Program Makan Siang Gratis, belakangan diubah nomenklaturnya, “Makan Bergizi Gratis” (MBG). Selain merupakan salah satu program prioritas Presiden Terpilih Prabowo Subianto–selanjutnya disingkat PS–program serupa ini sebenarnya telah berlangsung enam dekade lebih sebagai agenda masyarakat global.
Merujuk World Food Programme United Nations dalam State of School-Feeding Worldwide 2022, disebutkan setiap hari di sepanjang 2022 ada 418 juta anak-anak di dunia makan gratis di sekolah. Ini merupakan 41% dari seluruh anak-anak di dunia yang terdaftar di sekolah dasar.
Walau tak sebesar India yang menyentuh hampir 120 juta anak, PS menargetkan program MBG mencakup hingga kisaran 80 juta anak. Sementara bicara populasi kelompok usia anak (<18 tahun), Kementerian PPPA (2024) mencatat jumlahnya sebesar 79,4 juta jiwa. Hampir sepertiga atau tepatnya 28,82% dari total penduduk di Indonesia.
Artinya, target ambisius program MBG dari Presiden Terpilih PS adalah menyasar semua anak tanpa kecuali. Program ini bukan diperuntukkan khusus bagi anak-anak kelompok keluarga miskin, melainkan juga mencakup keluarga kaya. Ini jelas mengingatkan kita pada kebijakan di Jepang, Shokuiku (Kanji: 食育) atau “pendidikan pangan”.
Eksperimen Sosial
Mari kita imajinasikan sesaat. Setiap siang sebelum bel penanda pulang berbunyi di ratusan ribu sekolah di tanah air. Anak-anak berlatar sosial apapun di kelas berbaur makan bersama. Lauk pauk tersaji di piring dan susu di gelas mereka seragam.
Sebelum sesi makan mulai, guru bisa menarasikan banyak hal. Dari bicara seputar makanan sehat, pola makan sehat, soal nutrisi dan gizi, hingga ancaman kurang gizi maupun sebaliknya obesitas. Guru juga bisa menarasikan pentingnya tata krama makan (table manner), bicara gastronomi menu makanan tertentu, baik dari konteks latar filosofi, sejarah ataupun budaya, hingga berkelindannya identitas bangsa dengan menu itu. Dan lain sebagainya.
Barulah, sesi makan bersama mulai. Selesai makan, kita ajarkan bagaimana piring dan gelas masing-masing harus mereka cuci sendiri. Semua itu anak-anak lakukan setiap hari. Hari demi hari, tahun ke tahun.
Jika hal itu dilakukan, maka tampak jelas ada agenda ‘eksperimen sosial” di sini. Makan siang bersama bukan semata makan siang. Makan siang bersama beralih fungsi menjadi semacam “ritus sosial” penting di sekolah.
Dengan konteks sosio-kultural Indonesia yang heterogen, melalui MBG anak-anak Indonesia sesungguhnya bakal dikondisikan menginternalisasi nilai-nilai kebhinekaan dan toleransi. Murid juga belajar saling memahami perbedaan untuk melampaui sekat-sekat etnis, agama, dan gender, keterbatasan fisik (difabel), serta hambatan psikologis kelas sosial dalam interaksi sosial mereka.
Selain ada praksis membumikan humanisme seperti nilai-nilai kesetaraan, non-diskriminasi, dan solidaritas, MBG juga diharapkan bisa jadi wahana “social engineering” untuk membangun pengembangan psikologi SDM yang sehat bagi anak-anak setelah mereka memasuki usia dewasa.
Kita bisa belajar banyak dari Shokuiku. Bagaimana tidak, Jepang memiliki sejarah panjang praktek makan bersama di sekolah. Bermula dari 1889 dan hingga kini masih berlangsung. Negeri ini bahkan telah memiliki undang-undang nasional yang khusus mengatur kebijakan makan siang di sekolah. Program makan di sekolah diintegrasikan ke dalam materi kurikulum. Dus, di sana makan siang di sekolah bersifat wajib. Anak-anak baik dari keluarga miskin maupun kaya wajib makan siang bersama di sekolah.
Menarik kita catat di sini: Saking panjangnya sejarah implementasi kebijakan ini, hingga akhirnya membentuk tradisi pola makan sehat masyarakat. Tak aneh, Jepang memiliki angka obesitas rendah. Menurut The Global Obesity Observatory kasus obesitas pada orang dewasa tercatat hanya 4,5%. Selain itu, studi 2021 di European Journal of Clinical Nutrition melaporkan bahwa secara statistik angka mortalitas dibandingkan semua negara maju anggota G7, Jepang memiliki rata-rata usia harapan hidup terpanjang.
Hanya 1% Orang Indonesia Menikmati Kemerdekaan
Kembali ke MBG. Sekalipun menyasar semua anak-anak baik miskin maupun kaya sebagai target realisasi, namun di sisi lain harus diakui latar general yang sama di balik kebijakan makan gratis di hampir semua negara di dunia. World Food Programme mencatat setidaknya lebih dari 100 negara mengimplementasikan program tersebut.
Bisa kita duga, program makan gratis sesungguhnya mencerminkan problem distorsi agenda pembangunan dunia selama ini. Proyek modernisme dengan logika utama mendorong efisiensi demi mengejar pertumbuhan ekonomi global dan konsumerisme, faktanya justru berdampak bukan hanya meminggirkan dan meninggalkan, namun juga bahkan melempar keluar milyaran orang dari proses pembangunan.
Agenda pembangunan dan modernisme di tingkat global selama beberapa dekade terakhir, bagaimanapun telah memunculkan problem kemiskinan dan ketimpangan sosial yang semakin kronis. Bukan merapat mendekati nol dalam kurva Lorenz, namun justru cenderung bergerak semakin menjauh.
Diakui atau tidak, sejarah kemunculan agenda MDGs yang sekarang dilanjutkan oleh SDGs, adalah respon masyarakat dunia melalui PBB sebagai upaya menyatukan langkah negara-negara anggota mengentaskan milyaran orang dari kemiskinan ekstrem dan mengurangi tingginya laju ketimpangan dunia.
Fenomena di Indonesia tentu tak jauh beda dengan fenomena di tingkat global. Dan, PS tentu menyadari fakta distorsi dalam implementasi agenda pembangunan dan modernisme ini.
Simaklah, dua buku yang ditulis PS: Paradoks Indonesia dan Solusinya (2022) dan Strategi Transformasi Bangsa (2023). Tulisan PS yang dibaca Budiman Sudjatmiko, juga mungkin dibaca oleh para kolega lamanya yang terhimpun di PRIMA. Yang jelas pada Budiman, pentolan aktivis 98 dan mantan Ketum PRD ini, setelah membaca buku itu tiba pada kesimpulan: bahwa antara ia dengan PS memiliki banyak kesamaan pandangan dalam mimpi-mimpi mewujudkan Indonesia adil dan makmur.
“Ketidakadilan ekonomi di Indonesia sudah terlalu parah.” Demikianlah, salah satu judul sub-bab buku pertama PS. Buku ini adalah edisi revisi dari buku sebelumnya, Paradoks Indonesia, dengan subjudul “Negara Kaya, Tetapi Masih Banyak Rakyat Hidup Miskin”. Terbit pertama kali 2017, buku ini ditulis ketika PS dan Partai Gerindra merupakan oposisi. Kemudian, edisi revisinya disusun kembali setelah kubu PS jadi bagian Kabinet Indonesia Maju.
Menarik diberikan catatan. Walaupun edisi pertama dan edisi revisi ditulis dari sudut pandang posisi politik yang berbeda–saat PS di luar dan di dalam kekuasaan–namun paradigma PS ketika memetakan akar persoalan Indonesia masih sepenuhnya sama. Artinya, ada konsistensi–sebutlah itu “ideologi”–di mana PS memaknai problem realitas berangkat dari kacamata Wong Cilik.
Menariknya lagi, sekalipun PS tidak memaparkan kesejarahan idiom yang muncul dan populer dalam gerakan protes Occupy Wall Street di Amerika Serikat, namun PS tampak tak ragu mengadopsi idiom ‘1%’ (the one percent) untuk menunjuk keberadaan kelompok elite yang super kaya. Penting diketahui, sub-judul di atas dari tulisan ini juga diambil dari buku pertama PS.
Mengutip BPS, PS mencatat pada 2020 rasio gini Indonesia sebesar 0,38. Ini berarti kelompok 1℅ itu mendapatkan 38% dari total pendapatan di Indonesia. Tak jauh beda dengan itu, PS juga mengutip Credit Suisse. Pada 2021, rasio gini kekayaan warga Indonesia mencapai 0,36. Ini juga berarti kelompok 1% menguasai 36% dari total kekayaan Indonesia.
Masih seturut PS, jikalau total kekayaan masyarakat Indonesia itu ditaksir mencapai 3,2 triliun dolar AS atau setara 44.800 triliun rupiah, maka kelompok 1% ini telah menguasai kekayaan sebesar 1,2 triliun dolar AS atau setara 16.300 triliun rupiah.
Tak kecuali, isu distribusi aset tanah. Menurut PS, penguasaan tanah oleh kelompok elit potretnya lebih mencemaskan. Mengutip Kementerian ATR/BPN 2020, PS mencatat rasio gini kepemilikan atas tanah bahkan telah mencapai 0,67. Ini artinya, lagi-lagi kelompok 1%, menguasai aset sebesar 67% dari total tanah di Indonesia.
Seperti diketahui, rasio gini merupakan ukuran yang paling sering digunakan dalam mengukur tingkat ketimpangan. Nilai rasio gini berkisar 0 (nol) hingga 1 (satu), di mana semakin mendekati 1 mengindikasikan tingkat ketimpangan yang semakin tinggi.
Tak bisa disangkal, PS sendiri adalah bagian dari kelompok elite super kaya ini. Kelompok 1% ini, menurut hitungan PS jumlahnya di Indonesia hanya berkisar 2,7 juta orang. Namun, inilah menariknya PS. Sikap konsistensi PS mengkontraskan antara kepentingan kelompok 1% dengan mayoritas akar rumput, sekaligus sikap PS tak segan memberikan kritik atas perilaku kelompok elit, mengesankan PS memiliki posisi politik berbeda dengan karakteristik kelompok elit pada umumnya.
Bahkan visi politik PS—setidaknya seperti terungkap dalam dua bukunya itu–terlihat cenderung anti-elitisme dan anti-oligarki. “Elit Indonesia tidak jujur” adalah judul satu sub-bab dalam buku PS. Sebaliknya di sisi lain, PS sering mengatakan akan mendorong langkah-langkah politik pro-rakyat dan ekonomi kerakyatan. Benarkah PS demikian? Sementara ini, setidaknya tendensi itu sedikit tercermin dalam ide MBG. Bagaimana selebihnya? Mari kita tunggu bersama tanggal mainnya. Wait and see.
Penulis: Waskito Giri S
Foto: Bing Image Creator

