Ibadah Puasa di Tengah Ketimpangan

Dari berbagai hikmah tentang ibadah puasa, kita diberi tahu tentang empati terhadap kaum miskin. Tentang kepekaan dan solidaritas sosial.

Secara harfiah, puasa (shaum) berarti “menahan”. Rujukan kata lainnya, al-imsâk, juga berarti menahan. Berpuasa berarti menahan diri untuk tidak makan dan minum dari sejak terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari.

Al-imsâk juga berarti menahan diri atau pengendalian diri dari nafsu duniawi, dari nafsu makan, nafsu seksual, nafsu kuasa, hingga nafsu menumpuk harta atau kekayaan.

Sering dikatakan, dengan menahan makan dan minum, kita akan merasakan lapar. Tapi puasa bukan sekedar berlapar-lapar ria, tetapi bagaimana merasakan apa yang dirasakan oleh kaum miskin. Puasa untuk menumbuhkan rasa empati.

Di bulan Ramadan beberapa tahun belakangan ini, kita berhadap-hadapan dengan banyak kenyataan pahit.

Saat kita menahan dahaga dan lapar karena perintah agama, ada jutaan orang yang menahan lapar sepanjang tahun, bahkan bertahun-tahun, karena kemiskinan. 

Tahun 2019, riset Bank Pembangunan Asia (ADB) menemukan ada 22 juta orang rakyat Indonesia yang menderita kelaparan kronis sepanjang 2016-2018. Sementara data BPS tahun 2020 menyebutkan, masih ada 9,79 persen rumah tangga di Indonesia yang tidak mampu mengakses air bersih yang layak.

Di negeri kita ini, karena faktor kemiskinan, ada 1 dari 3 balita yang mengalami kekurangan gizi kronis atau stunting. Bayangkan, dari sejak balita, bahkan di dalam kandungan, manusia Indonesia sudah terdampak oleh kurangnya akses terhadap makanan.

Kemudian lagi, di saat ibadah puasa dimaknai sebagai pengendalian terhadap hawa nafsu, termasuk hawa nafsu untuk menumpuk harta, kita mendapati kenyataan bahwa Indonesia, negeri muslim terbesar di dunia, merupakan negara dengan tingkat ketimpangan ekonomi yang cukup parah.

Seperti banyak diungkap oleh sejumlah lembaga (Credit Suisse, Oxfam, dan TNP2K), 1 persen orang terkaya menguasai hampir separuh kekayaan dan sumber daya nasional. Sementara 10 persen terkaya menguasai 75,3 persen kekayaan nasional.

Ketimpangan itu tampak juga dalam penguasaan aset. Tanah, salah satu aset kekayaan yang terpenting, itu hanya dikuasai oleh segelintir orang. Gini rasio kepemilikan tanah masih di kisaran 0,54 sampai 0,67. 

Data menunjukkan, 6 persen petani terkaya menguasai 38,5 persen tanah pertanian. Sedangkan 56 persen petani gurem hanya menguasai 12 persen lahan pertanian.

Aset finansial, sumber kekayaan di zaman modern, juga menumpuk di tangan segelintir orang. Hanya 0,05 persen rekening (di atas Rp 5 milyar) menguasai 47,5 persen tabungan, sedangkan 98,2 persen rekening (nilai sampai Rp 100 juta) hanya menguasai 13,9 persen total tabungan (Teguh Dartanto, 2021).

Sementara di bulan ramadhan, umat Islam dituntut untuk memperbanyak ibadah dengan khusyuk, ada jutaan orang diantaranya dilingkupi kecemasan: besok makan apa, besok bayar tagihan pakai apa, besok atau bulan depan tinggal di mana?

Ketika puasa ditujukan untuk mengendalikan nafsu keserakahan, bagaimana kita, umat Islam Indonesia, melihat persoalan ketimpangan itu?

“Kabarkanlah kepada orang-orang yang menumpuk emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, bahwa mereka akan mendapat azab yang pedih.” (QS. At-Taubah [9]: 34)

“(Ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At-Taubah: 35)

Kalau Idul Fitri nanti kita rayakan sebagai Hari Kemenangan, kita menang dari apa? Bisakah kita merasa sebagai pemenang ketika kemiskinan dan ketimpangan masih mencekik kehidupan sosial kita?

Seharusnya, sebagai negara muslim terbesar di dunia, yang setiap tahunnya diuji empati dan kepekaan sosialnya lewat ibadah puasa, harusnya kita tak bertungkus lumus dalam kemiskinan dan ketimpangan.

Mari berpaling sejenak Swedia, yang oleh riset Pew Research pada 2008-2017, salah satu negeri di muka bumi ini yang hanya 10 persen penduduknya merasa agama penting dalam kehidupannya. Tapi, siapa bisa menyangkal, Swedia merupakan salah satu negara paling makmur dan paling setara di muka bumi ini.

Selain kebijakan sosial dan pembangunan SDM yang kuat, negeri ini punya mekanisme redistribusi kekayaan yang efektif: pajak progresif. 

Sebetulnya, dalam Islam juga ada mekanisme redistribusi kekayaan: infaq, sedekah, zakat, dan wakaf. Pertanyaannya, kalau mekanisme redistribusi kekayaannya, kenapa ketimpangan justru tinggi di negara-negara muslim seperti Indonesia?

Ambil contoh zakat. Sebagai negara muslim terbesar, dengan jumlah penganut Islam sebesar 229,62 juta orang, potensi ekonomi dari zakat sebetulnya sangat besar. 

Sebagai contoh, pada 2020, berdasarkan hitungan Baznas, potensi zakat kita mencapai Rp327,6 triliun. Namun, realisasinya hanya Rp 71,4 triliun atau sekitar 21,7 persen. Itu pun, zakat yang masuk ke organisasi penghimpun zakat resmi hanya Rp10,2 triliun. 

Itu menunjukkan rendahnya kesadaran berzakat umat Islam di Indonesia. Padahal, zakat adalah kewajiban yang diganjar dengan pahala berlipat. Secara sosial-ekonomi, zakat merupakan cara meredistribusi kekayaan agar berkeadilan sosial. Zakat juga bisa menjadi senjata ekonomi untuk memperkuat ekonomi kolektif umat Islam.

““Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat tersebut engkau membersihkan dan mensucikan mereka” (QS. At-Taubah: 103)

Nah, kembali ke semangat dan hikmah ibadah puasa di bulan Ramadan, umat Islam tak bisa tutup mata pada persoalan kemiskinan dan ketimpangan. 

Bukan saja karena sebagian besar kemiskinan berwajah umat Islam. Bukan saja karena penghuni bagian bawah piramida ketimpangan ekonomi itu umat Islam.

Yang terpenting dari itu, misi utama Islam adalah membebaskan manusia dari “kegelapan” (zulumat) menuju “cahaya” (nur), yakni dari sistem sosial-ekonomi yang diskriminatif dan menindas menuju sebuah sistem yang berkeadilan sosial. 

Mari kita ingat pesan Ali bin Abi Thalib R.A: “Kebaikan itu bukan ada pada banyaknya harta dan anak, tetapi pada banyaknya pendidikan, besarnya kepekaan sosial, dan perasaan terhormat dengan ibadah.”

NUR ROHMAN, penulis, tinggal di Yogyakarta

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid