Refleksi 25 Tahun LMND: Gerakan Rasional dalam Menghadapi Fenomena Post-Truth

Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) didirikan pada tahun 1999, di tengah gelombang reformasi yang melanda Indonesia. LMND muncul sebagai reaksi terhadap ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi yang berlangsung selama rezim Orde Baru. Dengan visi besar untuk menciptakan masyarakat yang demokratis dan adil, LMND berkomitmen pada perjuangan hak-hak mahasiswa dan rakyat tertindas. Selama 25 tahun, LMND telah terlibat dalam berbagai gerakan sosial dan politik, memainkan peran penting dalam mendorong perubahan di Indonesia.

Sejak awal berdirinya, LMND telah menunjukkan komitmen yang kuat dalam memperjuangkan keadilan sosial. Keterlibatannya dalam berbagai aksi protes, kampanye kesadaran, dan advokasi kebijakan adalah wujud nyata perjuangan. Isu-isu seperti hak asasi manusia, demokrasi, pendidikan gratis, dan keadilan ekonomi, sudah menjadi santapan sehari-hari.

Mengusung wacana “Baca, Diskusi, Aksi”, LMND berusaha membangun kesadaran kritis dan gerakan yang dialektis di kalangan mahasiswa dan masyarakat luas. Wacana ini merupakan upaya nyata LMND selama seperempat abad bergerak. Hal ini dilakukan demi memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan solidaritas di tengah gempuran kapitalisasi dan globalisasi yang hegemonik.

Tekanan dan tantangan yang muncul akibat proses kapitalisasi dan globalisasi di berbagai aspek kehidupan menjadi salah satu penyebab terjadinya post-truth. Sebagai kader LMND, saya menyadari hal ini berbahaya dan dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara di masa depan. Oleh karena itu, sebagai bagian dari LMND, kita harus siap dan terus beradaptasi, berusaha menjawab tantangan zaman dengan strategi baru yang efektif.

Fenomena Post-Truth

Post-truth? Ya, post-truth. Frasa yang dipopulerkan pada tahun 1992 oleh Steve Tesich dalam tulisan berjudul The Government of Lies. Dalam artikel yang dipublikasikan di majalah The Nation tersebut, Tesich menulis bahwa “kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan ingin hidup di dunia post-truth”. Tulisan tersebut merupakan bentuk ungkapan kegelisahan Tesich atas propaganda negara- negara yang terlibat dalam Perang Teluk di awal dekade 90-an. Memang harus diakui propaganda negara- negara yang berseteru saat itu sangat membingungkan publik global. Kebenaran dan kepalsuan menjadi hal yang sulit untuk dibedakan.

Kemudian pada tahun 2004, Ralph Keyes bersama komedian Stephen Colbert mempopulerkan istilah yang kurang lebih sama: truthiness, yaitu sesuatu yang seolah-olah benar, padahal tidak benar sama sekali. Puncaknya adalah pada tahun 2016 saat Donald Trump mengikuti pemilihan presiden di Amerika, di mana para pemilih di negara Paman Sam bahkan publik global terpolarisasi dan dibingungkan oleh berita-berita maupun opini-opini yang beredar. Metode propaganda firehose of falsehood-nya Donald Trump menciptakan kondisi post-truth yang menggemparkan. Sampai-sampai, Kamus Oxford menobatkan post- truth menjadi Word of the Year, dan mendefinisikan post-truth sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan emosi dan keyakinan personal.

Sederhananya, post-truth adalah suatu era di mana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran dengan memainkan emosi dan perasaan publik. Apakah Indonesia pernah mengalaminya? Bukan hanya pernah, tapi sudah dan masih mengalaminya.

Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia telah mengalami berbagai fenomena sosial dan politik yang kompleks. Dari korupsi yang merajalela hingga ketidaksetaraan ekonomi yang semakin melebar, tantangan-tantangan ini memperburuk kondisi masyarakat. Selain itu, munculnya media sosial dan teknologi informasi baru telah mengubah cara informasi disebarkan dan dikonsumsi. Di tengah perubahan

ini, fenomena post-truth telah mendapatkan popularitas, di mana narasi emosional atau subjektif seringkali mengalahkan data atau bukti faktual. Emosi dan keyakinan pribadi lebih mempengaruhi opini publik daripada fakta objektif, yang menjadi tantangan besar di era digital ini. Informasi palsu dan disinformasi menyebar dengan cepat, mempengaruhi persepsi publik dan memicu polarisasi. Fenomena ini menantang fondasi demokrasi yang berlandaskan pada fakta dan penalaran rasional.

Publik sering kali hanya menerima informasi dari sumber yang sejalan dengan pandangan mereka, mengakibatkan terbentuknya “echo chambers” di mana pandangan yang ada terus diperkuat tanpa tantangan. Hal ini bisa terjadi karena adanya ketidakpuasan publik pada pengelolaan kekuasaan yang hegemonik. Akibatnya, kepercayaan pada media, pemerintah, dan institusi lain menurun, membuat orang lebih rentan terhadap informasi yang tidak diverifikasi.

Jika mengacu pada teori Michel Foucault tentang kekuasaan dan pengetahuan, kita dapat melihat kerangka penting untuk memahami dan menghadapi fenomena post-truth. Foucault berpendapat bahwa pengetahuan tidak pernah netral; ia selalu terkait dengan kekuasaan. Dalam konteks post-truth, pengetahuan sering dimanipulasi untuk melayani kepentingan tertentu. Oleh karena itu, strategi untuk menghadapi post-truth harus mencakup upaya untuk mendekonstruksi wacana dominan dan mengungkap operasi kekuasaan di balik produksi pengetahuan.

Relevansi Metode LMND dalam Mengatasi Fenomena Post-Truth

Berangkat dari teori Michel Foucault tadi, gambaran untuk mengatasi fenomena post-truth jelas terlihat, pengetahuan adalah kuncinya. Perkembangan pengetahuan hari ini semuanya berangkat dari filsafat, dan LMND dalam setiap wacananya selalu menjadikan filsafat sebagai dasar pijakan gerak rasional. Pada titik inilah, saya melihat relevansi metode pendidikan LMND dengan keadaan saat ini.

Selain filsafat, ada ekonomi politik yang menjadi materi di dalam metode LMND. Materi ini tak kalah pentingnya, karena berperan dalam membentuk pemahaman kritis dan menyeluruh mengenai bagaimana struktur dan dinamika ekonomi mempengaruhi kehidupan sosial dan politik. Integrasi ekonomi politik dalam metode LMND membantu anggota memahami dan berpartisipasi secara aktif dalam upaya untuk menciptakan perubahan sosial yang lebih adil dan demokratis.

Dua pijakan metode ini, ditambah dengan pandangan kebangsaan Indonesia (Pancasila), maka LMND memiliki relevansi kuat dalam mengatasi tantangan berbangsa dan bernegara hari ini. Mengintegrasikan ketiga komponen ini dapat membentuk pemahaman yang holistik. Dengan demikian, ber-LMND sama dengan kita berjuang mewujudkan bangsa Indonesia menggapai cita-citanya, menjadi bangsa yang maju dan beradab.

Tentu ini bukan pekerjaan yang mudah, sebab untuk mewujudkannya tidak cukup hanya dengan ber- LMND. Jika negara serius, maka tujuan LMND yang tercantum di Pasal 6 Anggaran Dasar, yakni “mewujudkan sistem pendidikan nasional yang memanusiakan manusia dan dapat diakses oleh seluruh rakyat Indonesia” haruslah direalisasikan, sebab pendidikan adalah pintu pengetahuan dan pengetahuan adalah kunci peradaban.

Inilah relevansi ber-LMND, selalu berpikir dan bertindak mengedepankan rasionalitas yang tentunya empiris. Lihatlah wacana LMND yang telah saya jelaskan di atas, “Baca, Diskusi, dan Aksi”. Wacana ini sudah terstruktur rapi menjadi bagian dari metode di LMND yang ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan.

Bagaimana LMND Mengatasi Fenomena Post-Truth?

Metode-metode yang ada di LMND, menurut saya, dapat mengatasi fenomena post-truth. Penerapannya dapat membuat kita tersadar akan keberadaan dan kenyataan-kenyataan yang terjadi di sekitar kita.

Sebagai seorang yang belajar materialisme, tentu menyadari keberadaan dan kenyataan merupakan sebuah tindakan yang benar sebagai langkah awal gerak dan tidak boleh terlewatkan. Sebab dengan tindakan inilah kita bisa memahami diri kita, peristiwa yang terjadi, dan bagaimana kita berkontribusi. Haruslah radikal memang.

Ini gambaran untuk kita mengatasi post-truth. Selain Foucault yang telah saya ulas di atas, ada beberapa pendekatan teori dari beberapa tokoh intelektual yang bisa kita baca, diskusikan, dan praktikkan atau aksi untuk mengatasi post-truth, di antaranya Teori Konstruksi Sosial Realitas oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Teori Hegemoni oleh Antonio Gramsci, Teori Kritikal oleh Max Horkheimer dan Theodor Adorno, Teori Habitus dan Medan (Field) oleh Pierre Bourdieu, serta Teori Komunikasi Publik (Public Sphere) oleh Jürgen Habermas.

Kita mulai dengan yang pertama, Teori Konstruksi Sosial Realitas. Teori ini dikembangkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, menjelaskan bahwa realitas sosial dibangun melalui proses interaksi sosial dan komunikasi. Dalam konteks post-truth, pemahaman ini bisa digunakan untuk memahami bagaimana realitas yang diterima masyarakat dapat dipengaruhi oleh narasi yang dibangun oleh media dan politisi. Untuk mengatasi post-truth, penting untuk mempromosikan media literasi dan kritis dalam menerima informasi.

Kedua, Teori Hegemoni yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci. Teori ini mengkaji bagaimana kelas dominan mempengaruhi budaya dan ideologi masyarakat untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam era post-truth, hegemoni media dan politisi bisa memanipulasi kebenaran untuk kepentingan mereka. Menyadari dan mengkritisi hegemonik ini adalah langkah awal untuk melawan misinformasi dengan membangun platfrom yang hegemonik.

Ketiga, Teori Kritikal yang dikembangkan oleh Max Horkheimer dan Theodor Adorno dari Frankfurt School. Teori ini menekankan pentingnya kritik terhadap struktur sosial dan ekonomi yang menghasilkan ketidakadilan. Teori kritikal dapat membantu mengungkap bagaimana kekuasaan dan dominasi ekonomi mempengaruhi produksi dan distribusi informasi. Menyoroti sumber informasi dan motivasi di baliknya dapat membantu masyarakat mengidentifikasi dan menolak post-truth.

Keempat, Teori Habitus dan Medan (Field) oleh Pierre Bourdieu, menjelaskan bahwa habitus (kebiasaan dan disposisi individu) dan medan (ruang sosial tempat interaksi berlangsung) membentuk persepsi dan tindakan individu. Dalam konteks post-truth, penting untuk memahami bagaimana habitus media konsumen dibentuk oleh medan informasi yang ada, dan bagaimana perubahan habitus ini dapat membantu mempromosikan penerimaan informasi yang lebih kritis dan valid.

Kelima, Teori Komunikasi Publik (Public Sphere) yang dikemukakan oleh Jürgen Habermas ini menekankan pentingnya diskusi rasional dan argumentatif dalam ruang publik untuk mencapai konsensus. Memperkuat ruang publik yang sehat dan inklusif di mana argumen berdasarkan fakta dapat didiskusikan dan diperdebatkan secara terbuka adalah kunci dalam mengatasi post-truth.

Menggabungkan pendekatan-pendekatan ini dengan upaya praktis seperti edukasi literasi media, mendorong jurnalisme yang bertanggung jawab, dan memperkuat institusi-institusi demokratis bisa menjadi langkah efektif dalam mengatasi fenomena post-truth. Hal ini harus dilandaskan pada pengetahuan yang mendahulukan etika barulah estetika.

Pengetahuan harus didasarkan pada etika sebelum estetika. Ini berarti pengetahuan harus dibangun di atas prinsip kejujuran, integritas, dan tanggung jawab sosial. Estetika, atau cara penyampaian pengetahuan, penting untuk menarik perhatian, tetapi tidak boleh mengorbankan kebenaran dan etika.

Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa menghadapi fenomena post-truth adalah tugas bersama yang memerlukan kesadaran kritis dan tindakan nyata. Dengan memanfaatkan pendekatan-pendekatan teori yang telah dijelaskan dan memperkuat literasi media serta ruang publik yang sehat, kita dapat melawan penyebaran informasi yang tidak benar dan mempromosikan nilai-nilai kejujuran serta integritas dalam setiap aspek kehidupan kita.

Mari kita berjuang bersama untuk mewujudkan masyarakat yang lebih demokratis, adil, dan berlandaskan pada pengetahuan yang sesungguhnya.

Selamat hari lahir Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi ke-25 Tahun!

“Jalan Baru Indonesia: Hilirisasi dan Industrialisasi Nasional”.

 

Wujudkan sistem pendidikan nasional yang memanusiakan manusia dan dapat diakses oleh seluruh rakyat Indonesia!

Baca, Diskusi, Aksi!

Salam Gotong Royong!

Penulis: Muh. Isnain Mukadar

(Ketua Eksekutif Wilayah Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Daerah Istimewa Yogyakarta)

Foto : Mahasiswa yang tergabung dalam LMND berfoto bersama (*sumber Radar Banten)

[post-views]