Riau, Berdikari Online—Kawasan Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Bukit Baling yang dahulu ditetapkan sebagai hutan konservasi kini menghadapi ancaman nyata. Diperkirakan sekitar 5000 hektar dari total 141.226,25 hektar kawasan hutan telah beralih fungsi dan dirambah, sebagian besar menjadi kebun kelapa sawit. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran publik: akankah nasib Rimbang Baling menyusul Tesso Nilo yang hampir habis digerus?. (16/06/2025)
SM Rimbang Baling ditetapkan melalui berbagai regulasi penting, termasuk Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 3977/Menhut-VIII/KUH/2014 dan diperkuat dengan status Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) melalui SK Menteri LHK No. 468/Menlhk/Setjen/PLA.0/6/2016. Kawasan ini terletak di wilayah administrasi Kabupaten Kampar dan Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau, serta berada di bawah pengawasan BKSDA Riau.
Namun, kondisi di lapangan menunjukkan potret yang berbeda. Ketua Puskominfo Indonesia DPD Riau, Muchtar, memaparkan bahwa selama tiga tahun terakhir menerima berbagai laporan dari masyarakat, media, dan LSM terkait aktivitas pembukaan lahan di kawasan tersebut. Apalagi aktivitas itu menggunakan alat berat jenis ekskavator di wilayah seperti Kuntu Darussalam dan Singingi Hilir.
“Masyarakat juga bingung, apakah kebun mereka masuk kawasan hutan? Karena mereka melihat alat berat beroperasi secara bebas tanpa tindakan apa pun,” ungkap Muchtar.
Ironisnya lagi, beberapa laporan resmi yang disampaikan ke pihak kehutanan maupun aparat penegak hukum diduga tidak ditindaklanjuti. Ada kekhawatiran terjadi koordinasi antara para pelaku perambahan dengan oknum aparat. Banyaknya razia yang ‘bocor’ sebelum dilaksanakan menjadi tanda tanya serius akan integritas penegakan hukum.
Salah satu contoh paling memprihatinkan terjadi di Resort Muara Bio wilayah Kuntu Darussalam. Berdasarkan investigasi tim Puskominfo, kawasan ini hampir habis dirambah. Muchtar bahkan menyebut adanya laporan transaksi jual-beli lahan seluas 45 hektar oleh oknum hakim kepada seorang perwira TNI AU, yang dilaporkan ke BKSDA dan Gakkum, namun hingga kini tidak ada tindak lanjut.
“Ini sangat bertolak belakang jika dibandingkan dengan masyarakat kecil seperti Teguh Wiyono, petani 60 tahun, yang ditangkap hanya karena membakar lahan satu hektar,” tegas Muchtar.
Padahal, para bos besar dan pemilik alat berat yang menjadi aktor utama tidak pernah tersentuh hukum. Situasi ini mengundang pertanyaan besar: di mana peran KPHK SM Rimbang Baling dan Polsek Kampar Kiri ?
Kabar baiknya, Kapolda Riau Irjen Pol Herry Heryawan telah membentuk Satgas Penanggulangan Perambahan Hutan. Langkah ini diapresiasi sebagai bentuk komitmen, namun Muchtar mengingatkan pentingnya transparansi, keterbukaan laporan, dan partisipasi publik dalam proses penegakan hukum.
“Tidak boleh ada tebang pilih! Aparat harus profesional dan membuka ruang bagi laporan dari masyarakat dan LSM. Hukum harus ditegakkan kepada siapa pun, tanpa memandang bulu,” tegasnya.
Muchtar menutup pernyataannya dengan harapan agar Kapolda Riau dapat menindak tegas apabila ada oknum jajarannya yang terlibat dalam praktek perambahan hutan dan kepemilikan kebun dalam kawasan hutan. Perlindungan terhadap kawasan hutan sebagai bentuk “Melindungi Tuah , Menjaga Marwah” negeri ini.
“Kalau tidak sekarang, apakah kita menunggu hutan di Bumi Melayu ini punah?”pungkasnya.
(Fikzen)


