Dies Natalis PMHU SULUT Ke-17 Angkat Tema Budaya

Manado, Berdikari Online – Persatuan Mahasiswa Halmahera Utara (PMHU) di Sulawesi Utara menggelar Dies Natalis ke-17 di RRI Manado Sulawesi-Utara, Sabtu (25/11).

Kali ini, mengangkat tema Hohingahu de hohidumutu nanga adati de o budaya ngini ika (menyampaikan dan memperkenalkan adat dan budaya kepada kalian ). Arti tema Kebudayaan yang berkembang di Halmahera Utara saat ini tidak terlepas dari peran para leluhur yang berjuang sejak awal agar kebudayaan dapat tumbuh dan berkembang serta menjaga agar kebudayaan yang sudah ada ini tidak hilang begitu saja. Kebudayaan merupakan identitas yang memiliki keistimewaan.

Halmahera Utara memiliki beragam budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi oleh berbagai macam suku. Hal ini merupakan kekayaan yang tidak bisa diremehkan maupun dipandang sebelah mata. Oleh karena itu, menjaga nilai-nilai budaya menjadi penting agar budaya tersebut tetap terjaga kelestariannya.

Untuk itu generasi muda Halmahera Utara diajak tetap konsisten dan komitmen mempertahankan dan terus melestarikan adat dan budaya di tengah gempuran globalisasi. Saat ini generasi muda tentunya memegang peranan yang sangat penting terhadap kelangsungan budaya yang ada. Mereka diharapkan mampu melestarikan serta mengembangkan budaya yang ada dengan bantuan teknologi yang semakin berkembang dari tahun ke tahun.

Oleh karena itu penting bagi generasi muda untuk menyadari dampak negatif dari perkembangan teknologi agar dapat meminimalisir terjadinya kerusakan di masa yang akan datang.

Dies Natalis juga menampilkan teatrikal yang dibawakan kader-kader PMHU di Sulut dengan berbagai peran yaitu sebagai Rakyat: Charel Manumpil, Widya Paliema, Christin Ambari; Pemerintah: Fhey Gato; Politisi: Varlen Mangeteke; Kapitalis: Mey Rumuneh.

Makna dari teatrikal ini menjadi kritik buat elit politik: dengan begitu banyak kehadiran investasi asing di Maluku Utara tetapi kesejahteraan masih jauh dari harapan rakyat. Malahan banyak menimbulkan konflik horizontal dan menciptakan penindasan yang berkepanjangan bagi rakyat, dan amanat UUD 1945 Pasal 33 hanya menjadi omong kosong, karena soal kemakmuran hanya di rasakan bagi para elit politik bukan pada rakyat.

“Kegiatan Dies Natalis yang ke-17 tahun PMHU di Sulut dengan memperkenalkan adat dan budaya ini sebagai bentuk kesadaran kita selaku anak muda agar tetap melestarikan adat dan budaya ini. Dan ini juga tidak terlepas peran dari Pemerintah; juga diperlukan mengenai kebijakan yang mengarah pada kebudayaan. Selain itu, festival budaya agar selalu diselenggarakan untuk mendorong masyarakat sadar betapa indahnya kekayaan budaya Indonesia. Dengan demikian, masyarakat dapat menjaga dan melestarikan kebudayaan lokal dengan baik untuk meningkatkan eksistensi budaya bangsa.
Dan ada juga agenda dialog publik di kegiatan tersebut dengan tema : Menuju Indonesia emas 2045 dalam perspektif generasi muda,” terang Artiko Ngangor.

“Pada hari Ini PMHU telah menginjak usia yang ke-17 tahun yang mana seorang manusia ketika sudah menginjak 17 tahun maka bisa dikatakan dia sudah pemuda. Ini bukanlah umur seumuran jagung,” tambah Ketua PMHU Christin Muhama.

“Awalnya pada tahun 2006, para penggagas, para senior kita, menanamkan dasar atau fondasi yang kuat yang disebut dengan Persatuan dan Kekeluargaan. Dan semoga pada 17 tahun ini, PMHU lebih berbenah, lebih baik ke depannya dan tetap melahirkan serta menciptakan generasi yang unggul untuk pembangunan Halmahera Utara,” harap Christin.

Berikut adalah puisi teatrikal yang ditampilkan berjudul:

Inilah Negeri Para Bajingan.

Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Ahhhh omong kosong,
INDONESIA..

Tanah airku, Tanahnya milik Asing, miliknya kaum satu persen, banjirnya milik rakyat, airnya dibayar pula, tidak hanya itu hutan dan gunung kami digunduli dan ditebang habis-habisan, emas dan nikel kami diambil dengan perundingan moncong senjata. Kerusakan lingkungan, dan pencemaran limbah adalah hadiah sampah bagi rakyat.

Begitulah cerita Negeri Para Bajingan.

Ini fakta bukan dongeng di negeri konoha.

Hahahaha..
Indonesia satu sumpah, satu tanah air,
satu bangsa,
satu bahasa.
Waktu itu.

Hahahaah

Sekarang tuan rumah ramai-ramai berunding dengan maling. Dasar bedebah

Kalian membiarkan tangisan rakyat mengalir sekujur tubuh melihat tanah yang dirampas untuk kepentingan tuan dan puan.

Inilah cerita Negeri Para Bajingan

Negeriku diperkosa habis-habisan
Pancasila hanya dijadikan tameng kekuasaan.

Undang-Undang Dasar Pasal 33 selalu dikuburkan dan hanya menjadi angan-angan bagi rakyat.

Hancur
Hancur
Hancurlah Negeriku
Konspirasi demi konspirasi, penindasan demi penindasan, diskriminasi berkedok kemaslahatan

Haaaaa

Zaman ini adalah zaman sinting di mana negara membunuh rakyat, dengan menciptakan kebijakan untuk memperpanjang barisan perbudakan.

Inilah cerita Negeri Para Bajingan

Ada ratusan kisah yang dilukis dengan tinta darah, air mata, kecewa, bahagia, dan pengkhianatan.

(Alvian)

[post-views]