Selepas subuh akhir Maret 1998. Pintu kamar kos saya di Jalan Jomas, Kebon Jeruk, Jakarta Barat diketuk agak keras. Sempat bertanya-tanya dalam hati karena saya hanya membatasi tiga orang kawan yang tahu tempat kos saya di situ. Setelah saya mengintip dari balik korden, ternyata salah satu di antaranya, AJ Susmana atau Mono.
AJ Susmana adalah mahasiswa tahun terakhir UGM Yogyakarta yang karena situasi politik saat itu terpaksa “cuti kuliah” untuk hidup berpindah-pindah di seputaran Jakarta. Ia datang ke tempat kos saya untuk mengabarkan hilangnya sejumlah aktivis belakangan ini. Ia menyebut dua nama yang saya cukup kenal: Petrus Bima Anugerah (Bimo) dan Herman Hendrawan (Sadeli).
AJ Susmana mengingatkan saya supaya hati-hati kalau berpergian. “Jangan pergi sendirian,” katanya.
“Terus elo mau ke mana?” tanya saya. “Mau ke luar Jakarta dulu, situasi lagi gak jelas gini,” jawabnya.
***
Pertama kali saya bertemu Bimo setelah dikenalkan seorang kawan di daerah Lebak Bulus, Jakarta Selatan menjelang tengah malam sekitar pertengahan Desember 1996. Awal mengobrol, Bimo cukup irit bicara, sampai kemudian dia menanyakan saya, “Siapa kontaknya dalam politik?”. Setelah saya menyebutkan beberapa nama, Bimo baru mulai bicara terbuka.
Bimo bercerita bahwa ia merupakan aktivis SMID, organ sayap mahasiswa dari PRD (Partai Rakyat Demokratik) yang dilarang Orde Baru pasca Peristiwa 27 Juli 1996. Mahasiswa FISIP Unair Surabaya ini masuk DPO sehingga terpaksa berpindah-pindah tempat sampai akhirnya menetap sementara di selatan Jakarta.
Kami mengobrol dari tengah malam hingga menjelang subuh. Meski berbeda organisasi, tidak perlu belajar teori politik muluk-muluk untuk memahami, secara naluriah orang akan mencari kumpulan orang-orang yang memiliki tujuan sama. Hingga obrolan sampai satu pertanyaan besar, apa yang paling mungkin bisa dikerjakan dengan kemampuan terbatas di tengah ruang gerak yang semakin sempit?
Akhirnya disepakati membangun jaringan dengan membuat media semacam buletin sebagai sarananya. Untuk keamanan, kami menggunakan nama samaran masing-masing dalam berkomunikasi via pager (penyerantara). Zaman itu handphone belum banyak digunakan, apalagi di kalangan aktivis. Sebelum berpisah, Bimo pun memberikan alamat kontrakannya di belakang kampus Universitas Muhammadiyah, Ciputat.
Beberapa hari kemudian, saya datang ke kontrakan Bimo. Bimo tidak ada di sana tapi sudah menitip pesan ke kawan-kawannya kalau saya mau datang. Ada beberapa orang tinggal di situ, mereka merupakan para mahasiswa dari beberapa kota di Pulau Jawa yang nasibnya sama seperti Bimo. Di situ saya berkenalan dengan Herman Hendrawan atau Sadeli.
Saya menanyakannya “Kenapa ngontrak di sini?” Sadeli menjawab sambil cengengesan “Biar kesaru sama anak-anak kampus Muhammadiyah…”
Beberapa minggu kemudian, pertemuan dilanjutkan di sebuah kantor di Jalan Dewi Sartika, Cililitan, Jakarta Timur. Bimo datang bersama beberapa kawan. Selain Sadeli, saat itu saya berkenalan dengan AJ Susmana dan Lucas Dwi Hartanto. Dari situ, tim dibentuk untuk mengelola buletin. Saya menjadi pemimpin redaksinya.
Setelah edisi pertama terbit, sekitar Mei 1997, saya janjian bertemu Bimo di Lantai 3 Gramedia Blok M via AJ Susmana dan dikonfirmasi ulang via pager. Zaman itu Gramedia Blok M terdiri dari 3 lantai. Lantai 3 menyediakan buku-buku umum (sosial, politik, dan sebagainya). Pada hari dan jam yang disepakati, saya menunggu di Lantai 2 yang menjual buku anak-anak. Sambil memegang komik anak-anak, saya menghadap eskalator untuk memperhatikan orang-orang yang naik-turun. Setelah hampir satu jam menunggu, Bimo ternyata tidak muncul. Saya terus pergi.
Karena penasaran, besoknya saya menyambangi rumah kontrakan Bimo dan kawan-kawan. Ketika sampai dekat rumah tersebut saya perhatikan rumahnya sepi. Suasananya juga berbeda, lampu bohlam di depan rumah dicopot dan korden sudah tidak ada. Akhirnya saya tidak jadi masuk, saya berjalan terus tanpa perlu bertanya orang sekitar.
Sekitar seminggu kemudian saya baru dapat kabar dari AJ Susmana bahwa Bimo ditangkap sehari sebelum bertemu saya di Gramedia Blok M. Pada hari yang sama, kawan-kawannya di rumah kontrakan langsung pindah berpencar mencari tempat lain. Bimo ditangkap ketika membagi-bagikan pamflet saat kampanye Mega-Bintang. Ia ditahan selama sekitar 4 bulan di Polda Metro Jaya.
Tidak banyak yang bisa dilakukan dalam keadaan represif saat itu. Tapi selama 1997-1998 terdapat 8 edisi buletin yang diterbitkan untuk diedarkan melalui jaringan yang ada. Orang semacam Bimo dan Sadeli cukup bisa diandalkan melakukan kerja redaksional dan distribusi, tidak hanya karena kemampuannya, juga militansinya. Di luar hubungan dengan saya, mereka juga punya banyak aktivitas politik sendiri yang sudah jadi sorotan aparat Orde Baru sebelum Peristiwa 27 Juli 1996.
Sadeli hilang sejak 12 Maret 1998 atau sehari setelah selesai Sidang Umum MPR 1998. Seorang kawan, Yoyo bercerita bahwa pada hari terakhir Sidang Umum MPR ia bertemu Sadeli dan sudah mengingatkan supaya tetap waspada karena santer kabar namanya diincar.
***
Bimo dan Sadeli memang terhitung salah dua simpul kelompok-kelompok gerakan pro demokrasi yang membuat gerah lingkaran kekuasaan Orde Baru. Mereka menjadi dua orang dari belasan aktivis yang dihilangkan Orde Baru pada penghujung kekuasaannya (1997-1998). Mereka mungkin ibarat kerikil tajam dalam sepatu yang membuat si empunya kaki merasa tidak nyaman untuk melangkah.
Pada 11 Januari 2023, setelah menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Istana Negara, Presiden Jokowi selaku Kepala Negara mengakui kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998 termasuk salah satu dari 12 Pelanggaran HAM Berat di masa lalu (https://nasional.tempo.co/read/1678970/inilah-12-pelanggaran-ham-berat-yang-diakui-presiden-jokowi). Meskipun sangat terlambat, negara sudah resmi mengakuinya. Tinggal bagaimana pengungkapan kasusnya yang kemungkinan besar akan menghadapi tantangan lebih berat.
Retor A.W. Kaligis, sekarang bekerja sebagai dosen dan peneliti di Jakarta
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid