Asal-Usul “Haatzaai Artikelen” Yang Dihidupkan di KUHP

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada Selasa (6/12/2022).

Namuh, alih-alih menjadi momentum untuk melakukan dekolonisasi terhadap hukum pidana saat ini, RKUHP masih menghidupkan pasal-pasal warisan Hindia-Belanda.

RKUHP masih menghidupkan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Padahal, pasal itu sudah pernah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 karena bertentangan dengan konstitusi.

Sebelumnya, RKUHP malah memperluas cakupan penghinaan itu kepada pemerintah atau lembaga negara secara umum (MPR, DPR, DPD, MA, dan MK).

Sebelumnya  lagi, pada draft 9 November 2022, penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga pemerintah meliputi DPR, DPRD, Kepolisian, Kejaksaan, dan pemerintah daerah.

Pasal-pasal penghinaan itu mengingatkan kita pada “haatzaai artikelen” pada masa Hindia-Belanda.

Apa itu Haatzaai Artikelen?

Haatzaai artikelen adalah istilah untuk pasal-pasal yang menyangkut penghinaan, kebencian, permusuhan terhadap pemerintah atau golongan tertentu di dalam KUHP Hindia-Belanda atau Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indië (WvS).

Kata “haatzaai” dalam bahasa Inggris disebut “hate speech” atau “hate-sowing”, sedangkan dalam bahasa Indonesia berarti “ujaran kebencian”. Sementara “artikelen” berarti “undang-undang” atau “pasal-pasal”.

KUHP Hindia-Belanda itu diundangkan oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda saat itu, Idenburg, pada 15 Maret 1914. Saat itu, gerakan nasionalis dan pers di Hindia sedang bersemi.

Konon, Hindia-Belanda belajar dari pengalaman Inggris di India yang menerapkan “pasal penghasutan” untuk membungkam gerakan nasionalis yang sedang pasang dan meresahkan tatanan kolonial.

Penerapan Haatzaai Artikelen

Pasal-pasal karet KUHP Belanda, yang meliputi pasal 153 bister, 154, 155, 156, dan 157, dipergunakan pemerintah Hindia-Belanda bukan hanya untuk membungkam segala bentuk kritik, baik dari kalangan aktivis maupun pers.

Catatan David T.Hill dalam “The Press in ‘New Order’ Indonesia: Entering the 1990s”, sepanjang 1931 hingga 1936 ada 27 surat kabar yang dituntut oleh pemerintah Hindia-Belanda karena tuduhan menghasut dan menyebar kebencian.

Selain pers, aktivis pergerakan juga banyak yang dijebloskan ke penjara atau menjalani pembuangan karena tulisan atau orasinya dianggap ujaran kebencian, seperti Sukarno, Hatta, Marco Kartodikromo, Semaoen, Ali Sastroamidjojo, dan lain-lain.

Saat Sukarno diadili dalam persidangan di Landraad, Bandung, pada 1930, dia dijerat dengan pasal-pasal haatzaai artikelen.

Setelah Indonesia Merdeka

Setahun setelah Indonesia merdeka, pemerintah RI mengeluarkan UU nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana. UU ini menghapus pasal 153 bister, tetapi tak semua pasal-pasal haatzaai artikelen.

Saat Orde Baru berkuasa, haatzaai artikelen makin dihidupkan. Banyak aktivis pro-demokrasi dan pers dijerat dengan pasal-pasal karet KUHP.

Tahun 2006, MK menghapus pasal penghinaan Presiden yang tertuang dalam dalam 134, 136 bis, dan 137 KUHP, karena dianggap bertentangan dengan konstitusi dan semangat demokrasi.

Tahun 2021, pasal-pasal haatzaai artikelen itu dihidupkan lagi dalam RKUHP. Ironis memang, pasal-pasal yang dulu dipakai kolonialis Belanda untuk membungkam pejuang kemerdekaan justru kini terus dihidupkan dalam KUHP Indonesia merdeka.

RINI HARTONO

[post-views]