Sistem Proporsional Tertutup, Memperkuat Partai Dan Meminimalisir Politik Transaksional

Menjelang pemilu 2024, Mahkamah Konstitusi (MK), menolak uji materi undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu, yang berarti pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Sistem pemilu proporsional terbuka, pertama kali digunakan pada pemilu 2009, setelah putusan MK nomor 22-24/PUU-VI/2008, yang merupakan hasil uji materi undang-undang no. 10 tahun 2008, tentang pemilihan umum. Pertimbangan kuat saat itu, harapan calon legislatif dipilih karena kedekatan dengan rakyat dan punya track record yang baik didaerah pemilihannya. Setelah sistem ini diuji melewati empat kali pemilihan umum, yang terjadi tidak sesuai.

Dari empat kali pemilu dengan sistem proporsional terbuka, money politics semakin susah dibendung dan biaya politik menjadi semakin mahal. Akibatnya, partai-partai dan calon legislatif akhirnya tersandera kekuatan modal karena kebutuhan biaya yang mahal setiap pemilu. Dampaknya, tidak sedikit anggota legislatif tersandung kasus korupsi karena mau mengembalikan modal dan mencari dana untuk pemilu berikutnya. Dalam banyak kasus, kader-kader dan pengurus partai yang sudah berjuang dari bawah, tersingkir dan kalah dalam pemilu dari orang-orang yang baru datang tapi memiliki modal popularitas dan finansial.

Persoalan lain, partai-partai tidak lagi fokus memperkuat gagasan dan program partai, karena dalam pemilu yang terjadi adalah tarung bebas antar calon legislatif internal partai. Struktur partai tingkat kecamatan, hanya berfungsi sampai verifikasi partai, setelah itu jalan masing-masing, bahkan beberapa kasus ada pengurus partai A, jadi tim sukses calon legislatif partai B, karena semua mengandalkan kemampuan personal calon untuk mendapatkan suara, bukan kemampuan struktur partai. Pemilu menjadi sangat liberal.

Pemilihan umum memaksa partai-partai menerima dan merekrut calon legislatif tanpa melalui proses kaderisasi karena pertimbangan popularitas dan kekuatan finansial demi mencapai target parlement treshold dan bisa memiliki wakil dilegislatif, selemah apapun itu kwalitasnya. Padahal, dalam undang-undang, salah satu fungsi partai politik adalah melakukan kaderisasi untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin di legislatif dan eksekutif.

Proporsional tertutup akan mendorong partai-partai kembali memperkuat gagasan dan program serta strukturnya, karena pemilu bukan lagi mendahulukan kemampuan personal calon legislatifnya, tapi performance partai, militansi pengurus dan kader-kader partainya.

Selain itu, biaya politik pasti akan lebih murah karena yang akan lebih dominan bersosialisasi adalah partai, bukan calon legislatif yang jumlahnya bisa sampai ribuan. Ini juga yang akan lebih memudahkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), melakukan pengawasan bila ada partai yang coba-coba mau melakukan money politics.

Anshar Manrulu
(Wakil Sekretaris Jendral DPP PRIMA)

[post-views]