Artikel berikut ini merupakan sikap politik dan catatan kritis Partai Rakyat Demokratik (PRD) terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Karena artikel ini cukup panjang, maka penayangannya secara berseri.
Suatu ketika, di pembukaan tahun 2020, Presiden Joko Widodo mengeluh. Indonesia, negeri kita tercinta, mengalami obesitas regulasi. Akibatnya, pemerintah kurang lincah dalam mengambil keputusan.
Sampai di situ, keluhan Presiden Joko Widodo bisa dimaklumi. Hingga Februari 2010, Indonesia punya 1687 UU, 4570 PP, 2049 Perpres, dan 14.500 Permen. Ditambah lagi, di seantero nusantara ini, ada 15.965 Perda.
Birokrasi Indonesia yang gemuk, dengan ego sektoralnya yang kuat, berkontribusi pada over-regulasi ini. Disamping itu, dalam sistem politik yang korup, regulasi menjadi “barang dagangan” para elit politik. Tak mengherankan, banyak regulasi yang tak disusun dengan perencanaan yang matang dan berbasis kebutuhan masyarakat.
Masalahnya, over-regulasi itu menciptakan birokratisme yang berbelit-belit, tumpang tindih aturan (over-lapping), dan sekaligus menciptakan celah bagi “ekonomi rente”. Kemudian, karena menjadi “barang dagangan” politik, tak sedikit regulasi yang merugikan kepentingan umum.
Karena itu, setiap ide atau upaya untuk menyederhanakan, merapikan, dan mengoreksi buruknya regulasi di Indonesia patut didukung. Tentu saja, semangatnya harus mengabdi kepada kebaikan bersama atau kepentingan umum.
Nah, dalam konteks itu, pemerintahan Jokowi menyodorkan ide Omnibus Law, yang diharapkan bisa mengatasi problem obesitas regulasi di Indonesia.
Sederhananya, omnibus law adalah metode penyusunan UU yang mengatur banyak hal dalam satu paket aturan, sehingga tidak tumpang-tindih dan saling bertentangan. Juga bisa diartikan sebagai metode hukum untuk menyederhanakan, merapikan, dan mengoreksi berbagai regulasi.
Sebagai metode, omnibus law bisa menjadi terobosan yang progressif, yaitu memperbaiki dan mengoreksi banyak UU agar senapas dengan realitas kebutuhan masyarakat dan tuntutan perkembangan zaman.
Namun, sebagai metode pula, omnibus law bisa juga diperalat oleh rezim yang punya agenda deregulasi, yaitu membongkar-pasang berbagai norma dalam berbagai regulasi agar terbuka atau adaptif dengan kepentingan investasi dan pasar.
Bagi kami, ini yang perlu dicermati, apakah omnibus law di tangan Jokowi benar-benar untuk menyelesaikan problem obesitas regulasi? Ataukah, isu penyederhanaan regulasi hanya “kecap pemanis” untuk menutupi agenda deregulasi ugal-ugalan?
Dan pertanyaaan maha-penting, apakah Omnibus Law bisa menjawab persoalan ekonomi nasional?
Untuk itu, kita perlu membedah proses pembentukan Omnibus Law ini, konteks ekonomi-politik yang melahirkannya, dan materi muatannya. Di sini, kita akan fokus membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, yang paling banyak diperdebatkan dan diprotes oleh banyak pihak.
Problem Hukum Omnibus Law
Sebetulnya, sebagai metode penyusunan UU, problem Omnibus Law bukan pada sistem hukum yang dianut suatu negara: civil law atau common law.
Sebab, dalam tradisi negara demokratis, sistem hukum itu bukanlah sebuah tembok besar yang menolak pengalaman, konsep, atau metode hukum lain yang lebih maju. Belanda, negeri yang menganut civil law, juga pernah menggunakan metode omnibus law.
Nah, yang perlu diperiksa adalah proses pembentukannya dan muatan materilnya. Apakah proses pembutannya sudah sesuai dengan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip negara demokratis? Apakah muatannya sudah sejalan dengan cita-cita menyederhanakan dan mengoreksi obesitas regulasi di Indonesia?
UU yang baik bukanlah UU yang lahir dari keinginan dari pembuatnya saja, yang merasa mengetahui apa yang diinginkan dan dikehendaki warga negaranya. Bagi kami, UU yang baik harus sesuai dengan keinginan dan aspirasi warga negara.
Karena itu, partisipasi warga negara menjadi syarat mutlak pembentukan UU, sebagaimana disyaratkan dalam UU nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan (UUP3).
Di sinilah masalah pertama muncul. Sejak jadi ide hingga terejawantah dalam bentuk draft, RUU Cipta Kerja tidak pernah diperkaya dengan aspirasi dari masyarakat. Proses penyusunan draftnya tidak pernah membuka ruang untuk partisipasi masyarakat luas.
Jangankan itu, draftnya saja terkesan disembunyikan di publik, sehingga menghilangkan kesempatan publik untuk mengomentari, mengeritik, dan memberi masukan terhadap draft itu sebelum diserahkan ke DPR.
Persoalan kedua, RUU Cipta Kerja menyasar 1000-an pasal di 79 UU multisektor. Masalahnya, setiap UU punya paradigma tersendiri yang menjadi dasar pembentukannya.
Anggaplah, misalnya, UU nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan lingkungan hidup. Paradigma pembentukannya adalah untuk kelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Namun, RUU Cipta Kerja membongkar beberapa norma yang menjadi jiwa utama UU tersebut, seperti izin lingkungan dan AMDAL, agar sejalan dengan kepentingan investasi.
Jadi, alih-alih tentang penyederhanaan dan harmonisasi regulasi, RUU Cipta Kerja sebetulnya adalah penyeragaman paradigma semua regulasi agar terbuka pada investasi.
Yang ketiga, untuk pelaksanaan RUU Cipta Kerja ini, setidaknya ada 516 norma delegasi ke tingkat PP, Perpres dan Perda. Padahal, kalau kita lihat, penggemukan regulasi itu paling banyak ada di tingkat PP, Perpres, Permen, dan Perda.
Jadi, alih-alih mau mengurangi obesitas regulasi, RUU Cipta Kerja justru makin mempergemuknya. Belum Omnibus yang lain: RUU Perpajakan, RUU kefarmasian, RUU Ibukota Negara.
Persoalan lainnya, muatan dan cakupan RUU ini terlalu banyak dan luas, yang menyasar 79 UU multisektor dan 11 kluster, terdiri dari 174 pasal, dan tertorehkan di 1028 halaman. Di sisi lain, proses pembuatan dan pengesahannya terkesan dikebut (ditargetkan selesai Mei 2020).
Dengan muatan yang banyak dan luas itu, partisipasi publik untuk membedah pasal demi per pasal tentu sulit. Kemudian, karena cakupannya yang multisektor dan menyasar 11 klaster, apakah pembahasannya di DPR akan menyebar berbagai komisi sesuai sektor dan klasternya?
Ekonomi Politik Omnibus Law
Mengingat bahwa tak ada produk politik yang lahir dari ruang-kosong, semuanya berkelindang dengan kepentingan ekonomi dan politik. Maka, selain mengulik problem hukum dan substansi RUU ini, perlu juga menyelisik dinamika ekonomi-politik yang melahirkannya.
Pertama, ada desakan liberalisasi yang terus menguat pasca reformasi 1998, yang menerjang kehidupan politik, ekonomi, dan sosial-budaya kita.
Agenda liberalisasi ini, yang didiktekan dan dipaksakan oleh IMF, Bank Dunia, WTO, maupun berbagai perjanjian bilateral dan multilateral, mewarnai hampir semua pemerintahan pasca reformasi—dengan pengecualian: pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Beberapa isu yang diusung oleh RUU Cipta Kerja, terutama pasar tenaga kerja dan pengupahan yang fleksibel, sudah menjadi desakan IMF sejak 1997 melalui Letter of Intent (LoI). Jadi, bukan barang baru.
Begitu juga dengan segala daya upaya untuk menghilangkan pembatasan terhadap impor, seperti termaktub dalam RUU Cipta Kerja. Ini hanya bahasa lain dari: liberalisasi perdagangan alias perdagangan bebas.
Setelah dua dekade agenda liberalisasi itu berjalan dengan puluhan UU, yang kadang terhambat oleh agenda politik nasionalistik dan perlawanan rakyat, sekarang hendak dituntaskan lewat satu ketukan palu saja: omnibus law.
Kedua, setelah dua dekade bergulir, reformasi 1998 tak kunjung melahirkan lompatan kualitatif; partisipatif, inklusif, deliberatif, dan berkeadilan sosial.
Yang terjadi, kebebasan politik berhasil ditunggangi oleh elit-elit kaya yang berusaha mengawinkan agenda politik dengan kepentingan bisnisnya. Yang terjadi, kebebasan itu melahirkan oligarki.
Ini juga yang membuat proses demokrasi di negara kita berbelok ke arah illiberal, yang ditandai oleh melemahkan kebebasan sipil dan menguatnya peran kelompok bersenjata.
Saking parahnya, seperti diutarakan oleh Prof Jeffrey Winters, oligarki inilah yang mengendalikan sistem politik Indonesia. Mereka yang mengendalikan partai politik, dari pendanaan, mesin politik, hingga tujuan politiknya. Mereka juga yang menguasai politik Indonesia dan segala regulasi yang dihasilkannya.
Tidak mengherankan, dalam dua dekade terakhir, dari 600-an UU yang disahkan, hampir semuanya memihak kepentingan oligarki. Terutama yang berkait dengan pengelolaan sumber daya alam, investasi, perdagangan, perpajakan, keuangan, dan lain-lain.
Jadi, RUU Cipta Kerja mengakomodoasi dua kepentingan yang saling bertalian, yakni liberalisasi ekonomi dan kepentingan oligarki.
Ketiga, sebelum datangnya pandemi covid-19, ekonomi dunia sebetulnya sedang mengalami resesi. Negara-negara yang ditopang oleh industri yang kuat, yang dijejerkan sebagai negara kapitalis paling maju, seperti AS, Jerman, Jepang, Inggris, sudah di tubir resesi ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi hampir semua negara itu di bawah 1 persen. Bahkan, pada kuartal terakhir 2019, pertumbuhan ekonomi Jerman jatuh ke angka nol, sedangkan Jepang di minus 1,6 persen.
Kemudian datang pandemi covid-19, yang meluluhlantakkan bangunan kapitalisme global. Berdasarkan laporan PBB, hampir 81 persen pabrik di dunia terganggu produksinya. Kemudian, ada 3,3 milyar pekerja yang terdampak. Rantai pasokan global terganggu. Perdagangan global juga nyaris berhenti.
Bank Dunia menyebut krisis ekonomi yang dipicu pandemi sebagai yang terparah dalam 80 tahun terakhir atau sejak berakhirnya perang dunia ke-2. Sedangkan IMF menyebutnya sebagai kejatuhan ekonomi terburuk sejak depresi besar 1930-an.
Situasi ini tentu menjadi mimpi buruk bagi negeri-negeri yang menggantungkan jantung ekonominya, terutama investasi dan perdagangan, pada sirkuit kapitalisme global. Sebelum pandemi saja, investasi dan perdagangan sudah seret. Apalagi sekarang ini.
Nah, agar investasi asing yang sudah seret ini tetap mau mengalir ke Indonesia, jangan heran jika banyak kebijakan bergaya obral. Mulai dari kemudahan perizinan, diskon harga lahan, hingga penghapusan pajak.
Dan demi tujuan itu, RUU cipta kerja akan terus dikebut, agar menjadi “pesta diskon” bagi investor asing di tengah pandemi dan memudarnya kapitalisme global. (bersambung)
Keterangan foto: Salah satu poster yang dibawa oleh peserta aksi Greenpeace di depan Gedung DPR-RI, Senin, 29 Juni 2020. Foto: Lontar/Dumaz Artadi.