Hari-hari ini, saat kita dijejali mimpi akan punya Ibukota Negara baru yang megah, ada potret yang membuat hati kita menjerit perih: rakyat mengantri minyak goreng.
Bayangkan, sudah lebih tujuh dekade Indonesia merdeka, kita belum selesai dengan urusan pangan. Padahal, pada tahun 1952, Sukarno sudah mewanti-wanti: pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa.
Mengapa ini terus terjadi, setiap tahun terjadi kelangkaan dan turbulensi harga pangan. Hampir tidak ada tahun tanpa potret rakyat antri sembako, harga pangan naik, dan rakyat menjerit. Memplesetkan kata-kata filsuf Jerman, Karl Marx: sejarah berulang, pertama sebagai tragedi, lama-lama seperti kutukan.
Apa yang salah dengan politik pangan kita? Bukannya mewujudkan kedaulatan pangan, kok malah membawa kutukan setiap tahunnya.
Kelangkaan minyak goreng, misalnya. Untuk diketahui, Indonesia adalah produsen terbesar di dunia untuk dua bahan baku utama minyak goreng, yaitu kelapa sawit dan kelapa. Kok bisa minyak goreng langka?
Kedelai adalah ironi lainnya. Harga kedelai impor naik, perajin tahu dan tempe terkena imbasnya. Mereka mogok produksi, tahu dan tempe pun langka di pasaran. Padahal, tahu dan tempe merupakan makanan pokok rakyat Indonesia. Kok bisa, negeri yang rakyatnya gandrung tahu dan tempe, tapi tak bisa swasembada kedelai?
Sebetulnya, pangkal masalah harga minyak goreng dan kedelai ini tidak banyak berbeda dengan komoditas pangan lainnya, seperti beras, gula, cabai, bawang, daging, dan telur.
Pertama, pasar pangan hanya dikuasai oleh segelintir pemain, cenderung oligopoli. Akibatnya, pasokan dan harga cenderung dikendalikan segelintir orang. Kondisi ini yang memungkinkan terjadinya kartel.
Ini yang terjadi pada minyak goreng. Merujuk data Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), sekitar 40 persen pangsa pasar minyak goreng di Indonesia dikuasai oleh empat konglomerat, yaitu Anthony Salim (Indofood), Sukanto Tanoto (RoyaL Golden Eagle International/RGEI), Martua Sitorus (Wilmar), dan Bachtiar Karim (Musim Mas)[1].
Parahnya lagi, para penguasa minyak goreng ini merupakan raksasa produsen sawit (CPO) juga. Mereka memproduksi minyak goreng dari CPO yang dihasilkan oleh kebun-kebun sawit mereka. Jadinya, mereka menguasai bisnis minyak goreng ini dari hulu ke hilir.
Nasib kedelai tak berbeda jauh. Data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyebutkan, hanya tiga perusahaan atau importir yang menguasai 66 persen stok kedelai di dalam negeri[2]. Data itu juga dikuatkan oleh temuan KPPU[3].
Penguasaan pasar oleh segelintir pemain ini yang membuat pasar pangan Indonesia tidak sehat, gampang dikendalikan oleh kartel pangan.
Pada tahun 2019, Kepala BULOG Budi Waseso menyebut, sebanyak 94 persen pasar pangan di dalam negeri dikuasai oleh kartel, sedangkan Bulog hanya mengendalikan 6 persen sisanya[4].
Kedua, rantai distribusi pangan kita sangat panjang. Itu terjadi di hampir semua komoditas pangan. Rata-rata melalui 4-7 lapis/titik dari produsen hingga ke konsumen. Masing-masing titik/lapis itu ada margin. Situasi ini diperparah oleh tata niaga pangan yang diserahkan ke mekanisme pasar.
Ini yang menyebabkan harga cukup rendah di tingkat produsen, tetapi sangat mahal di konsumen. Yang dirugikan produsen dan konsumen, sementara yang diuntungkan para pemburu rente.
Ketiga, produksi pangan kita belum berhasil memenuhi kebutuhan dalam negeri. Akibatnya, ketersediaan beberapa komoditas pangan cukup terbatas. Bahkan sebagian didapatkan dengan impor.
Salah satu persoalannya adalah ketersediaan lahan. Luas lahan pertanian Indonesia hanya 570.000 kilometer persegi. Hanya 31,5 persen dari lahan yang ada. Bandingkan dengan Australia yang punya lahan pertanian seluas 3,6 juta kilometer persegi atau 52 persen dari lahan yang ada.
Atau tak usah jauh-jauh, bandingkan dengan Thailand. Luas lahan pertanian di Thailand hanya 221.000 kilometer. Tetapi itu mencakup 43,3 persen dari total lahan di negeri gajah putih itu. Kalau dihitung rasio lahan dengan penduduk, maka setiap orang di Thailand 1 punya 0,32 hektar, sedangkan Indonesia hanya 0,22 hektar.
Baiklah, soal lahan itu bisa diatasi dengan intensifikasi: padat modal, tenaga kerja, dan teknologi. Faktanya, petani kita sulit mengakses modal. Dukungan teknologi juga belum memadai. Anggaran riset pertanian kita terendah di Asia Tenggara. Lalu, mayoritas petani Indonesia berusia 45 tahun ke atas dan berpendidikan SD ke bawah (72,6 persen).
Keempat, lemahnya instrumen untuk mengendalikan (stabilisasi) harga pangan. Sejauh ini, senjata pemerintah hanya mengatur harga eceran tertinggi (HET) dan operasi pasar. Faktanya, dalam banyak kejadian, kedua instrumen itu benar-benar tidak efektif.
HET tidak ada gunanya kalau tak ada cadangan. Tanpa cadangan yang memadai, sulit untuk melakukan stabilisasi harga. Di sisi lain, sejak Bulog berubah dari LPND menjadi Perum, yang membuat double fungsi Bulog menjadi komersil dan funsi publik (PSO), membuat fungsi pengendalian harga tidak maksimal.
Sejak beras sejahtera (rastra) diubah menjadi non-tunai (BNPT), maka sejak itu pula bulog kehilangan saluran penyaluran berasnya yang mencapai 2,6 juta ton per tahun. Sekarang Bulog jualan beras komersil, tapi belum maksimal.
Agak ironis, saat sebagian rakyat masih menjerit dengan harga beras yang mahal, ada ratusan ribu ton beras Bulog yang justru membusuk[5]. Agak perih mendengar, ada puluhan ribu ton CBP Bulog yang terpaksa dilepas dari gudang untuk jadi bahan baku MSG, ethanol, atau tepung giling, agar tak membusuk atau kualitasnya menurun[6].
Ada yang salah dengan politik pangan kita dari hulu ke hilir. Dan ini harus segera diatasi, mengingat pesan Sukarno: soal pangan adalah soal hidup atau matinya suatu bangsa.
Mengingat lagi, di Indonesia ini pengeluaran untuk kebutuhan pangan mencapai 52,90 persen dari upah minimum. Artinya, bagi pekerja dengan upah minimum ke bawah, pengeluaran pangan itu menggerus lebih dari separuh penghasilan bulanan mereka.
Separuh (52,90%) pendapatan upah minimumnya pekerja di Indonesia dipakai untuk kebutuhan pangan.
— Rudi Hartono (@rhmardika) January 24, 2022
Itu belum kebutuhan dasar yg lain, spt tempat tinggal, air bersih, pendidikan, kesehatan, dll.
Tak mengherankan, 70% penduduk Indonesia tergolong rentan dan miskin (WB, 2015). pic.twitter.com/sem9yboBrC
Di Indonesia, berdasarkan hitungan Bank Dunia pada 2015, ada 70 persen rakyat Indonesia yang tergolong rentan dan miskin. Mereka ini gampang selalu terperosok secara ekonomi oleh kenaikan harga sembako.
Sudah saatnya kita kembali ke politik pangan yang sesuai konstitusi, yang menempatkan kepentingan rakyat di atas segala-galanya.
Produksi pangan harus digenjot lagi, dengan mendorong akses tanah, permodalan, dan teknologi untuk petani. Juga penguatan riset pertanian, yang berkontribusi peningkatan produktivitas dan ramah lingkungan.
Sudah saatnya praktek oligopoli yang mengarah pada kartel itu dihentikan. Segala bentuk kapitalisme kroni, yang memberi peluang bagi tumbuh-suburnya oligopoli itu, harus dibabat habis.
Tata niaga pangan harus diintervensi oleh pemerintah. Rantai distribusi yang panjang harus dipangkas. Tahun 1930-an, Mohammad Hatta punya ide cemerlang untuk memangkas rantai distribusi yang panjang: pengorganisasian produksi dan distribusi lewat koperasi.
Lebih penting juga, momentum krisis bahan pokok menjadi momentum untuk memposisikan ulang peran Bulog sebagai institusi negara (LPNK) yang menjalankan fungsi menjaga ketersediaan dan stabilisasi harga pangan.
Selain itu, untuk memimpin dan mengoordinasikan politik pangan nasional, negara ini memerlukan Badan Pangan Nasional. Badan ini, yang berkordinasi langsung Presiden, mengkoordinasikan semua Kementerian, LPNK, dan BUMN terkait urusan pangan.
Untuk memimpin dan mengoordinasikan politik pangan ini, negara memang perlu semacam Badan Pangan Nasional atau Dewan Pangan Nasional. Lembaga ini bertanggung-jawab langsung pada Presiden dan mengoordinasikan semua kementerian, LPNK, dan BUMN terkait urusan pangan. Sehingga tidak ada lagi kebijakan pangan yang saling tumpang-tindih dan bertabrakan.
MAHESA DANU
[1] https://bisnis.tempo.co/read/1554992/4-konglomerat-penguasa-minyak-goreng-di-indonesia
[2] https://finance.detik.com/industri/d-2354604/ini-dia-3-perusahaan-yang-kuasai-66-kedelai-impor-di-indonesia
[3] https://www.hukumonline.com/berita/a/kppu-diminta-selidiki-dugaan-praktik-penimbun-kedelai-lt5ff6cc7f50e87/
[4] https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4560075/buwas-pasar-pangan-ri-94-dikuasai-kartel-bulog-hanya-6
[5] https://www.liputan6.com/bisnis/read/4560377/dpr-ungkap-400-ribu-ton-beras-bulog-ternyata-busuk
[6] https://www.cnbcindonesia.com/news/20190704132857-4-82714/bulog-buang-50000-ton-beras-sebelum-busuk-buat-apa-sih

