80 Tahun Kemerdekaan Indonesia : Sudahkah Kita Berbahagia?

Kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 bukan sekadar pelepasan dari belenggu kolonialisme, melainkan janji untuk menghadirkan sebuah kehidupan yang lebih adil, makmur, dan membahagiakan bagi seluruh rakyat. Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah satu dari dua revolusi bagi bangsa Indonesia: Revolusi Nasional Demokratik dan Revolusi Menuju Masyarakat yang Adil dan Makmur. Bung Karno menyebut kemerdekaan hanyalah jembatan emas. Di seberangnya, rakyat seharusnya menemukan kesejahteraan yang membuat hidup terasa utuh: perut kenyang, pikiran merdeka, hati tenteram.

Namun, delapan puluh tahun setelah proklamasi, pertanyaan sederhana masih menghantui: sudahkah Indonesia bahagia?

Di satu sisi, bangsa ini telah mencatat banyak pencapaian: stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan posisi yang semakin diperhitungkan dalam diplomasi global. Jalan raya membentang, gedung pencakar langit menjulang, teknologi berkembang.

Tetapi di sisi lain, masih banyak rakyat yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan, pekerja yang upahnya tak sebanding dengan tenaga dan waktu yang mereka miliki, petani yang kehilangan tanah, nelayan yang akses lautnya semakin terbatas, serta generasi muda yang masa depannya dipertaruhkan oleh zaman.

World Happiness Report menempatkan Indonesia di posisi tengah: tidak sengsara, namun juga jauh dari kebahagiaan sejati. Data tahun 2024, yang merupakan rata-rata antara tahun 2021–2023, menunjukkan bahwa Indeks Kebahagiaan Indonesia berada di kisaran skor 5,56–5,57, dengan peringkat global sekitar urutan ke-79 atau ke-80 dari sekitar 138 negara. Artinya, terdapat kontradiksi mendasar: kebanggaan nasional tumbuh, tetapi kebahagiaan sehari-hari masih timpang, seolah hanya menjadi hak segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan dan modal.

Dengan perspektif historis dan sosial, kita memahami bahwa kebahagiaan bukanlah hadiah yang jatuh dari langit, melainkan hasil perjuangan kolektif. Negara seharusnya menjadi alat untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan rakyat hidup bahagia: pendidikan gratis dan bermutu, kesehatan terjangkau, kerja yang layak, lingkungan yang sehat, budaya yang berkembang, serta ruang politik yang demokratis.

Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang abstrak. Ia lahir dari kondisi material yang nyata. Rakyat hanya bisa bahagia jika kebutuhan dasarnya terpenuhi: pangan, papan, pekerjaan, kesehatan, pendidikan, serta lingkungan yang aman. Negara yang tidak mampu menyediakan itu semua hanya memberi kebahagiaan semu, berupa simbol, slogan, dan pesta seremonial.

Oleh karena itu, kebahagiaan Indonesia hari ini masih timpang. Ada yang bahagia karena menikmati hasil pembangunan, tetapi ada jauh lebih banyak yang masih berjuang untuk sekadar bertahan hidup.

Kembali pada paragraf awal, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah jembatan emas yang menuntun bangsa Indonesia dari Revolusi Nasional Demokratik menuju revolusi kedua: mewujudkan Masyarakat yang Adil dan Makmur. Di tengah problema dan tantangan bangsa dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan, negara terus berdinamika dan berupaya menjadi alat yang mewujudkan cita-cita tersebut.

Bagaimana kesejahteraan dan kebahagiaan, yang selama ini dinikmati oleh segelintir orang, dapat merata dan dirasakan oleh seluruh tumpah darah bangsa Indonesia? Delapan puluh tahun merdeka, kita mesti jujur bahwa proyek kebangsaan masih jauh dari rampung. Pembangunan memang melaju, tetapi kerap diarahkan pada pertumbuhan ekonomi yang menguntungkan segelintir elit politik dan pemilik modal, bukan pada pemerataan kesejahteraan.

Namun demikian, harapan tidak boleh padam. Semboyan Merdeka atau Mati pada saat perjuangan kemerdekaan adalah tentang harapan yang harus terus hidup. Ada sebuah kata-kata bijak; “If you carry hope in your heart, tomorrow will always be born anew.” Selama kita memelihara harapan, masa depan tidak pernah benar-benar berakhir; selalu ada kesempatan baru untuk bangkit, meski hari ini penuh dengan tantangan.

Pemerintahan saat ini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, berupaya membalik keadaan dengan visi besar untuk mengubah kemerdekaan menjadi kesejahteraan nyata. Melalui program swadaya pangan dan makan bergizi gratis untuk anak sekolah, pemerintah berusaha menutup jurang ketimpangan dengan memastikan tidak ada rakyat yang kelaparan. Kedaulatan pangan dipandang sebagai fondasi kebahagiaan: ketika petani diberdayakan, nelayan diberi akses, dan anak-anak bisa tumbuh sehat, bangsa akan lebih kuat, mandiri, dan percaya diri.

Ini bukan sekadar kebijakan teknis, tetapi perwujudan janji kemerdekaan: perut kenyang, hati tenteram. Pemerintahan Prabowo juga menaruh perhatian besar pada sektor ekonomi dengan mendorong hilirisasi industri. Melalui pembentukan lembaga pengelola aset negara bernama Danantara, pemerintah berupaya menciptakan lapangan kerja baru sekaligus memperkuat fondasi ekonomi dalam negeri agar tidak hanya menjadi pengekspor bahan mentah, tetapi juga produsen bernilai tambah tinggi.

Langkah ini dipadukan dengan target ambisius pertumbuhan ekonomi hingga 8%, sembari menjaga stabilitas fiskal dengan menurunkan defisit anggaran ke level 2,48% dan menargetkan keseimbangan anggaran pada 2027–2028. Dengan arah kebijakan semacam ini, Indonesia tidak hanya diarahkan untuk tumbuh lebih cepat, tetapi juga lebih kokoh dan berdaulat secara ekonomi.

Selain itu, Prabowo menekankan pemerataan pembangunan dan peningkatan kualitas SDM melalui investasi besar di bidang kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Layanan kesehatan ditingkatkan dengan memperluas akses BPJS dan pembangunan fasilitas medis di daerah, sementara pendidikan diarahkan agar generasi muda tidak hanya pintar secara akademis, tetapi juga siap menghadapi tantangan zaman dengan karakter kebangsaan yang kuat. Program Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat menjadi inovasi penting untuk memperluas akses pendidikan bermutu hingga pelosok negeri, memberi ruang bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu agar tetap bisa belajar dan menggapai cita-cita.

Semua ini berpadu dalam visi Indonesia Emas 2045, sebuah kompas besar agar satu abad setelah merdeka, rakyat Indonesia hidup dalam kemakmuran dan kebahagiaan yang merata. Semua itu ditopang oleh semangat keberanian menghadapi tantangan global, dari krisis iklim hingga ketidakpastian ekonomi dunia. Prabowo menempatkan rakyat sebagai pusat kebijakan: dari pangan, kesehatan, pendidikan, hingga lapangan kerja. Dengan arah yang tegas dan kepemimpinan yang kuat, Indonesia di bawah Prabowo menatap masa depan dengan optimisme.

Delapan puluh tahun setelah Proklamasi, bangsa ini kembali diyakinkan bahwa jembatan emas kemerdekaan benar-benar sedang mengantarkan rakyat menuju cita-cita besar: Indonesia yang berdaulat, adil, makmur, dan bahagia.

Upaya ini tentu bukan tanpa kritik dan tantangan, sebab rakyat menuntut bukti nyata, bukan sekadar janji. Tantangan begitu besar, di satu sisi gerakan rakyat dan Masyarakat sipil menuntut bukti nyata dan mengekspresikan ketidak puasan terhadap situasi kondisi objektif bangsa. Di sisi lain segelintir orang yang selama ini menikmati buah kemerdekaan dan mengakumulasikan kebahagiaan secara personal juga berupaya menentang harapan-harapan yang sedang diupayakan untuk diwujudkan oleh pemerintahan Prabowo.

Untuk itu dalam perayaan 80 Tahun Kemerdekaan bangsa Indonesia, kita perlu merefleksikannya secara mendalam. Kebahagiaan; Masyarakat yang Adil dan Makmur, Gemah Ripah Loh Jinawi, Toto Tentrem Raharjo adalah cita-cita kemerdekaan. Kemiskinan dan kesengsaraan harus menjadi musuh utama, bukan sesama anak bangsa. Persatuan nasional adalah kunci bagi Bangsa Indonesia untuk memenangkan perang melawan kemiskinan dan kesengsaraan serta mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang sejati: masyarakat Indonesia yang adil, makmur, serta bahagia lahir dan batin.

Jonathan Kevin

[post-views]