Indonesia semakin melaju kencang ke arah elektrifikasi kendaraan. Pekan lalu, Presiden Joko Widodo menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 7 tahun 2022 tentang penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (battery eletric vehicle).
Tidak setengah-setengah, seluruh instansi pemerintah, dari Pusat hingga Kabupaten/Kota, diwajibkan untuk menggunakan kendaraan bermotor listrik, baik untuk kendaraan dinas operasional maupun perorangan.
Melihat tujuannya, seperti tertuang dalam Perpres nomor 55 tahun 2019, sangatlah mulia, yakni meningkatkan efisiensi energi, ketahanan energi, mewujudkan energi bersih, dan menurunkan emisi gas rumah kaca. Sungguh mulia, kan?
Tetapi, tunggu dulu, mari membuka sedikit data. Di Indonesia tercinta, jumlah pembangkit listrik berbahan bakar fosil atau non-EBT masih mencapai 87,4 persen[1]. Dari jumlah itu, hampir 67 persennya adalah batubara.
Jadi, gembar-gembor mobil listrik untuk energi bersih akan menjadi absurd, manakala pasokan listrik kita masih bergantung pada energi fosil.
Masalah selanjutnya adalah pembiayaan. Dalam Inpres yang baru diteken oleh Presiden disebutkan, pendanaan program ini bersumber dari APBN/APBD. Dari catatan Kementerian Keuangan, jumlah kendaraan dinas (Jabatan, operasional dan Fungsional) sebanyak 189.803 unit.
Ini juga agak ironi. Awal bulan ini, pemerintah mengeluh dengan ruang fiskal di APBN, sehingga terpaksa menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Kalau ternyata sanggup membeli mobil dinas baru, mengapa subsidi untuk rakyat dipangkas?
Hapuskan Mobil Dinas
Ide elektrifikasi transportasi ini sudah tepat, apalagi jika pasokan listriknya menggunakan bahan bakar energi terbarukan. Yang tidak tepat adalah keharusan pengadaan mobil dinas.
Bagi saya, pengadaan mobil dinas, apalagi dengan plat warna khusus, mewarisi paradigma lama: pengistimewaan terhadap pejabat Negara dan aparatusnya.
Agus Dwiyanto dalam bukunya, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, menyebut penggunaan mobil dinas dengan plat nomor berwarna merah dan nomor kecil sebagai simbol eksklusivisme elit atau pejabat.
Malahan, mobil pejabat negara diberi kode plat khusus: RF. Jadi, di jalan raya, mobil pejabat Negara bisa dibedakan dengan mobil masyarakat sipil lainnya.
Tidak mengherankan, karena hak istimewa dan ekslusivisme itu, tak sedikit warga sipil yang mau menirunya. Harapannya: agar juga diperlakukan istimewa dan dipandang elit. Sebagai misal, kasus selebgram Rachel Vennya yang mobil pribadinya menggunakan flat FRS.
Dua hari lalu, seorang pengemudi berpelat merah menodongkan pistol ke pengemudi mobil lain di tol Jagorawi. Belakang diketahui, pengemudi plat merah itu seorang anggota TNI yang bekerja di Kemenhan.
Oiya, keinginan mendapat hak istimewa, diperlakukan khusus, mendapat puji dan sembah, merupakan warisan dari mental feodal. Tidak relevan di zaman sekarang. Ini parasit yang mengganggu upaya membangun organisasi pemerintahan yang modern.
Dan Presiden Jokowi, saat Musyawarah Nasional IX Korps Pegawai Republik Indonesia, sudah berseru sangat lantang: ASN jangan terbelenggu mental feodal.
Menggunakan Transportasi Publik
Sebagai negara berbentuk Republik dan menganut demokrasi, Indonesia seharusnya tak memberi tempat kepada segala bentuk penyakit feodalisme.
Republikanisme menekankan persamaan hak dan perlakuan pada semua warga Negara. Tidak hak istimewa kepada siapa pun. Bahkan pejabat publik tak lebih dari orang biasa yang diberi mandat untuk menjalankan urusan publik.
Karena itu, sudah seharusnya kehidupan pejabat publik tidak begitu berjarak dengan rakyat biasa. Tidak perlu ada hak dan perlakuan istimewa.
Di Swiss, negeri yang kerap dipuji kelas menengah Indonesia karena keindahan dan kemakmurannya, 91 persen anggota parlemennya menggunakan trem ke kantornya.
Di Swedia, semua anggota DPR tidak mendapat mobil dinas maupun tunjangan untuk membeli mobil. Mereka ke kantor menggunakan transportasi umum[2].
Di Inggris, petinggi partai, baik Buruh maupun Konservatif, sering menggunakan transportasi umum. David Cameron, politisi konservatif yang pernah menjadi Perdana Menteri, juga sering tampak di atas transportasi umum. Sementara pimpinan partai Buruh, Jeremy Corbyn, terlihat berdiri di atas bus malam yang padat penumpang[3].
Di Austria, Presiden Alexander van der Bellen rajin menggunakan transportasi publik untuk ke kantor. Bahkan, di atas transportasi umum itu, dia banyak berdiri; tidak meminta kursi prioritas.
Sudah saatnya pejabat publik di Indonesia terbiasa menggunakan transportasi publik. Agar kehidupannya tidak berjarak dengan rakyat. Agar mereka lebih dekat dan merasakan denyut nadi kehidupan rakyat banyak. Dan yang terpenting: agar bisa menghemat anggaran negara untuk mobil dinas dan mengurangi polusi udara.
NUR ROHMAN, penulis, tinggal di Yogyakarta.
Keterangan foto: Presiden Austria, Alexander van der Bellen, sedang berdiri di atas transportasi umum di kota Wina.
[1] https://www.cnbcindonesia.com/news/20201125115003-4-204493/pln-masih-ketergantungan-batu-bara-ini-buktinya
[2] https://www.bbc.com/indonesia/dunia-48527448
[3] https://www.theguardian.com/uk-news/gallery/2015/aug/01/politicians-on-public-transport-in-pictures


