Nawal El Saadawi: Saya tak Pernah Menyesal Menulis

Kalian bertanya, apakah saya menyesali apa yang sudah saya tulis. Tidak, saya tidak menyesal sedikit pun sudah menulis 47 buku. 

Seandainya saya memulai hidup saya lagi, saya akan menulis buku yang sama. Semuanya sangat relevan hingga hari ini: masalah gender, kelas, kolonialisme (meskipun sekarang itu merujuk ke Inggris dan Amerika), sunat perempuan, sunat laki-laki, kapitalisme, dan pemerkosaan.

Buku saya selalu menyingkap hal-hal yang tabu, entah itu politik, ekonomi, seksualitas, maupun agama, tetapi drama saya yang paling radikal yang paling akhir, Tuhan Mengundurkan Diri di Pertemuan Puncak (God Resigns at the Summit Meeting).

Drama itu tidak pernah dipentaskan di teater. Dan drama itu benar-benar dilarang di Mesir. Itu belum semua saya ungkap di drama itu; penyensoran ini bersifat universal, bahkan dalam bahasa Inggris dan Perancis.

Kita hidup dalam dunia yang sangat religius, patriarkis dan kapitalistik. Mereka membakar buku saya di Mesir–bahkan penerbit yang membakarnya. Tapi, seandainya saya menuliskan semua apa yang hendak saya sampaikan, mungkin saya akan dibakar di tiang pancang.

Sekarang saya lagi menulis memoir, My Life Across the Ocean, tentang kehidupan saya saat tinggal di Eropa dan AS. Tapi setelah itu, sebelum saya mati, saya berharap bisa menulis buku tentang segala yang belum tersampaikan.

Dan terhadap semua yang pernah kulakukan, saya tak menyesalinya satu pun. Semua yang pernah kulakukan, entah itu saat mencalonkan diri sebagai Calon Presiden untuk melawan Husni Mobarak (2005), menceraikan dua suami, atau menentang sistem.

Yang saya sesalkan adalah saya masih kurang radikal. Saya berkompromi untuk hidup: nama saya pernah ada di daftar untuk dibunuh. Anda perlu sedikit berdiplomasi, jangan terlalu banyak, untuk bertahan hidup. Tidak seorang pun bisa mentoleransi kenyataan. Dan kenyataan itu kadang kejam.

Aku melihat diriku seperti kuda yang melompati rintangan, rintangan demi rintangan. Dan saya adalah kuda pemenang. Bagi saya, kemenangan itu memberi kekuatan. Saya kadang-kadang kalah juga, seperti ketika saya dipenjara, tetapi kita memang butuh beberapa dosis penderitaan, sebagai tantangan untuk meningkatkan energi dan kekuatan kita.

Saya sangat senang berkreasi dan menulis, terutama menulis novel. Itu memberi saya banyak sekali energi. Dan bagi saya, itu lebih menyenangkan ketimbang seks atau makanan apa pun. Dan saya menjadi orang berbahagia karena kesenangan ini.

Harapan juga kekuatan. Saya tak pernah kehilangan harapan, bahkan ketika diasingkan. Tetapi punya harapan bukan berarti tutup mata atas beragam persoalan ekonomi dan sosial yang besar. Hari ini, saya anggap Barack Obama berbeda dengan George Bush. Saya sudah membaca semua bukunya (Barack Obama). Dia penulis dan pembicara yang hebat, tetapi masih takluk oleh kepentingan militer, oleh kepentingan perusahaan multinasional. Dia seorang kapitalis.

Solusi (atas keadaan) hanya bisa datang dari kita, dari orang-orang yang terkalahkan oleh sistem. Tetapi kita ditindas karena kita tak terorganisir, tidak kuat. Banyak yang berdemonstrasi, entah menentang perang Irak, di Davos (pertemuan pejabat pemerintahan dengan pebisnis besar), menentang serangan israel di Gaza, mengapa kita tidak menang?

Aku punya jawabannya. Karena anak muda tidak terorganisir. Mereka tak mewakili sebuah kekuatan politik.

Waktu saya ke London 30 tahun yang lalu, saya ikut serta dalam demonstrasi  Greenham Common (demonstrasi besar dan damai, sebagian besar kaum perempuan, yang menentang senjata nuklir di Berkshire, Inggris), saya ikut berbaring di jalan agar kendaraan militer tidak bisa lewat. Kemana semua perempuan itu hari ini? Ke mana gerakan feminis?

Kita semua dipukul balik. Ada pukulan balik terhadap perempuan dan kaum miskin, terhadap kulit hitam dan coklat, kepada orang-orang Afrika, yang bermula dari Ronald Reagen di AS hingga Anwar Sadat di Mesir. Itu adalah neokolonialisme yang menggunakan fundamentalisme agama (kasus Anwar Sadat); mereka menggunakan Tuhan untuk membenarkan ketidakadilan. Sebetulnya, ada rasisme yang menempel di semua agama.

Ada kebingungan yang muncul dari bahasa neokolonial post-modernisme, terutama konsep identitas dan pilihan bebas/kemerdekaan memilih. Perempuan muslim di Universitas di barat yang mengenakan cadar, mereka pikir sedang mengukuhkan identitasnya. Ini omong kosong, ini ketidaktahuan. Pikirannya ikut terbungkus, bukan hanya kepalanya.

Cadar dan berpakaian terbuka, mereka dua wajah dari cara berpikir yang sama. Ketika melihat seorang perempuan telanjang, bukan berarti mereka terbebaskan. Itu hanya membebaskan tubuhnya, bukan pikirannya.

Pendidikan tradisional, bahkan pendidikan pascamodernisme, membungkus pemikiran; hanya jadi media menutupi pemikiran. Saya diwawancarai oleh Guardian 30 tahun lalu, oleh New York Times, oleh BBC, oleh CNN: media sekarang jauh lebih radikal 30 tahun yang lalu.

Tapi saya pikir kiri dan feminis akan menguat kembali. Itu mengapa Zed Books menerbitkan ulang buku-buku saya, padahal dulu mereka tidak peduli. 

Tahun 1990-an, itu tahun yang sulit (bagi kiri dan feminis). Tapi sekarang, dengan ancaman perang yang mengerikan, kapitalisme yang mengerikan, krisis ekologi yang mengerikan, orang-orang akan menggandrungi ide-ide kesetaraan dan keadilan.

Saya mengimpikan dunia tanpa agama; dunia dengan moralitas yang nyata, dengan satu standar pada pria maupun wanita, kaya maupun miskin. Dunia tanpa perang; dunia dengan kesetaraan dan keadilan antar gender dan kelas, kebebasan dan demokrasi sejati. 

Itu akan mengakhiri patriarki, juga kapitalisme dan sistem kelas. Sehingga hadir masyarakat yang benar-benar manusiawi, yang membebaskan pikiran.


Tahun 2007, karena drama berjudul “Tuhan Mengundurkan Diri di Pertemuan Puncak”, Nawal el Saadawi dipaksa meninggalkan Mesir. Ini pengasingan yang kedua. Dua tahun di pengasingan, dia kembali ke Negerinya. Sebelum pulang, dia berbincang-bincang dengan wartawan Guardian, Natalie Bennett. Artikel ini merupakan hasil wawancaranya. Dimuat di Guardian pada 6 Maret 2009. Dimuat ulang di sini sebagai penghormatan kepada Nawal El Saadawi yang telah berpulang pada 21 Maret 2021.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid