Pakar geopolitik Dr. Radhika Desai mengatakan bahwa kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) sejak akhir Perang Dunia II bertujuan untuk menolak keberadaan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berusaha mencegah bersatunya Rusia dan Tiongkok. Menurutnya, menggunakan Taiwan sebagai pion dalam menghadapi Tiongkok, sebagaimana Ukraina terhadap Rusia.
Pengajar Ilmu Politik dan Direktur Riset Geopolitik Ekonomi di Universitas Manitoba, Kanada, ini mengatakan bahwa sampai dengan tahun 1972 kebijakan luar negeri AS dengan “one China policy” “kebijakan satu China” hanya mengakui Taiwan sebagai pemerintahan berdaulat yang juga membawahi Tiongkok daratan.
Saat terjadi revolusi tahun 1949 penguasa partai nasionalis Koumintang, Jenderal Chiang Kai-sek melarikan diri ke Taiwan dan membentuk pemerintahan di sana. Amerika Serikat menyatakan dukungan terhadap pemerintahan Chiang Kai-sek dan menolak pemerintahan Mao Tsetung.
Kebijakan ini baru berubah di tahun 1972, setelah Amerika melihat ada kebutuhan untuk memperluas perpecahan antara RRT dan Uni Soviet, ketika Sino-Soviet split sedang berlangsung.
Sejak saat itu Amerika Serikat mengakui kedaulatan RRT atas Taiwan, meskipun wacana atas kebijakan ini lantas berubah lagi sekarang dengan indikasi dukungan untuk kemerdekaan Taiwan.
Seperti diketahui, beberapa waktu terakhir ini ketegangan di Taiwan meningkat karena sejumlah intervensi dari Amerika Serikat. Setelah kunjungan beberapa pejabat tingginya ke Taiwan, AS juga menggelontorkan bantuan militer bernilai jutaan dolar ke negeri pulau yang diakui sebagai provinsi dari RRT tersebut.
Rahika menjelaskan bahwa hubungan ekonomi antara Tiongkok daratan dan Taiwan terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Hingga sampai pada suatu titik orang Taiwan akan mengatakan, “kita sudah menjadi bagian dari ekonomi Tiongkok, lantas apa persoalannya,” kata Radhika.
Ironisnya, partai Koumintang yang tahun 1949 mendirikan pemerintahan di Taiwan, saat ini justru mundur dari Partai Progresif Demokratik (DPP) yang menolak hubungan dengan Tiongkok dan ingin mendeklarasikan kemerdekaan atas dukungan Amerika Serikat.
Selanjutnya Radhika menjelaskan pengamatannya bahwa sangat mungkin pemerintahan DPP tersingkir pada pemilu 2024 mendatang.
Radhika mengatakan strategi menggunakan proxy negeri kecil untuk memerangi saingan negara besar tidak akan berhasil.
“Kita sudah melihat ini di Ukraina, seberapa besar sekalipun persenjataan yang dipompakan, aktor-aktor kecil ini tidak akan mampu menang melawan lawan raksasanya. Tidak Ukraina melawan Rusia, juga tidak Taiwan melawan Tiongkok,” kata Radhika.
(Dom)


