakyat Demokratik (PRD) terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Karena artikel ini cukup panjang, maka penayangannya secara berseri. Ini merupakan bagian yang kedua. Bagian pertama di sini dan kedua di sini.

RUU Cipta Kerja: Diagnosa yang Salah

Menurut kami, persoalan terbesar RUU Cipta Kerja adalah tidak didahului dengan diagnosa yang komprehensif terhadap persoalan ekonomi nasional.

Buktinya, diagnosa RUU ini mentok di persoalan investasi yang dianggap lambat. Padahal, jika merujuk data, kinerja investasi di Indonesia tidak kurang-kurang. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia masuk dalam top-20 penerima investasi langsung asing (foreign direct investment). Di Asia tenggara, kontribusi investasi terhadap PDB Indonesia termasuk yang tertinggi di Asia tenggara, yakni 33,65 persen.

Presiden Jokowi juga sudah mengingatkan kita, bangsa Indonesia, agar jangan kufur nikmat. Sebab, kendati ekonomi dunia sedang melambat, pertumbuhan ekonomi kita tidak pernah di bawah 5 persen. Bandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand, yang hanya di kisaran 2-3 persen.

Yang tak diurai dengan terang-benderang, kenapa pertumbuhan investasi dan PDB tak justru berjalan beriringan dengan melebarnya ketimpangan ekonomi. Dalam rentang 15 tahun, sepanjang 2000-2015, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 6 persen. Namun, dalam rentang yang sama, seperti ditunjukkan data BPS, rasio gini Indonesia melompat jauh dari 0,30 menjadi 0,42.

Bagi kami, persoalan terbesar kita adalah melebarnya ketimpangan ekonomi. Ditambah lagi, kendati dianggap berkurang oleh BPS (hanya 9,2 persen), tetapi jika menggunakan pengelompokan Bank Dunia (poor, vurnerable, dan aspiring middle class), ada 79 persen penduduk Indonesia yang belum benar-benar bebas dari jurang kemiskinan.

Kenapa pertumbuhan investasi dan PDB tak berjalan beriringan dengan penyerapan tenaga kerja? Hingga sekarang, ekonomi Indonesia masih didominasi sektor informal. Bahkan, sebagian besar angkatan kerja kita masih terserap ke sektor informal.

Sebab, daya serap setiap persen pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja kian turun. Pada 2003, 1 persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap 400 ribu tenaga kerja. Sekarang, penyerapannya hanya 110 ribu tenaga kerja.

Presiden Jokowi selalu terusik dengan defisit transaksi berjalan. Selalu yang dipersalahkan adalah penurunan harga komoditas dunia dan perlambatan ekonomi dunia. Kenapa tidak mempertanyakan: mengapa Indonesia tidak pernah beranjak dari ekstraktivisme (eksploitasi SDA, lalu dijual mentah)?

Lebih tajam lagi, kenapa tidak mempertanyakan kinerja ekspor kita, yang harusnya ditopang sepenuhnya oleh industri dan pertanian dalam negeri. Juga mempertanyakan, kenapa industri dalam negeri sangat bergantung pada impor bahan baku, bahan penolong, dan bahan modal?

Kenapa kita tak pernah sadar,  penyebab defisit transaksi berjalan adalah struktur ekonomi Indonesia yang tidak cukup mewadahi sektor usaha penghasil barang untuk ekspor. Dua penopang utama penghasil barang, yaitu industri pengolahan dan pertanian, sedang terpukul.

Dari tahun ke tahun, industri pengolahan (manufaktur) makin tertatih-tatih.Di sepanjang 1990-an (sebelum krisis), pertumbuhan industri manufaktur selalu di atas 9 persen. Tetapi, di tahun 2019, manufaktur hanya tumbuh 4,68 persen.

Kontribusi industri pengolahan terhadap PDB terus menyusut.Jika di tahun 1990an, kontribusi manufaktur masih di kisaran 30 persen. Maka sekarang, kontribusinya menyusut tinggal 19,8 persen.

Begitu juga dengan sektor pertanian. Pangsa pasar pertanian terhadap PDB semakin berkurang. Di tahun 1990 angkanya masih 22,09 persen, tetapi di tahun 2017 tinggal sekitar 13 persen. Sementara serapan tenaga kerjanya juga turun dari 55,3 persen menjadi 31,9 persen.

Penyebab dari keterpurukan dua sektor itu adalah liberalisasi ekonomi, terutama liberalisasi investasi dan perdagangan, yang memukul pangsa pasar keduanya. Industri kita, yang bakunya tergantung pada impor, yang 60 persen tenaga kerjanya hanya lulusan SD dan SMP, kalah bersaing dengan barang-barang impor. Begitu juga dengan sektor pertanian.

Karena itu, bagi kami, ketika RUU Cipta Kerja justru mendorong liberalisasi, baik investasi maupun perdagangan, maka itu tak akan mengobati  persoalan ekonomi nasional kita. Sebaliknya,

F. Pelajaran dari Pandemi

Pandemi menyingkap retakan-retakan besar dalam bangunan sistem ekonomi maupun politik yang sudah memerintah dunia kita sejak 3 abad terakhir.

Lihatlah Amerika Serikat, negeri dengan PDB terbesar di dunia, segala teknologi mereka punya, hampir semua korporasi besar berkantor di sana, gagal merespon permintaan paling mendasar dalam perang melawan pandemi: alat pelindung diri (APD).

Di negara kapitalis paling maju sekalipun, mekanisme pasar gagal merespon dampak pandemi. Mulai dari soal pemenuhan kebutuhan dasar, gelombang PHK massal, hingga rontoknya dunia usaha.

Sebelum pandemi, sistem ini sudah meninggalkan banyak persoalan yang sangat serius, terutama ketimpangan dan krisis ekologi.

Sehingga tak sedikit orang yang berbicara tentang akhir dari kapitalisme. Kalau pun orang belum sampai pada kesimpulan itu, mereka bicara tentang koreksi terhadap sistem ini.

Bahwa liberalisasi ekonomi ugal-ugalan, yang mengabaikan aspek perlindungan sosial dan lingkungan, telah membawa umat manusia bertatap muka dengan krisis sosial-politik (lebih dari 20-an negara bergolak di tahun 2019) dan krisis ekologi.

Bahwa liberalisasi ekonomi, yang mendorong privatisasi layanan publik (termasuk kesehatan) dan memangkas perlindungan sosial, telah menghilangkan kapasitas banyak negara dalam menghadapi pandemi.

Bahwa obsesi mengejar pertumbuhan ekonomi berbasis PDB, yang mengharuskan eksploitasi sumber daya dan produksi tanpa batas, hanya mempertajam ketimpangan dan krisis ekolologi.

Bahwa janji-janji globalisasi neoliberal, yang menjanjikan dunia tanpa batas, yang di dalamnya umat manusia hidup dalam sebuah perkampungan global, ternyata hanya omong kosong belaka.

Pandemi ini, meminjam istilah Arundhati Roy, adalah satu pintu gerbang antara dunia lama dengan dunia baru. Kita dihadapkan pada dua pilihan: bertahan pada dunia lama atau melangkah menuju dunia baru.

Sekarang kita diperhadapkan pada pilihan-pilihan itu.

Ketika hampir semua bangsa sudah mau meninggalkan jalan liberalisme yang ugal-ugalan, bahkan lembaga sekelas IMF sudah bicara “koreksi arah”, masihkah kita mau bersetia hingga mati pada jalan tersebut?

Ketika ide deglobalisasi kembali mendengung kuat di luar sana, bukankah sangat relevan untuk mendengunkan pula visi pendiri bangsa kita, Bung Karno, tentang perlunya berdiri di kaki sendiri (berdikari)?

Tentu saja, RUU cipta kerja dengan semangat liberalisme ugal-ugalannya hendak mempertahankan kita dalam dunia lama yang brutal.

G. Ganti Haluan Ekonomi: Kembali ke Pasal 33 UUD 1945

Bagi kami, menghadapi situasi ekonomi dalam negeri maupun global hari ini, pilihannya bukanlah RUU Cipta Kerja yang agendanya deregulasi, melainkan melakukan perubahan haluan ekonomi.

Liberalisasi ekonomi, yang menjadi peta jalan ekonomi Indonesia sejak Orde Baru hingga sekarang, terbukti gagal membangun fondasi ekonomi nasional yang kokoh. Yang terjadi, ekonomi Indonesia berdiri di tiang yang sangat rapuh.

Penggantian haluan ekonomi ini bukan berarti menolak mentah-mentah investasi asing. Bagi kami, di tengah keterbatasan modal dalam negeri, investasi asing tetap perlu. Hanya saja, paradigmanya harus win-win solution: mereka untung, kita juga harus untung.

Karena itu, strategi menggaet investasi harus diubah. Bukan lagi mempreteli regulasi yang membentengi ekonomi nasional, mitigasi lingkungan, dan kesejahteraan rakyat.

Indonesia punya tenaga kerja tersedia, pasar sangat potensil, dan sumber bahan baku cukup melimpah dan beragam. Dalam 10 tahun ke depan, sekitar 65 persen dari penduduk kita adalah usia produktif (15-64 tahun).

Karena itu, yang perlu dibenahi adalah SDM-nya. Struktur tenaga kerja Indonesia yang didominasi SD-SMP itu harus diubah, dengan membuka akses pendidikan yang lebih luas kepada semua warga negara.

Birokrasi kita yang korup, yang mentalnya minta dilayani itu, yang suka ngembat  pungli dan ekonomi rente itu, juga perlu di-retooling. KPK harusnya diperkuat dan diperluas hingga ke tingkat Kabupaten/Kota.

Bersamaan dengan itu, kita juga perlu memulai langkah-langkah berikut:

Pertama, mendorong industrialisasi nasional

Tak bisa ditunda lagi, pemerintah harus punya peta jalan yang jelas menuju industrialisasi. Dan itu, seperti dijelaskan Bung Hatta, bukan sekedar membangun pabrik di mana-mana, tetapi soal mengubah struktur pertanian kita, dari agraria menjadi berbasis industri.

Satu, industrialisasi nasional harus dimulai dari pengembangan industri olahan, terutama hasil SDA (hutan, pertanian, perikanan, tambang, dsb). Dengan begitu, ekspor Indonesia bukan lagi bahan mentah, tetapi bahan hasil olahan yang punya nilai tambah lebih tinggi.

Dua, industrialisasi nasional harus berpijak pada pembangunan dan penguatan industri dasar, seperti logam dasar dan petrokimia, sehingga mengurangi ketergantungan industri dalam negeri pada bahan baku impor.

Tiga, ketersediaan infrastruktur penopang industri, seperti energi (gas dan listrik) dan sistim transportasi yang menghubungkan kawasan industri dengan pelabuhan.

Empat, pendekatan kesejahteraan buruh yang tak berfokus pada upah, tetapi keterlibatan Negara dalam menyediakan akses sembako murah, jaminan pendidikan, jaminan kesehatan, transportasi, dan perumahan bagi buruh.

Lima, memperkuat riset dan alih-teknologi untuk meningkatkan daya saing, produktivitas, dan nilai tambah hasil produksi industi dalam negeri.

Kedua,Memperkuat Koperasi dan UMKM

Pertama, negara memberi dukungan permodalan untuk UMKM, baik saat memulai usaha maupun untuk pengembangan. Selama ini, UMKM kesulitan mengakses permodalan dari bank karena adanya syarat creditworthiness yang berat.

Untuk persoalan permodalan ini, negara perlu membuat terobosan. Misalnya, negara membentuk bank khusus, semacam Grameen Bank, yang mengkonsolidasikan dan menyalurkan modal untuk UMKM.

Kedua, negara memberikan dukungan untuk mengurangi beban produksi. Misalnya, pemerintah mensubsidi penggunaan energi untuk UMKM, terutama gas, BBM dan listrik.

Ketiga, negara membantu akses pasar bagi UMKM. Pemerintah harus menjaga pangsa pasar UMKM di dalam negeri, misalnya mewajibkan (dengan kuota minimum) penggunaan/penjualan produk UMKM untuk pasar modern, perhotelan, industri, dan lain-lain. Selain itu, UMKM juga harus dibantu untuk memanfaatkan platform digital untuk jualan daring.

Pemerintah juga perlu memperluas pasar UMKM hingga keluar negeri melalui ekspor. Untuk diketahui, meski mewakili 99,99 persen unit usaha dalam negeri, kontribusi UMKM untuk ekspor hanya di kisaran 14,5 persen.

Perhatian yang sama juga harus diberikan pada koperasi. Bahkan, jika memungkinkan, UMKM yang berserak-serak diwadahi dalam koperasi.

Ketiga, menghidupkan kembali pertanian dalam negeri

Sektor pertanian, yang menjadi tumpangan hidup bagi 28 persen penduduk negeri ini, harus dibenahi kembali. Apalagi, jika mengingat pesan Bung Karno, soal pangan adalah soal hidup dan matinya sebuah bangsa. Tanpa kedaulatan pangan, omong kosong kemandirian nasional.

Pertama, liberalisasi impor pangan, termasuk yang didengunkan oleh RUU Cipta Kerja, harus dievaluasi. Sudah sejak awal 2000-an, ketika impor pangan menghancurkan harga produk pangan dalam negeri, sektor pertanian seperti mati suri.

Kedua, melaksanakan serius reforma agraria, yang sasaran intinya mendistribusikan penguasaan dan pemanfaatan tanah/lahan agar berkeadilan sosial. Agar petani gurem dan tak bertanah (landless peasant), yang jumlahnya sekitar 80 persen dari jumlah petani Indonesia, bisa mendapat akses terhadap tanah dan menjadi lebih produktif.

Ketiga, memperbaiki kualitas tenaga kerja di sektor pertanian. Data menyebutkan, 72,5 persen petani Indonesia berpendidikan maksimal SD. Sudah begitu, mayoiritas petani Indonesia berusia 45 tahun ke atas.

Akses pendidikan, baik formal maupun non-formal, perlu diperluas di desa-desa. Hanya dengan begitu, proses adaftasi dan inovasi teknologi di pertanian bisa bergerak maju.

Keempat, memberi dukungan modal dan teknologi, agar meningkarkan daya saing dan produkvitas hasil produksi petani dalam negeri.

Kelima, investasi di sektor pertanian lebih baik diprioritaskan ke pengolahan hasil pertanian. Selain untuk mengamankan akses pasar, juga untuk menambah nilai tambah hasil produksi petani, sehingga meningkatkan kesejahteraan petani. Ini juga untuk menautkan pertanian dan industrialisasi.

Keempat, pembangunan sumber daya manusia lewat pemajuan pendidikan dan perbaikan layanan kesehatan rakyat.

Negara harus memastikan pendidikan bisa diakses oleh seluruh warga negara, tanpa pengecualian dan tanpa diskriminasi.

Untuk itu, negara harus menghentikan praktek komersialisasi pendidikan. Semua sekolah publik (sekolah/PTN negeri) harus diselenggarakan dan dibiayai oleh Negara.

Negara juga harus memastikan layanan dan fasilitas kesehatan bisa diakses oleh seluruh rakyat. Untuk itu, negara perlu sistem jaminan kesehatan yang benar-benar  punya cakupan semesta (universal coverage).

Kelima, Pajak yang berkeadilan sosial

Karena kita sedang berhadapan dengan ketimpangan, maka skema pajak kita perlu diperbaiki. Sebab, pajak juga merupakan instrumen penting untuk mengurangi ketimpangan, karena mendorong redistribusi kekayaan dan pendapatan.

Selama ini, skema pajak kita belum adil. Pendapatan senilai UMP DKI Jakarta, itu kena pajak 5 persen. Sementara pendapatan sebanyak apa pun (500 juta ke atas), platform tariff tertingginya hanya 30 persen.

Kelompok penghasilan dan tariff pajaknya harus diubah. Agar mereka yang lebih kaya, bisa menyetorkan pajak yang lebih banyak untuk pembangunan negeri.

Keenam, pembangunan yang berkelanjutan

Agar dunia ini masih bisa menjadi tempat yang nyaman bagi anak dan cucu kita, bagi generasi masa depan, sudah saatnya kita mengadopsi model pembangunan yang berkelanjutan.

Model pembangunan ini harus menempatkan manusia dan lingkungan di atas motif-motif yang lain. Kita harus mensyaratkan perhitungan terhadap dampak sosial dan lingkungan terhadap semua kegiatan pembangunan dan investasi.

Kita perlu mengubah oritentasi ekonomi kita yang mendewakan pertumbuhan ekonomi (berbasis PDB), yang notabene hanya melayani keserakahan segelintir orang, kembali ke pasal 33 UUD 1945: demokrasi ekonomi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kita harus mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan beralih pada energi terbarukan, seperti angin, matahari, air, panas bumi, arus laut, dan lain-lain, yang ketersediaannya melimpah di negara kita. (selesai)


Keterangan foto: Aksi menolak RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (16/7/2020). Sumber foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid