Pandangan Dan Catatan Kritis PRD Untuk RUU Cipta Kerja (2)

Artikel berikut ini merupakan sikap politik dan catatan kritis Partai Rakyat Demokratik (PRD) terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Karena artikel ini cukup panjang, maka penayangannya secara berseri. Ini merupakan bagian yang kedua. Bagian pertama di sini.

Muatan yang bermasalah

Perizinan Berusaha

  • RUU Cipta Kerja mengubah konsep perizinan, dari konsep izin kegiatan usaha (license approach) diubah menjadi penerapan standar dan berbasis risiko (Risk-Based Licence). Perizinan berbasis resiko ini diukur dengan 4 aspek: kesehatan, keselamatan, lingkungan, dan pemanfaatan sumber daya. Hanya kegiatan usaha beresiko tinggi yang diwajibkan mendapatkan izin dari pemerintah pusat. Namun, tidak ada indikator yang jelas terkait resiko-resiko tersebut.

Penanaman Modal Asing

  • RUU Cipta Kerja membuka sejumlah bidang usaha yang sebelumnya tertutup bagi UU PMA (UU nomor 25/2007), seperti produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang. Juga bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.
  • RUU Cipta Kerja mengubah pasal 13 ayat (1) UU terkait kewajiban pemerintah mencadangkan bidang usaha bagi UMKM dan Koperasi.

Pemanfaatan Ruang, pesisir, dan laut

  • Ada potensi sentralisasi penataan ruang di tangan pemerintah pusat, yang mengabaikan kapasitas pemerintah daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) untuk menata ruang wilayah. Padahal, dalam semangat otoda, pemberian kewenangan ke daerah dilandasi oleh kesadaran bahwa faktor kedekatan dan pengenalan wilayah itu penting.
  • Persetujuan dan pembatalan pemanfaatan ruang berada di tangan pusat. Tidak ada lagi wewenang daerah (yang dimungkinkan di UU sebelumnya). Juga tidak ada ruang bagi partisipasi warga dalam pemberian persetujuan dan pembatalan tersebut.
  • Di satu sisi, penataan dan pemanfaatan ruangnya sangat sentralistik (di tangan pusat). Tetapi, di sisi lain, setiap orang yang tidak menaati atau menentang akan diperhadapkan dengan pidana (kriminalisasi).
  • Semua Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP3K) yang melibatkan pemerintah daerah dihapus, selanjutnya diserahkan pada pusat.
  • Pemanfaatan ruang pesisir dan laut untuk usaha harus mendapat izin dari pemerintah pusat. Masyarakat lokal atau tradisional yang ingin memanfaatkan laut dan pesisir harus memiliki perizinan berusaha yang diberikan oleh pemerintah pusat (dikecualikan bagi masyarakat adat).

Lingkungan Hidup

  • Izin lingkungan, sebagai persyaratan usaha (wajib Amdal-UKL/UPL), dihapuskan. Selanjutnya, setiap usaha/kegiatan hanya dipersyaratkan persetujuan lingkungan, yang kriteria dan persyaratannya lebih ringan.
  • Di RUU Cipta Kerja, Amdal tak lagi sebagai dasar yang diperlukan untuk pengambilan keputusan terkait usaha/kegiatan, melainkan jadi pertimbangan.
  • Kriteria usaha/kegiatan yang wajib mengantongi Amdal (yang cukup detail di UU lama) dikaburkan dengan “berdampak penting terhadap lingkungan hidup, sosial, budaya, dan ekonomi”, yang penjelasan rincinya didelegasikan ke PP.
  • Partisipasi warga dalam dokumen Amdal direduksi hanya pada warga masyarakat yang terkena dampak langsung dari rencana usaha. Di UU lama, tanggapan dan masukan masyarakat itu tidak dispesifikkan.

Pendirian Bangunan

  •  RUU Cipta Kerja menghapus semua persyaratan administratif untuk pendirian bangunan gedung, yang meliputi status hak atas tanah, izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan gedung ( IMB).
  • RUU Cipta Kerja juga menghapus persyaratan peruntukan lokasi, kepadatan, ketinggian, dan jarak bebas gedung. Persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan bangunan gedung juga dihapus. Dengan demikian, langkah mitigasi dampak bencana bangunan gedung dihilangkan.

Minerba dan Migas

  • Tata kelola tambang disentralisasi ke pusat. Tidak ada lagi kewenangan pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, baik sebagai pembuat aturan maupun pemberi izin.
  • Konsep perizinan pertambangan diubah, dari tiga jenis perizinan (IUP, IPR dan IUPK) menjadi Perizinan Berusaha. Jika di IUP, perizinan itu ada dua tahap yang terpisah, yaitu izin eksplorasi dan izin operasi produksi, maka di Perizinan Berusaha disatukan.
  • Ada perlakuan khusus bagi usaha tambang mineral dan batubara yang melakukan kegiatan operasi produksi terintegrasi dengan permunian dan pengolahan berupa jangka waktu izin yang lebih panjang, yaitu 30 tahun dan bisa diperpanjang 10 tahun sesuai umur tambang.
  • Ketentuan yang mewajibkan pemegang izin eksplorasi yang berhasil mendapatkan mineral atau bara untuk melapor ke Menteri dihapuskan. Juga tak perlu izin, jika mau melakukan pengangkutan dan penjualan.
  • Tidak ada lagi pembatasan luas wilayah usaha pertambangan untuk kegiatan produksi,  baik mineral maupun batubara, dihapuskan. Sebelumnya, WIUPK untuk kegiatan operasi produksi mineral logam dibatasi 25 ribu hektar, sementara WIUPK batubara hanya 15 ribu hektar.
  •  Pelaku usaha minerba yang melakukan permunian dan pengolahan dibebaskan dari kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri (DMO) dan pengenaan royalti 0 persen.
  • Konflik pertambangan, seperti tumpang-tindih hak atas tanah, diserahkan ke Presiden (Perpres).
  • Dalam RUU Cipta Kerja, pemerintah pusat sebagai pemegang kuasa pertambangan akan menegaskan BUMN Khusus sebagai pelaksana kegiatan hulu migas. Konsekuensinya, SKK Migas akan dibubarkan. Tentu saja, klausus ini tepat, karena mengembalikan pelaksana usaha hulu migas dari Badan khusus ke BUMN.

Pertanahan dan Perkebunan

  •  RUU Cipta Kerja mempermudah perubahan status tanah demi investasi, termasuk kawasan hutan, tanah kas desa, tanah wakaf, dll.
  • RUU Cipta Kerja memperluas kegiatan yang disebut “kepentingan umum”, dengan menambahkan hal-hal yang terkait dengan kepentingan bisnis/investasi, seperti kawasan industri hulu dan hilir migas, kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, kawasan pariwisata, dan kawasan lain yang ditetapkan dengan Perpres.
  • Ironisnya, dalam RUU Cipta Kerja ini, sama sekali tak disebut pengadaan tanah untuk program reforma agraria. Padahal, kalau pemerintah ingin mendorong reforma agrarian yang serius, harusnya pengadaan tanah untuk program ini terpastikan.
  • RUU Cipta Kerja menganulir persyaratan-persyaratan pengadaan tanah untuk investasi, seperti kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, pertimbangan teknis, di luar kawasan hutan dan di luar kawasan pertambangan, dan Amdal.
  •  RUU Cipta Kerja memperkuat praktek perampasan tanah dengan ganti rugi sekadarnya lewat konsinyasi.
  • RUU Cipta Kerja membolehkan alih-fungsi lahan pertanian demi kepentingan umum/proyek strategis nasional (yang maknanya sudah diperluas meliputi kepentingan bisnis dan swasta). Ini memberi lampu hijua bagi pengubahan alih-fungsi lahan untuk tujuan investasi.
  •  RUU Cipta Kerja pasal 123-134 menghidupkan beberapa konsep yang sudah ditolak di RUU pertanahan, seperti Bank Tanah dan Hak Pengelolaan (HPL). Konsep ini sangat mirip dengan konsep kolonial Hindia-Belanda: Domein Verklaring (pengusahaan tanah-tanah terlantar dan tak jelas pemilikannya oleh Negara untuk diserahkan ke swasta).
  •  Jadi, Bank Tanah ini akan mencari, mengumpulkan, mengelolah, memanfaatkan, dan mendistribusikan tanah. Tanah-tanah yang dikelola oleh Bank Tanah diberi hak pengelolaan (HPL). HPL ini bisa digunakan untuk HGU, HGB, dan Hak Pakai.
  • RUU Cipta Kerja pasal 136 dan 137 memberi Hak Milik atas Satuan Rumah Susun kepada Warga Negara Asing, badan hukum asing, dan perwakilan negara asing. Bersamaan dengan itu, rumah susun dibolehkan dibangun di atas HGB. Tentu saja, ini janggal karena membolehkan WNA memiliki unit rusun di atas tanah berstatus HGB (padahal, merujuk ke UUPA, HGB hanya untuk WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia).

Ketenagakerjaan

  • RUU Cipta Kerja mengadopsi konsep fleksibilitas pasar tenaga kerja (labour market flexibility) yang lebih ekstrem dari UUK nomor 13 tahun 2003.
  • RUU Cipta Kerja menghapus pasal 59 UUK, yang membatasi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk jenis pekerjaan tertentu, dihapuskan. Dengan demikian, PKWT atau sistem kontrak bisa berlaku pada semua jenis pekerjaan, termasuk pekerjaan yang permanen.
  • Kemudian pasal 66 UUK, yang membatasi alih daya (outsourcing) pada kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi (core production), juga diubah. Sebelumnya, outsourcing hanya boleh untuk kegiatan non-core production. Tetapi, UUK membolehkan outsourcing di semua lini produksi, termasuk core production.
  • Dengan perluasan sistem kerja kontrak dan outsourcing itu, tak ada lagi kepastian kerja (job security). Semua orang yang bekerja rentan mengalami insucerity job. Bersama itu, tidak ada lagi kepastian akan pendapatan, tunjangan, penghargaan masa kerja, dan lain-lain.
  •  RUU Cipta Kerja memperpanjang durasi kerja. Jika sebelumnya sudah diperkenalkan 7 jam sehari untuk 6 hari kerja atau 8 jam sehari untuk 5 hari kerja, maka di RUU Cipta Kerja membolehkan 8 jam kerja sehari. Bahkan, ada pasal sisipan (pasal 77 A), yang membolehkan pengusaha menerapkan jam kerja lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu. Waktu kerja lembur juga diperpanjang dari 3 jam sehari atau 14 jam seminggu menjadi 4 jam sehari dan 18 jam seminggu.
  • Banyak riset yang menunjukkan, jam kerja yang panjang tak berbanding lurus dengan produktivitas. Seperti riset OECD, negara dengan jam kerja yang pendek, seperti Jerman (26,3 jam per minggu), Norwegia (27,3 jam per minggu), Denmark (27,2 jam per minggu), justru produktivitasnya lebih tinggi dibanding negara dengan jam kerja di atas 40 jam per minggu. Yang kerap terjadi, jam kerja yang panjang menyebabkan waktu istirahat pekerja sangat singkat, sehingga kerap mengalami stress dan tekanan psikologis lainnya, bahkan bunuh diri. Di banyak negara maju dan beradab, jam kerja justru dikurangi, agar pekerja punya lebih banyak waktu luang dengan keluarganya dan mengembangkan kapasitas dirinya (kursus, lanjut sekolah, dll).
  • RUU Cipta Kerja juga mengenalkan fleksibilitas upah, dengan memperkenalkan upah berdasarkan satu waktu dan satuan hasil (pasal 88b). Dengan begitu, sangat mungkin di suatu hari, upah dihitung per jam atau hitung per hasil kerja.
  • Selain itu, RUU ini juga menyederhanakan upah minimum menjadi hanya Upah Minimum Provinsi (UMP). Artinya, upah minimum kabupaten/kota dan upah minimum sektoral akan dihilangkan. Masalahnya, akibat pembangunan dan kawasan industri yang terkonsentrasi, kebutuhan hidup layak tiap kota/kabupaten dalam provinsi bisa berbeda jauh.
  • Selain itu, RUU ini memperkuat model penghitungan upah sesuai PP 78/2015, yang berbasiskan pertumbuhan ekonomi: UMt+1 = UMt + (UMt x %PEt). Skema upah ini hanya akan memperparah ketimpangan upah antar daerah. Bagaimana dengan daerah yang pertumbuhan ekonominya minus seperti Papua? Sementara harga-harga cenderung naik, tapi upah nominal justru turun.
  • Di sisi lain, RUU ini memperkenalkan hal baru, yaitu pengaturan upah untuk pekerja UMKM. Di satu sisi, hal ini progressif, karena selama ini upah UMKM tidak diatur dan hanya berdasarkan kesepakatan dengan pemberi kerja. Di sisi lain, karena dasar penghitungannya berdasarkan garis kemiskinan, maka nilainya bisa sangat tidak manusiawi. Sebagai contoh, garis kemiskinan DKI hanya Rp 650 ribu, berarti upah pekerja UMKM hanya segitu. Kalau pun dihitung berdasarkan kelurga (yang dihitung rata-rata 4 anggota keluarga), berarti upahnya hanya di kisaran Rp 2,6 juta (hanya separuh dari UMP DKI).
  • RUU ini menghilangkan peran pemerintah dan serikat pekerja dalam mencegah PHK. Kemudian PHK hanya dianggap urusan antara pengusaha dan pekerja. Masalahnya, ketika daya tawar buruh rendah, tanpa didampingi pemerintah atau serikat, PHK menjadi gampang terjadi. Selain itu, di RUU ini ada pasal sisipan yang memungkinkan perusahaan melakukan PHK tanpa prosedur kesepakatan/pengadilan industrial, diantaranya karena alasan efisiensi, perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur), dan perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga.
  • Pasal 156 RUU Cipta Kerja juga menghapus kewajiban perusahaan untuk memberikan uang penggantian hak, menghapuskan ketentuan spesifik mengenai kompensasi untuk tiap-tiap alasan pemutusan hubungan kerja, serta mengurangi perhitungan maksimum uang penghargaan kerja. Tentu saja, dengan hilangnya kewajiban2 itu, pengusaha tak perlu khawatir beban biaya karena PHK.
  • Memang, RUU ini ada pasal pemanis (sweetener) bagi pekerja aktif, yaitu pemberian penghargaan berdasarkan masa kerja. Masa kerja di bawah 3 tahun mendapat uang sebesar 1 kali upah. Platform teratasnya, 12 tahun atau lebih, mendapat 5 kali upah. Namun, uang pemanis ini tak berlaku bagi pekerja sektor UMKM.
  • Hal yang baru juga adalah diperkenalkannya konsep flexicurity, yaitu jaring pengaman bagi korban PHK akibat fleksibilitas pasar tenaga kerja. Bentuk flexicuritynya adalah jaminan kehilangan pekerjaan. Masalahnya, jika melihat pasal 46C dan 46E RUU ini, konsepnya adalah asuransi sosial. Jadi, pekerja menjadi peserta program Jaminan Kehilangan Pekerjaan dengan membayar premi (yang dibayarkan lewat pemotongan gajinya per bulan). Jadi, alih-alih menawarkan flexicurity yang benar, ini mengalihkan beban PHK pada pundak pekerja.

Impor dan Perdagangan

  • Di UU No 18/2012 tentang pangan pasal 14, sumber penyediaan pangan nasional hanya dua, yaitu produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional. Impor hanya dibolehkan kalau dua hal di atas tak mencukupi kebutuhan nasional. Tetapi, di RUU Cipta Kerja, impor pangan dimasukkan dalam bagian sumber penyediaan pangan nasional.
  •  Pasal 36 RUU Cipta Kerja, impor pangan dilakukan tanpa syarat. Sementara di UU lama, impor pangan hanya dilakukan jika produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri.
  • Pasal 39 UU lama mengamanatkan kebijakan impor tak boleh berdampak negatif terhadap produsen pangan di dalam negeri. Namun, di RUU Cipta Kerja, kalimat “dampak negatif” itu dihilangkan.
  • Pidana pokok dalam UU nomor 5/1999 tentang persaingan usaha diubah jadi sanksi ringan, yaitu denda Rp 5 milyar atau pidana kurungan pengganti denda selama 3 bulan. Padahal, sebelumnya denda itu minimal Rp 25 milyar dan maksimal Rp 100 milyar atau pidana kurungan 6 bulan.
  • Pasal lain (pasal 49 UU 5/1999) yang mengatur pidana tambahan bagi pelaku monopoli atau persaingan usaha tidak seperti, seperti pencabutan izin, juga dihapus.

Pendidikan Tinggi

  • Layaknya badan usaha, penyelenggara pendidikan formal dan non-formal diwajibkan mengantongi surat perizinan berusaha. Tentu saja, ini mengesankan lembaga pendidikan tak ubahnya badan usaha yang berorientasi profit.
  • RUU Cipta Kerja membuka pintu yang begitu lebar bagi kehadiran lembaga pendidikan asing.
  • Selain itu, RUU menghapus pidana bagi penyelenggara (orang atau lembaga) pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, maupun gelar palsu. Juga menghapus pidana bagi orang yang menggunakan ijazah, sertifikat maupun gelar yang tidak sah.
  • Konsep otonomi perguruan tinggi, yang menjadi inti privatisasi lembaga pendidikan tinggi, diperkuat di RUU cipta kerja.
  • RUU Cipta kerja berlaku diskriminatif. Ada keharusan setiap guru/dosen memiliki sertifikat pendidik, tetapi dikecualikan pada guru/dosen yang jebolah perguruan tinggi luar negeri terakreditasi.

Kesimpulan

Dari semua pembacaan di atas, kita bisa menyimpulkan kerangka berpikir yang membentuk RUU Cipta Kerja ini.

Memang, semangat utama RUU ini adalah membuka jalan bagi investasi. Masalahnya, cara pandangnya bukan win-win solution, yang berarti kita dan investor sama-sama untung.

Kalau kita lihat, paradigm utama dari RUU Cipta Kerja adalah deregulasi yang ekstrem alias ugalan-ugalan. Agenda deregulasinya bukan sekadar pembukaan ruang ekonomi yang kondusif bagi investor, tetapi juga memaksimumkan keuntungan (profit maximization) bagi investor dengan membabat semua tiang-tiang penghalangnya: aturan ketenagakerjaan, mitigasi lingkungan, sisa-sisa proteksionisme (kebijakan DNI), dan lain sebagainya.

Jadi, yang “disapu jagat” oleh RUU Cipta Kerja bukan hanya regulasi yang mempersulit investasi, tetapi juga semua regulasi yang membatasi profit maximization  bagi investor.

Untuk memikat investor, RUU Cipta Kerja bukan hanya menyuguhkan kemudahan dan kenyamana berinvestasi, tetapi kepastian memaksimalisasi keuntungan.

Karena logika itu, RUU Cipta Negara mensubordinasi tugas negara sekedar sebagai “pelayan” investasi, yang memastikan target-target investasi terpenuhi. Sementara tugas negara yang hakiki, yang dimandatkan oleh Pembukaan UUD 1945, diamputasi oleh RUU ini.

Nah, untuk mencapai tujuan itu, maka RUU Cipta Kerja mendorong hal-hal berikut:

Pertama, pembukaan ruang ekonomi selebar-lebarnya bagi investasi. Beberapa sektor ekonomi yang sebelumnya masih tertutup atau masih ada rambu-rambunya, sekarang dibuka lebar dengan tanpa rambu-rambu lagi.

Kedua, mendorong politik pengadaan tanah berbau kolonial, domein verklaring, dengan menjadikan pemerintah sebagai penyedia tanah bagi investasi lewat konsep Bank Tanah dan Hak Pengelolaan (HPL).

Ketiga, mengadopsi pasar tenaga kerja yang fleksibel (labour market flexibility) untuk memastikan investor gampang merekrut dan membuang tenaga kerja, dengan biaya yang lebih murah (karena politik upah murah dan pelucutan hak-hak buruh), dan daya tawar yang rendah.

Keempat, menempatkan investasi di atas lingkungan. Sehingga, semua regulasi yang mendorong mitigasi lingkungan harus disapu jagat, mulai dari penghapusan izin lingkungan, AMDAL, hingga syarat-syarat pendirian bangunan.

Kelima, mensentralisasikan kewenangan ke tangan pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden, untuk memastikan investor tidak terganggu oleh rezim lokal, baik yang pemburu rente maupun yang populis.

Selain itu, RUU Cipta Kerja juga membawa gelagat otoriter lewat beberapa pasalnya yang memberi kewenangan luar biasa kepada Presiden untuk mengubah UU lewat peraturan pemerintah (pasal 170) dan kekuasaan Presiden untuk membatalkan Perda (pasal 166).

(bersambung)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid