Politik Kiri Kembali Pasang di Amerika Latin

Pendulum politik di Amerika latin sedang bergeser ke kiri. Terhitung, dari enam negara yang menyelenggarakan pemilu Presiden sepanjang 2020-2021, lima pemilu dimenangkan oleh politisi berhaluan kiri.

Di Bolivia, pada Pemilu bulan Oktober 2020, Luas Arce, seorang aktivis Gerakan untuk Sosialisme (MAS), memenangkan pemilu Presiden. Dia menyingkirkan bos media sekaligus mantan Presiden, Carlos Mesa.

Di Ekuador, pada pemilu April 2021, kandidat kiri dari Berhimpun demi Harapan (UNES), Andrés Arauz, sempat unggul di pemilu putaran pertama. Namun, dia kalah di putaran kedua.

Pada bulan yang sama, di Peru, Pedro Castillo, aktivis kiri dan mantan guru SD, berhasil memenangkan pemilu. Dia berhasil mengalahkan anak dari mantan diktator sekaligus oligark terbesar di Peru, Keiko Fujimori.

Pada bulan November, Nikaragua juga menyelenggarakan pemilu Presiden. Daniel Ortega, kandidat petahana dari partai revolusioner Front Pembebasan Nasional Sandinista (FZLN), memenangi pemilu dengan suara 75,8 persen.

Di bulan yang sama, Honduras juga menyelenggarakan pemilu Presiden. Hal yang tak terduga terjadi. Xiomara Castro, kandidat dari koalisi kiri Libre (Kebebasan dan Pembangunan Kembali), memenangkan Pemilu. Dia adalah istri dari Manuel Zelaya, mantan Presiden Honduras yang digulingkan lewat kudeta pada 2009.

Di bulan November juga, Chile menyelenggarakan pemilu Presiden. Gabriel Boric, politisi muda yang diusung oleh koalisi kiri, berhasil memenangkan pemilu. Dia mengalahkan politisi ekstrem kanan yang mengaku pendukung Pinochet, José Antonio Kast.

Pasang dan Surut

Di tahun 2000-an, sebuah gelombang pasang kiri juga menyapu Amerika latin. Politisi dan partai kiri menang di berbagai negara. Pengamat dan media menyebutnya “gelombang merah jambu” (pink tide).

Dimulai oleh kemenangan Hugo Chavez, seorang perwira kiri, di pemilu Venezuela, tahun 1998. Kemudian disusul Lula da Silva (Brazil) dan Néstor Kirchner (Argentina). Keduanya berkuasa di tahun 2003.

Gelombang pasang itu berlanjut di 2004-2006. Tabaré Vázquez di Uruguay (2004), Evo Morales di Bolivia (2006), Manuel Zelaya di Honduras (2006), dan Michelle Bachelet di Chile (2006).

Kemenangan politik kiri di medan elektoral berlanjut di tahun-tahun berikutnya: Daniel Ortega di Nikaragua dan Rafael Correa di Ekuador (2007); dan Fernando Lugo di Paraguay (2008); Jose Mujica di Uruguay (2010).

Namun, sejak 2010-an, ada arus balik. Ada upaya kudeta yang dilakukan oleh sayap kanan. Taktiknya: kudeta lewat parlemen (pemakzulan). Taktik ini berhasil menggulingkan Presiden Zelaya di Honduras (2009) dan Fernando Lugo di Paraguay (2012).

Kudeta serupa dengan menggunakan isu korupsi juga dilakukan di Brazil. Dilma Rousseff, Presiden dari partai Buruh yang sudah berkuasa dua periode, digulingkan lewat pemakzulan lewat isu korupsi yang tak terbukti.

Selain intervensi sayap kanan lewat “kudeta elit”, faktor ekonomi juga berdampak pada nasib pemerintahan kiri di Amerika latin pada 2010-an.

Sejak pertengan 2010-an, booming harga komoditas mulai menurun. Hampir semua negara Amerika latin sangat bergantung pada harga komoditas.

Tahun 2015, harga minyak merosot tajam. Venezuela, salah satu penghasil minyak terbesar di dunia, terkena dampaknya. Hampir 90 persen pendapatan negeri itu bersumber dari minyak. Kejatuhan harga minyak membuat ruang fiskal pemerintahan sosialis di bawah Nicolas Maduro semakin terjepit.

Di tengah cekikan krisis ekonomi, sayap akan melancarkan protes besar-besaran. Beruntung, meski dicekik krisis ekonomi, sanksi ekonomi, dan gangguan sayap kanan, pemerintahan Maduro di Venezuela masih bertahan.

Nasib serupa dialami Ekuador dan negara Amerika latin lainnya bergantung pada sektor ekstraktif. Sebagian besar negara-negara itu bergantung pada rezeki dari ekstraksi sumber daya alam.

Perlambatan ekonomi membuat beberapa pemerintahan kiri tidak terpilih lagi, seperti di Argentina, Ekuador, dan Brazil. Di Argentina, penerus Kirchnerismo, Daniel Scioli, dikalahkan kandidat sayap kanan, Mauricio Macri. Di Brazil, kandidat partai Buruh Fernando Haddad juga dikalahkan oleh kanan-fasis, Jair Bolsonaro.

Memang, di Meksiko terjadi kejutan. Di negeri yang berbatasan langsung dengan Amerika Serikat itu, kandidat kiri justru menang pemilu.

Manuel López Obrador (AMLO), yang diusung oleh koalisi kiri Morena, berhasil mengubah wajah politik Meksiko yang selama beberapa dekade diperintah oleh rezim sayap kanan.

Gelombang Baru

Tahun 2019, gejolak politik melanda Amerika latin. Kegagalan neoliberalisme tak bisa ditutupi atau dipoles rezim-rezim sayap kanan yang baru naik.

Di Ekuador, jutaan rakyatnya turun ke jalan memprotes kenaikan harga BBM. Karena takut terkepung demonstran, Presiden Ekuador Lenin Moreno terpaksa memindahkan Istana Kepresidenan keluar dari Ibukota Quito.

Di Chile, protes besar juga terjadi setelah rezim neoliberal Sebastian Pinera menaikkan tarif kereta metro sebesar 30 peso (sekitar Rp 600,-). Lebih dari 1 juta demonstran turun ke jalan Ibukota Santiago.

Protes juga terjadi di Kolombia, Bolivia, Peru, dan Argentina.

Tahun 2020, ketika dunia diterjang oleh pandemi covid-19, protes tak berhenti. Kegagalan rezim populis kanan menghadapi pandemi memicu protes besar, seperti di Brazil dan Chile.

Beragam protes yang meletup di kawasan Amerika latin dipicu oleh kegagalan neoliberalisme, seperti ketimpangan ekonomi, krisis ekologi, korupsi, dan aspirasi politik warga yang terabaikan.

Ketidakpuasan ini menggeser bandul politik bergeser ke kiri. Banyak pemilih yang berusaha membangun harapan pada partai dan politisi kiri. Itu yang terjadi di Meksiko, Peru, Honduras, dan Chile.

Bagaimana selanjutnya?

Gelombang pasang politik kiri ini kemungkinan masih akan berlanjut. Di tahun 2022 ini, ada dua negara besar di Amerika latin yang akan menyelenggarakan pemilu, yaitu Brazil dan Kolombia.

Brazil akan menyelenggarakan pemilu pada Oktober 2022. Dari berbagai jajak pendapat, kandidat yang diusung oleh Partai Buruh selalu unggul. Lula da Silva, yang sudah dua kali memenangi pemilu (2002 dan 2006), mendapat elektabilitas tertinggi.

Lula merupakan Presiden paling populer dalam sejarah Brazil. Program pengentasan kemiskinannya, Bolsa Família, sangat sukses dan diakui dunia. Lula sangat mungkin terpilih di Pemilu dan membawa Brazil ke persimpangan kiri jalan.

Di Kolombia, negeri yang hampir sejak awal abad ke-20 hingga sekarang hanya diperintah tiga kekuatan silih berganti, yaitu konservatif, liberal, dan militer, ada kandidat kiri yang mulai naik daun. Namanya: Gustavo Petro.

Dia mantan Walikota Bogota. Dua kali ikut pemilu Presiden, dia belum berhasil. Di pemilu 2018, dia meraih suara terbanyak kedua, di tengah intimidasi dan ancaman pembunuhan oleh kelompok paramiliter.

Pada pemilu tahun ini, Petro diunggulkan. Elektabilitasnya tertinggi di hampir semua jajak pendapat. Kalau dia bisa menang pemilu di Kolombia, maka konstalasi politik di Amerika latin akan benar-benar terguncang.

Seperti apa ke depan? Mari kita tunggu.

RAYMOND SAMUEL

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid