Industri Batubara Nasional Dan Amanat Pasal 33 UUD 1945

Batubara merupakan salah satu sumber daya energi yang sangat strategis bagi pembangunan negeri ini dalam jangka panjang. Betapa tidak, pada level global, sumber daya alam yang berasal dari endapan senyawa organik karbonan dan terbentuk dari sisa tumbuh-tumbuhan selama jutaan tahun ini perlahan tapi pasti dapat menggeser natural resources lainnya, seperti minyak, sebagai sumber utama energi dunia.  International Energy Agency (IEA) memprediksi konsumsi batubara dunia akan tumbuh rata-rata 2,6% per tahun pada periode 2005-2015. Kini, batubara telah menjadi pemasok energi kedua terbesar setelah minyak dengan kontribusi 26% dari total konsumsi energi dunia.  Kontribusi ini diprediksi akan meningkat menjadi 29% pada 2030.

Kontribusi batubara bagi pembangkit listrik juga diperkirakan akan meningkat menjadi 46% pada 2030. Meningkatnya kontribusi batubara di masa kini maupun mendatang membuat komoditi ini memiliki nilai jual yang sangat besar, yang tentunya akan berdampak pula bagi  negara yang menjadi produsen komoditas tersebut, termasuk Indonesia.

Sebagai Negara yang tergolong dalam 7 besar Negara produsen batubara dunia, Indonesia semestinya dapat mengakumulasikan profit ditengah menaiknya trend konsumsi batubara dunia. Pada tahun 2010 saja, Indonesia telah memproduksi 325 juta ton metrik batubara (Sumber : EIA; Economist Intelligence Unit). Output ini diperkirakan bertambah di tahun 2011 ini, ketika Indonesia berhasil merealisasikan produksi batubara sebanyak 150 juta ton pada semester pertama dan diprediksi akan meningkat hingga 370 juta ton pada akhir tahun 2011 (Sumber : Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia ). Peningkatan volume produksi ini terjadi ditengah trend konsumsi yang meningkat serta (ini yang terpenting) tingginya harga batubara internasional per Oktober 2011,  yakni sebesar 119,24 dollar AS per ton. Namun, apakah fakta-fakta obyektif terkait peningkatan nilai jual komoditi batubara tersebut memiliki korelasi dengan kualitas pembangunan ekonomi nasional serta  peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia? Pertanyaan tersebut layak diajukan mengingat batubara telah menjadi sumber daya bernilai strategis bagi negara dan terkait dengan  hajat hidup orang banyak.

Ironi ditengah Keberlimpahan

Sebagai salah satu komoditi energi yang bernilai strategis bagi kepentingan nasional, pengelolaan industri  batubara mestinya mengacu pada pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan penguasaan Negara atas sumber-sumber alam strategis dan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Ini juga termasuk orientasi dari pemanfaatan sumber daya alam, yakni demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sebagai bukti dari nilai strategis  batubara dalam perekonomian nasional adalah peningkatan penerimaan negara dari industri batubara. Pada tahun 2008, penerimaan negara dari industri ini mencapai Rp 10,2 triliun, dan meningkat lagi hingga lebih dari Rp 20 triliun pada tahun 2009. Sebagai sumber energi, peran batubara sebagai salah satu pemasok energi bagi pembangkit listrik nasional semakin besar. Kini, sekitar  71,1% dari konsumsi batubara nasional dialokasikan untuk pembangkit listrik yang sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan ekonomi rakyat serta industrialisasi nasional.

Tetapi, fakta memperlihatkan bahwa pengelolaan industri batubara di Republik ini seperti mengabaikan ‘titah’ pasal 33 UUD 1945. Padahal, pasal 33 UUD 1945 adalah warisan para founding fathers guna mengatur perekonomian nasional. Salah satu bukti yang menunjukkan hal tersebut tampak pada sektor hulu industri pertambangan batubara yang dikuasai oleh perusahaan swasta nasional, bukan oleh Negara atau perusahaan Negara (BUMN). Direktorat Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Indonesia mencatat bahwa 71,7% produksi batubara Indonesia dikuasai perusahaan swasta nasional, dan sisanya perusahaan asing. Korporasi swasta nasional tersebut diantaranya Bumi Resources Group (PT.Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin), Adaro, Berau Coal dan Indominco Mandiri. Sebagai catatan: meskipun kepemilikan saham dalam perusahaan-perusahaan tersebut didominasi oleh swasta nasional, namun skema investasi mereka kebanyakan penanaman modal asing (PMA).

Bila kita mencermati tiga ayat dalam pasal 33 UUD 1945 (pra-amandemen2002), kiprah pihak swasta nasional (maupun asing) dalam industri strategis negara sama sekali tidak dilarang. Namun, bila modal swasta nasional maupun asing sudah begitu dominan menguasai cabang-cabang produksi vital negara, hal itulah yang melanggar pasal 33 UUD 1945 secara substansial. Perlu dipahami, pasal 33 UUD 1945 merupakan buah pikir para pendiri Negara yang menginginkan bangsa ini berjalan diatas rel sosialisme Indonesia yang berasas kekeluargaan dengan tujuan: Masyarakat adil dan makmur. Dan Negara Kesatuan Republik Indonesia beserta seluruh perangkatnya dibentuk  untuk menjalankan amanat itu demi tercapainya tujuan nasional. Sementara perusahaan  swasta yang sedari awal didirikan dengan maksud mencari profit sebesar-besarnya tidaklah dapat dipercaya untuk mengelola sumber-sumber ekonomi strategis negara demi kemakmuran rakyat.

Akibat dari penguasaan pihak swasta terhadap industri batubara nasional ialah alokasi dari hasil operasi  produksi tambang yang sangat minim bagi kepentingan nasional. Sudah menjadi rahasia umum, bila sebagian besar hasil produksi batubara nasional diekspor ke negara-negara lain semacam Jepang, India, Taiwan dan Tiongkok. Berdasarkan data Kementerian ESDM, dari total realisasi produksi batubara nasional pada semester pertama 2011 yang mencapai 150 juta ton, sekitar 121 juta ton ‘dilempar’ ke luar negeri alias diekspor. Ini berarti sekitar 80% dari ouput produksi batubara nasional di semester awal tahun ini diperuntukkan bagi kepentingan negara-negara lain, bukan kepentingan nasional.

Sungguh ironis! Data World Coal Institute pun menunjukkan, sejak tahun  2004 Indonesia telah menjelma menjadi  eksportir batubara thermal (thermal coal) terbesar dunia, ketika rakyat dan industri nasional sedang membutuhkan banyak batubara jenis tersebut guna menggerakkan pembangkit-pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) demi memenuhi kebutuhan akan suplai listrik. Besarnya jumlah batubara yang diekspor dari Indonesia disebabkan oleh tingginya harga batubara internasional, yang kemudian menggoda para pelaku industri batubara swasta nasional untuk mengejar profit dengan mengekspor hasil produksinya ke pasar internasional.

Selain alokasi hasil produksi yang teramat minim bagi kebutuhan nasional, dominasi modal swasta dalam industri  batubara yang sepi dari kontrol negara juga mengancam penerimaan negara dari sektor bisnis ini. Kasus ‘pengemplangan’ royalti  oleh beberapa perusahaan batubara yang sebagian berada dalam naungan Bumi Resources Group beberapa tahun lalu menjadi pelajaran penting bagi negara untuk tidak melalaikan tugasnya mengontrol pengelolaan sumber alam yang vital bagi kepentingan bangsa.

Bila negara konsisten melaksanakan pasal 33 UUD 1945, tentu industrialisasi nasional demi tercapainya kemakmuran rakyat tak akan menjadi sebatas impian. Hal ini karena melimpahnya cadangan batubara di negeri ini. Merujuk pada data World Energy Council, Indonesia memiliki cadangan batubara terbukti sebesar 4,3 miliar ton. Sementara jumlah ini  akan lebih besar bila cadangan yang belum terbukti turut disertakan dalam penghitungan tersebut, mengingat banyak daerah yang diprediksi masih menympan banyak sekali cadangan batubara namun belum tersentuh eksplorasi, terutama di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Tetapi berbagai fakta ironis yang telah penulis uraikan memaksa kita untuk tetap bermimpi akan terwujudnya industrialisasi nasional, yang sangat membutuhkan suplai listrik dalam skala cukup dan tarif yang tak terlalu tinggi. Belum lagi bila kita tinjau pula kerugian yang diderita masyarakat dan dunia industri akibat seringnya pemadaman listrik oleh PLN di berbagai tempat di negeri ini akibat kekurangan bahan bakar utama bagi pembangkit listrik, yakni batubara!

Konsistensi dan Peran  Negara

Dapat disimpulkan bahwa problem terbesar dalam pengelolaan industri batubara negeri ini adalah begitu dominannya peran swasta serta minimnya peran Negara. Minimalitas peran negara terjadi akibat inkonsistensi otoritas negara ini dalam melaksanakan pasal 33 UUD 1945. Memang telah ada kebijakan negara terkait pemenuhan kebutuhan domestik akan batubara atau Domestic Market Obligation (DMO) yang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.34 tahun 2009. Dalam permen tersebut, seluruh  pelaku industri batubara di Indonesia wajib mengalokasikan  35% hasil produksinya ke pasar dalam negeri. Namun, lihat kembali prosentase angka yang diwajibkan pemerintah tersebut, yakni 35%, berarti 65% dari hasil produksi masih dapat diekspor, yang berarti prosentase terbesar dari keseluruhan total produksi. Terlihat betapa negara bagaikan  “malu-malu” menggunakan kewenangannya demi kepentingan nasional.

Batubara, sebagaimana sumber daya energi lainnya yang terkandung di ‘perut bumi’ merupakan aset berharga bagi bangsa ini guna menyokong tercapainya kemakmuran rakyat seperti yang termaktub dalam pasal 33 UUD 1945. Sudah seharusnya Negara mengambil alih kontrol atas industri batubara nasional dari hulu hingga hilir dengan bersandarkan pada pasal 33 UUD 1945 secara konsisten, tetapi tanpa menafikan peran pihak swasta tentunya. Hal ini sangat dibutuhkan demi pemulihan kedaulatan rakyat akan sumber daya alam yang telah tergerus sekian lama.

*) Penulis adalah kader GMNI Sumedang dan Alumni FISIP UNPAD. Kini bekerja di media berita tambang dan energi, Petromindo.Com (Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid