Diskusi dan Bedah Buku Menghadang Kubilai Khan: Persatuan Nasional, Keadilan, dan Kemakmuran Bangsa.

Jakarta-Berdikari Online, Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER) melaksanakan Diskusi dan Bedah Buku Menghadang Kubilai Khan karya AJ Susmana.

Tema yang diangkat adalah “Persatuan Nasional, Keadilan Dan Kemakmuran Bangsa” di Kelakar Café Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan,  Minggu, 18 Agustus 2024.  Diskusi tersebut dihadiri Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Adil Makmur, PRIMA, Dominggus Oktavianus, Sekretaris Jenderal Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat, JAKER, Laurentinus Justinianus Sonny, Pengurus JAKER DK Jakarta, organisasi mahasiswa, dan aktivis-aktivis kebudayaan.

Dalam sambutannya, Dominggus menyampaikan bahwa pesan penulis bahwa jika ingin mencari dasarnya semua ada di sastra. Kekayaan kebudayaan ada pada sastra dan ini bisa menjadi kontribusi khazanah kebudayaan. Dari sudut pandang politik ada tiga poin penting yang ingin disampaikan penulis pada novel tersebut.

Pertama, kesadaran geopolitik bagaimana Kertanegara atau Raden Wijaya melihat situasi di luar dari nusantara tentang situasi yang berkembang di dunia.

Kedua, persatuan nasional dari kekuatan yang ada untuk menghadapi apa yang menjadi tantangan dari situasi geopolitik tersebut.

Ketiga, bagaimana persatuan tersebut dibentuk. Misalnya, menggunakan kepercayaan ikatan-ikatan masa lalu antara Dharmawangsa dan Kediri,  kemudian menyatukan Pulau Emas dan Pulau Perak dan itu menjadi dasar persatuan.

Di kesempatan yang sama,  Laurentinus Justinianus  Sonny dalam sambutannya menyampaikan bahwa ada hal yang menarik ketika organisasi kebudayaan berbicara soal persatuan. Dalam Musyawarah Nasional, JAKER bersepakat bahwa salah satu kekuatan paling penting untuk membangun kebudayaan adalah literasi. Buku ini akan berbicara banyak tentang pengetahuan, pentingnya sastra sebagai alat untuk membangun kebudayaan, membangun konsep persatuan.

“Persatuan akan terwujud jika berbicara dua hal yakni keadilan dan kemakmuran bangsa. Jika kita bicara keadilan dan kemakmuran bangsa,  kita harus belajar bersatu, mempersatukan, sehingga menjadi persatuan. Untuk mempelajari kebudayaan harus dimulai dari hulu yakni sastra serta ilmu pengetahuan,” ujar Sonny.

“Diskusi juga akan berlangsung di beberapa daerah dua minggu ke depan. Tujuannya diskusi ini untuk menyongsong pelaksanaan Musyawarah Nasional di Bulan Oktober.  JAKER akan menyikapi pembentukan Kementerian Kebudayaan dan mengetahui pandangan organisasi tentang pentingnya kebudayaan. Ada dua hal penting pembentukan Kementerian Kebudayaan sebagai ekosistem dari kebudayaan nasional sekaligus sebagai landasan untuk kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi,” pungkasnya.

Diskusi dan Bedah Buku ini menghadirkan empat narasumber yaitu Sihar Ramses Sakti Simatupang: pernah menjadi redaktur budaya di Harian Umum Sinar Harapan dan bergabung di Perkumpulan Penulis  ALINEA, Indonesian Writers Inc, dan Ikatan Wartawan Online (IWO), Ahmad Rifai Wakil Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA), Wenri Wanhar merupakan seorang aktivis kebudayaan dan seorang jurnalis, Nuraini Hilir merupakan staf di Kantor Presiden.

Nuraini Hilir menyampaikan pandangannya terkait buku Menghadang Kubilai Khan bahwa buku ini menginspirasi dengan memunculkan tokoh perempuan yang bernama Tapasi. Tapasi yang merupakan adik Kertanegara merupakan seorang diplomat yang berhasil meyakinkan Kerajaan Champa atau sekarang dikenal dengan Vietnam bahwa Mongol adalah musuh bersama: Singhasari, Nusantara, Champa dan sekitarnya. Para perempuan di masa itu berperan sesuai dengan tupoksi masing-masing walaupun peran tersebut tidak jauh dari peran domestik. Panelis mencoba melihat secara fair peran masing-masing tokoh dan buku ini banyak menceritakan falsafah dan bagaimana politik Indonesia dibangun dan yang paling penting sastra bisa mendapatkan tempat terbaik dalam kerajaan Singhasari.

Ahmad Rifai menjelaskan buku tersebut mempropagandakan tentang persatuan nasional; secara detail memberikan gambaran sejarah masyarakat Indonesia dan corak produksinya di era feodalisme di kurun waktu Singhasari, Kediri, Majapahit yang dipionir bagaimana penguasaan Tumapel oleh Ken Arok sehingga memunculkan keturunan baru, satu wangsa yaitu Rajasa. Bisa juga menjadi media evaluasi dalam berbangsa bernegara karena pasca diambil alih Singhasari,  tidak lagi memperdebatkan soal keyakinan, keturunan dan bagaimana menguatkan kerajaan dalam hal ini Singhasari. Keyakinan dan keturunan sudah dihilangkan di era Kertanegara. Kertanegara mengingatkan betapa pentingnya menguasai maritim. Kertanegara menjelaskan sangat penting bagi suatu negara menguasai laut sebagai jalur perdagangan internasional karena laut menjadi tempat orang menarik retribusi sehingga menghidupkan teritori dan rakyatnya.

“Hari ini kita bisa melihat pertarungan negara Indochina di Laut China Selatan, bagaimana perang Ukraina dan Rusia yang berkepentingan atas Laut Hitam,” terang Rifai. “Selain paham situasi dunia luar, pimpinan nasional juga harus tegas dalam membedakan mana lawan, mana kawan hingga membangun sekutunya tepat. Semisal saat Kertanegara membangun sekutu dengan wangsa Song, Dharmasraya yang bersiap melawan Kubilai Khan (Mongol) yang ada potensi bersekutu dengan Sriwijaya yang sudah lemah akibat serangan Kerajaan Cola, yang akhirnya dikonsolidasikan Kertanegara dengan mengirim pasukan Pamalayu di bawah Kebo Anabrang yang di setiap daerah yang terkonsolidasi ditandai dengan pengiriman-pengiriman arca Amoghapasa,” tambah Rifai.

Menurut Ahmad Rifai, AJ Susmana detil menjelaskan seorang Kertanegara sebagai antitesa dari Raja Airlangga ataupun raja sebelumnya yang menguasai Jawa sampai Jayakatwang yang melakukan pembelahan teritorial, menggelorakan pertentangan antara Sumatera sebagai Negeri Emas melawan Jawa Negeri Perak cermin pemimpin yang chauvinisme. Tidak hanya sampai di situ, AJ Susmana menggambarkan Kertanegara pemimpin yang cinta atas sastra yang digembleng oleh dua tokoh yakni Ranggawuni dan Mahesa Cempaka dan menegaskan bahwa pemimpin itu harus memiliki spiritualitas yang tinggi di mana Kertanegara dan punggawa menganut Tantrayana kiri sebagai penyeimbang dari Kubilai Khan dalam hal spritualitas.

Rifai juga menyampaikan dalam menghilangkan dendam, dikotomi, Kertanegara sebagai Raja (pemimpin nasional) saat itu memiliki siasat selain mengajak rakyat Singhasari membangun persatuan dengan melibatkan langsung mulai dari berpikir sampai menentukan taktik melaksanakan pembangunan sebagai cermin bahwa rakyat tidak hanya dipungutin pajak saja. “Inilah awal taktik mewujudkan keadilan dalam persatuan,” kata Rifai. “Siasat berikutnya adalah mengawinkan darah keturunan Wangsa Rajasa dengan keturunan Wangsa Isyana, yakni menikahkan anak Jayakatwang dengan anaknya sendiri, di mana Jayakatwang juga menikahi adik Kertanegara sendiri, Turuk Bali.  Namun pada akhirnya taktik ini tidak mempan karena Jayakatwang yang diliputi dendam, hasutan orang sekelilingnya menghilangkan kebijaksanaannya dalam memandang pentingnya persatuan nasional.  Di situlah kita nilai pengetahuan seorang pemimpin dari siapa saja yang ada di sekelilingnya.”

Sihar Ramses menyampaikan bahwa penulis yang berangkat dari epos-epos sejarah kerajaan termasuk sedikit dan sudah banyak yang pergi. Misalnya Pramoedya Ananta Toer dengan Arok-Dedes-nya.

“Karena itu Kehadiran AJ Susmana lewat novel sejarahnya ini, Menghadang Kubilai Khan – seharusnya menggunakan kata ‘mengadang’ – menambah referensi tentang epos kerajaan Jawa di dalam novel untuk menjadi santapan bervitamin kaum generasi muda khususnya generasi Z,” kata Sihar Ramses. “Dalam novel ini, Menghadang Kubilai Khan,  AJ Susmana tak menghadirkan tokoh sampingan sebagai biografi imajiner di antara epos besar. Dia berani masuk langsung ke epos besar. Mata penulis masuk ke tokoh sejarah yang pernah ada di Tanah Nusantara,” kata Sihar lagi.

Sihar juga mengritisi cara pandang kultur Jawa dalam melihat bahwa penulis masih melihat sosok hero adalah Raden Wijaya, Kertanegara yang itu merupakan konsep ratu adil dalam cara pandang Jawa. Ratu adil menyerahkan pada person dan sejarah akan menentukan bahwa masyarakat akan kecewa pada ratu adil person.

Sementara itu Wenri Wanhar menyampaikan bahwa ilmu yang dipakai oleh Kertanegara adalah tantra. Ilmu  tantra ini memuat tiga isi dunia. Pertama, yang berwujud tumbuh-tumbuhan, kedua yang bertelur, dan ketiga yang di dalam Rahim akan menjadi anak. Menurut Wenri, Tantra merupakan ilmu yang sudah lama ditinggalkan. Jika memahami ilmu tantra yang terjadi dalam diri ada tujuh lapis dan manusia terdiri dari itu, langit tujuh lapis kajiannya segala yang ada di langit dan di bumi ada dalam dirinya.

Berkaitan dengan Novel Menghadang Kubilai Khan, Wenri mempertanyakan tentang Narasi Persatuan yang dibangun, terutama dalam periode Pamalayu. Menurut Wenri, sejarah yang selama ini dibaca tentang periode tersebut  masih perlu dipertanyakan: apa yang terjadi apa benar ada pertikaian sesuai dengan apa yang diceritakan selama ini dan direproduksi terus-menerus.

(Feby)

[post-views]