Di tengah deru alat berat dan hembusan debu tambang, masyarakat lingkar industri pertambangan sering kali menjadi saksi sekaligus korban dari perubahan lingkungan yang masif. Di Halmahera Tengah, masyarakat yang hidup di sekitar kawasan industri PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) tidak hanya mengalami kerusakan fisik pada air, udara, dan tanah. Mereka juga menyimpan sesuatu yang lebih dalam: kegelisahan ekologis yang menetap dalam tubuh dan ruang hidup mereka. Dalam psikologi lingkungan, kondisi ini dikenal sebagai eco‑anxiety atau kecemasan ekologis.
Dalam penelitian saya di empat desa lingkar tambang PT IWIP, masyarakat menunjukkan beragam ekspresi trauma ekologis. Mereka yang tidak berdiri di barisan demonstrasi atau membuat poster. Mereka mulai membatasi aktivitas luar rumah, menyimpan air bersih sebagai barang berharga, dan menahan napas saat angin membawa asap dari kawasan industri. Ini bukan efek berita media, melainkan pengalaman langsung: melihat air keruh, mencium udara yang berbeda, atau merasakan tidak nyaman saat hujan deras.
Hogg et al. (2021) menyebut eco‑anxiety sebagai tekanan psikologis yang melibatkan emosi, perubahan perilaku, pikiran berulang, dan kekhawatiran akan masa depan pribadi maupun generasi mendatang. Semua dimensi ini saya temukan dalam interaksi sehari‑hari warga dengan tanpa suara lantang, hanya diam dan berulang. Dalam wawancara, seorang ibu bercerita bahwa ada perasaan gelisah yang dirasakannya saat angin bertiup dari arah tambang. Ia khawatir partikel berbahaya terhirup oleh anak-anaknya, meski ia tak bisa mengidentifikasi apa itu. Ini adalah ekspresi dari apa yang Clayton et al. (2020) sebut sebagai respons emosional terhadap degradasi lingkungan yang bersifat kronis dan melelahkan.
Kondisi ini tidak berdiri sendiri. Menurut U.S. Geological Survey (2024), Indonesia kini menjadi produsen nikel terbesar dunia—1,6 juta metrik ton atau sekitar 48,5% dari produksi global. Sementara dunia memuji keberhasilan Indonesia dalam mendukung transisi energi bersih global, masyarakat di lingkar tambang justru bergulat dengan realitas yang tak sebersih narasinya. Debu, suara bising, dan perubahan drastis pada lanskap hidup mereka tidak tercermin dalam statistik pertumbuhan ekonomi.
JATAM (2024) mengungkap bahwa sejak 2021 hingga 2023, Halmahera Tengah telah kehilangan 27.900 hektare tutupan hutan, dan melepaskan sekitar 22,4 juta ton setara karbon dioksida ke atmosfer. Dalam satu hari, kawasan industri IWIP dapat menyedot hingga 27.000 meter kubik air, di mana dua kali lipat lebih banyak dari estimasi total kebutuhan seluruh penduduk Halmahera Tengah. Di beberapa titik aliran sungai, kadar logam nikel dalam air telah mencapai 4–4,8 mg/L, jauh melampaui ambang batas kualitas ekosistem akuatik.
Dalam air Sungai Wosea yang menyempit akibat aktivitas dumping tanah, ditemukan kandungan kromium heksavalen (logam berat yang dikenal bersifat karsinogenik). Senyawa ini juga terdeteksi di laut sekitar Tanjung Ulie dan muara Sungai Ake Doma, dengan konsentrasi yang melebihi baku mutu lingkungan nasional (PP No. 22/2021) dan standar internasional IRMA. Jika terakumulasi, kromium ini bisa merusak sistem pencernaan bahkan memicu kanker.
Puskesmas Lelilef melaporkan bahwa jumlah penderita ISPA meningkat drastis, dari sekitar 300 kasus per tahun menjadi 800–1.000 kasus per tahun sejak kawasan industri mulai beroperasi. Tak hanya udara, kualitas hidup nelayan juga terpuruk. Jika dulu cukup melaut sejauh 1 km dari pantai, kini mereka harus pergi sejauh 20–30 km ke laut lepas, dengan biaya operasional sekali berangkat mencapai Rp3–5 juta. Banyak dari mereka pulang tanpa tangkapan yang layak.
Kehilangan ini bukan sekadar ekologis, tapi juga sosial. Beberapa warga menyatakan bahwa mereka merasa kehilangan kendali atas tanah dan kampungnya sendiri. Lahan-lahan yang dulunya ditanami atau digarap kini berubah menjadi pagar-pagar industri yang tidak bisa diakses. “Kami tetap tinggal di sini, tapi rasanya seperti tamu di kampung sendiri,” kata seorang masyarakat. Ketika akses atas tanah, air, dan udara tercabut, rasa kepemilikan ikut terhapus. Di sinilah trauma ekologis mengambil bentuk paling sunyi yakni dalam kehilangan makna tinggal di rumah sendiri.
Sementara itu, banyak narasi di media internasional mengangkat Indonesia sebagai pusat masa depan energi bersih dunia. Perusahaan-perusahaan global berlomba menanam investasi nikel untuk memproduksi baterai kendaraan listrik. Tapi di balik semua ini, realitas di tingkat lokal justru menunjukkan praktik ekstraktif konvensional: PLTU batu bara tetap jadi sumber utama energi, air bersih makin langka, dan warga harus menanggung dampak lingkungan tanpa perlindungan hukum yang memadai. Ini bukan transisi, melainkan transaksional: yang dibayar adalah ketenangan hidup masyarakat kecil demi janji hijau di tempat lain.
Di sisi lain, pemerintah terus mendorong hilirisasi tambang sebagai strategi ekonomi nasional. Namun pendekatan ini seringkali teknokratis yang cenderung berbasis angka pertumbuhan tanpa menyentuh dimensi sosial‑psikologis warga di sekitar konsesi. Banyak masyarakat kini kehilangan akses terhadap sumber pangan, ruang hidup, dan makna ruang tinggal mereka sendiri. Ironisnya, penanganan dampak masih dilihat melalui lensa teknis: AMDAL, limbah, atau promosi CSR. Padahal krisis lingkungan di sini juga merupakan krisis psikologis. Ketika masyarakat tak lagi percaya pada air, tanah, udara maka mereka kehilangan rasa aman paling mendasar.
Oleh karena itu, pendekatan terhadap dampak pertambangan tidak boleh hanya fisik atau ekonomi. Pemerintah daerah, perusahaan, dan tenaga kesehatan masyarakat harus mengakui: eco‑anxiety bukan sekadar keluhan emosional. Ia adalah indikator kerusakan ekologis yang telah merembes ke ranah sosial dan psikologis warga. Seperti dijelaskan Pihkala (2020) dan Baudon & Jachens (2021), bentuk-bentuk kecemasan ekologis yang terus menumpuk tanpa ruang penyelesaian bisa berubah menjadi distress psikologis kronis.
Apa yang terjadi di lingkar tambang Halmahera Tengah bukan peristiwa tunggal. Ia mencerminkan situasi banyak komunitas di Indonesia dan Global yang diam-diam mewarisi ketakutan sebagai harga pembangunan. Ketakutan itu bukan pilihan mereka, dan mereka tak punya kuasa untuk menghilangkannya.
Sufandi Uno
Penulis Adalah Mahasiswa Magister Psikologi Sains UAD Yogyakarta

