Konon perempuan lebih percaya pada telinga daripada mata, sementara lelaki lebih percaya pada mata daripada telinga. Bagi para pengagung kata-kata tentu anggapan ini menjadi dasar dari keunggulan atau kelebihannya itu.
Hal itu tak berarti bahwa perempuan di sini adalah perempuan sebagaimana yang kita angankan selama ini. Sebab, konon masing-masing orang dikaruniai dua unsur yang saling melengkapi: feminitas dan maskulinitas.
Bagi lelaki pun, yang ndilalah dominan unsur femininnya bisa jadi ia akan melebihi perempuan yang sebenarnya dalam hal kepercayaan epistemologisnya pada kuping. Atau dengan kata lain, lebih teryakinkan oleh kata-kata daripada fakta-fakta yang berupaya direpresentasikannya.
Membawa kemahiran berkata-kata dalam dunia politik praktis, dimana konon seni sajak dianggap sebagai puncak dalam berkata-kata, kerap akan menyulut sikap etik yang tak patut, sebab jelas-jelas tak lazim.
Dalam kajian filsafat, etika adalah wilayah yang konon mengurusi bagaimana orang itu hidup (bahkan pula mati). Dan jelas dari pengertian itu, dapat dikatakan bahwa kehidupan politik praktis bukanlah kehidupan yang nyaman bagi penyair.
Taruhlah ungkapan “Angin yang ber-KTP.” Ungkapan ini memang tampak cukup berpengaruh di dunia persajakan yang konon mesti—berdasarkan istilah “bhujangga” atau ular yang disamakan oleh Ronggawarsita dengan istilah pujangga—tak menjawab persoalan, berkhianat atau ilusif alias meliuk-liuk dan mengambang.
Dalam dunia psikologi, tentu saja orang yang dilengkapi dengan kemahiran berkata-kata laiknya penyair itu akan didamik sebagai seorang pribadi yang bimbang—meskipun dalam dunia persajakan atau sastra pada umumnya justru dianggap sebagai sebentuk kelaziman.
Dalam dunia agama pun konon seorang pembimbang semacam itu disarankan untuk tak mengambil sebuah keputusan. Dalam hal ini kepemimpinan seseorang dapatlah diuji dan, seperti banyak yang tersaji dalam literatur kesusastraan Jawa, dimana kerapkali seorang pemimpin mesti tegel dalam mengambil sebuah keputusan seberesiko apapun, kata-kata yang indah memang kerap menyulut sebuah permenungan, namun jelas tak akan berpengharapan ketika yang dibutuhkan adalah bagaimana kemudian orang bertindak.
Oleh karena itulah, dalam sejarah Nusantara, orang-orang yang memiliki kemahiran dalam mengekspresikan kata-kata dalam bentuk puncaknya itu selalu didudukkan pada kursi bhujangga dan bukannya raja yang merupakan junjungan tak abadinya. Taruhlah Narotama pada masa raja Airlangga, Arya Wiraraja pada masa Raden Wijaya, Gajah Mada pada masa Hayam Wuruk, dan Sabdapalon pada masa Brawijaya V.
Merunut relasi antara dunia politik praktis yang tak selamanya nyaman sejalan dengan dunia kabhujanggan adalah serupa merunut relasi antara Airlangga dengan Narotama (yang konon terpisah oleh peristiwa Wotanmas), Wijaya dengan Arya Wiraraja (seusai Ranggalawe dibantai di Tambakberas), Hayam Wuruk dengan Gajah Mada (pasca perang Bubat), dan Brawijaya V dengan Sabdapalon (ketersisihan orang-orang pribumi setelah kedatangan agama Islam).
Wotanmas, pembantaian Ranggalawe, perang Bubat, ekspansi agama Islam, bisa jadi bukanlah satu-satunya penyebab kenapa relasi antara raja dan bhujangga itu tak selalu berjalan secara nyaman. Bisa jadi, ketaksetiaan tindakan pada kata-kata adalah hal yang paling mendasari terjadinya keterpecahan.
Penulis : Heru Harjo Hutomo


