Rezim politik diciptakan untuk mengatur dan menertibkan masyarakat. Rezim yang diciptakan ini bergantung pada nilai-nilai dan tingkat keterbukaan masyarakat. Tercatat bahwa analisis filosofis mengenai rezim dilakukan di Athena untuk pertama kalinya pada 2500 tahun yang lalu. Ada dua sistem utama, oligarki dan demokrasi. Oligarki terjadi di mana segelintir elit dan orang kaya menjadi penguasa. Sedangkan demokrasi adalah orang banyak dan orang miskin menjadi penguasa. Rezim politik lainnya didirikan kemudian sebagai turunan dari dua rezim utama tersebut. Bentuk oligarki lainnya adalah kediktatoran, totalitarianisme, monarki, dst. Presidensial dan parlementer adalah contoh bentuk demokrasi.
Di Athena, kata majemuk dēmokratiā berarti rakyat (dēmos) memerintah (kratos). Namun apa yang sebenarnya dipraktikkan orang Athena adalah monarki keluarga yang diwariskan. Alih-alih hanya satu keluarga yang berkuasa, setiap warga negara dapat memerintah, namun hanya sebagian kecil saja yang menjadi warga negara. Perempuan, ‘orang asing’, dan budak jelas-jelas dikecualikan berdasarkan hukum. Dua yang terakhir ini secara eksplisit diperbolehkan untuk disiksa. Hanya anak laki-laki dari warga negara laki-laki (yang akhirnya berasal dari dua orang tua Athena) yang dapat dilamar, dan kemudian kredensial hak kesulungan mereka harus diperiksa. Jika gagal dalam pemeriksaan, dia bisa dijual sebagai budak. Itulah arti sebenarnya dari demokrasi Yunani, monarki minoritas. Rezim demokrasi semacam ini sebenarnya bukan rezim yang nyaman karena dibuat untuk orang-orang yang relatif terpelajar dan merupakan asimilasi dari banyak kesalahan serta mengandung kontroversi.
Berpartisipasi Dalam Mengatur Negara
Para pendukung demokrasi mengandalkan definisi yang menerangkan bahwa sistem demokrasi adalah lembaga yang sangat mementingkan pendapat, pemikiran, dan sudut pandang masyarakat. Secara publik, “Demokrasi adalah sistem pemerintahan di mana para pemimpin politik suatu negara dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum yang teratur, bebas, dan adil. Perwakilan terpilih di tingkat nasional dan lokal harus mendengarkan masyarakat dan tanggap terhadap kebutuhan mereka” (Democracy Education for Iraq – Nine Brief Themes, n.d.). Organisasi ini juga memberikan warga negara hak untuk mempertanyakan, bahkan menyalahkan, dan memberikan kompensasi kepada pemerintah: semua hak ini diberi judul “berpartisipasi dalam mengatur negara”.
Semua ini dilakukan berdasarkan kinerja pemerintah, keandalan administrasinya, prestasi projek pembangunan yang dicapainya dan yang tidak kalah penting adalah penerapan program pemilunya. Kritik terhadap demokrasi bisa muncul karena proses pemilu tidak memiliki landasan yang benar. Artinya, tidak logis membiarkan semua orang memilih karena tidak semua orang memiliki kearifan yang cukup untuk memilih. Demikian juga, sistem demokrasi tidak memberikan persyaratan minimum bagi seorang calon untuk dipilih. Hal ini membuka peluang bagi orang-orang bodoh untuk berkuasa yang berujung pada penyalahgunaan sumber daya ekonomi, pendidikan, SDM, dan industri/ badan usaha milik negara. Pemilih harus memiliki persyaratan untuk dapat memilih. Pemilih harus memahami siapa yang mereka pilih dan untuk alasan apa dipilih. Inilah yang tidak terjadi di negara-negara demokratis.
Fase ‘mempertanyakan dan menyalahkan’ juga banyak dikritik karena warga negara yang tidak berpendidikan tidak bisa berpikir bebas untuk mempunyai kemampuan mempertanyakan perwakilan. Mereka ini adalah pengikut dan tanggungan, tidak memanfaatkan hak-hak mereka karena omong kosong, tidak bertanggung jawab, dan kurangnya pendidikan. Oleh karena itu, masyarakat harus hidup bebas dengan pengetahuan, kebijaksanaan, budaya dan pikiran yang adil agar berhak mendapatkan kebebasan dan mampu memahami hak-hak mereka. Karena hak utama manusia adalah “memahami dan mengetahui tentang haknya”, maka pendidikan diperlukan dan diwajibkan untuk memperoleh pengetahuan dan kesadaran. Selain itu, media dalam segala bentuknya (media sosial, TV, radio, jurnal, situs politik) memainkan peran utama dalam mempertanyakan pihak berwenang dengan menekankan kesalahan yang dilakukan oleh pemimpin. Namun sayangnya, media juga ditemukan bergantung secara finansial, dengan kata lain, perwakilan merupakan sumber pendanaan bagi sebagian besar media, yang tentu saja memaksa wartawan dan analis politik untuk mengesampingkan objektivitas agar dapat hidup. Yang lebih buruk lagi, partai-partai politik memiliki media sendiri untuk meliput aktivitas mereka dan mewakili sudut pandang mereka.
Membagi dan Menaklukkan
Kondisi dunia global saat ini, contoh kasus di Timur Tengah, menunjukkan komplikasi besar akibat penerapan demokrasi yang salah.
Alih-alih sistem demokrasi memenuhi kebutuhan warganegara dan dengan segala cara mengintegrasikan seluruh tradisi dan nilai-nilai masyarakat, sistem ini diterapkan untuk melayani dan membantu negara-negara kuat untuk memperluas cakupan kekuasaan, otoritas, dan kepentingan mereka. Kemampuan itu untuk memanipulasi dan mengendalikan negara-negara yang lebih lemah. Negara-negara kuat ini mengambil keuntungan dari omong kosong orang-orang yang tidak terpelajar untuk menaklukkan mereka.
“Democracy” semacam itu sebenarnya adalah sebuah proses yang ‘membagi dan menaklukkan’ (devide and conquer) negara-negara lemah menjadi beberapa partai yang ‘menyedihkan’ bagi rakyatnya dan merupakan satu pesta besar bagi kapital.
Retensi kekuasaan dengan memanfaatkan strategi ‘membagi dan menaklukkan’ yang disengaja untuk membuat mereka yang berada di posisi bawahan terlibat dalam konflik satu sama lain yang melemahkan dan menjauhkan mereka dari upaya terpadu untuk menghapus kekuatan status quo dari kekuasaan.
Machiavelli merumuskan strategi ‘membagi dan menaklukkan’ sebagai aksioma dalam ‘Art of War”-nya di mana musuh dapat dipaksa untuk memecah kekuatan mereka atau di mana rasa saling percaya antara pemimpin lawan dan anak buahnya dapat disabotase dan dihancurkan.
Secara ekonomi di dunia korporat, itu digunakan untuk mendapatkan keuntungan dengan memicu pesaing yang lebih kecil untuk mengambil bisnis dari satu sama lain dan pada dasarnya meniadakan satu sama lain, dan membiarkan perusahaan yang lebih besar untuk bergerak menuai keuntungan yang lebih besar, sebuah cara tidak langsung seperti ikan yang lebih besar memakan ikan yang lebih kecil. Ini adalah model tata kelola Hipermall, yang menawarkan banyak merek berbeda, toko berbeda dalam mal yang sama, namun semuanya mengalir ke kantong yang sama.
Model bisnis juga menggunakannya untuk menangani proyek besar dengan memecahnya menjadi komponen yang lebih kecil dan lebih mudah dikelola. Penerapan sosiologis dari strategi ‘membagi dan menaklukkan’ melibatkan penyebab perselisihan dan konflik di antara kelompok ras/ etnis, atau memanfaatkan perbedaan kelas, agama, usia atau jenis kelamin untuk memecah dan mengurangi kekuasaan berbagai kelompok sesuai dengan klasifikasi sosiologis tersebut.
.
Setiap pertempuran di suatu negara tidak ada hubungannya dengan demokrasi yang sebenarnya. Jika pemungutan suara mengubah sesuatu, mereka tidak akan membiarkan kita melakukannya. Itu semua hanya pemasaran. Maka untuk memahami ini, jangan ikuti politik, yang hanya merupakan acara reality show di TV untuk orang-orang brengsek. Ikuti saja uangnya. Just follow the money.
Demokrasi hanyalah kampanye pemasaran terbaru yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang hidup untuk menjual kita dengan harga yang semakin buruk. Berkali-kali di abad yang suram ini, demokrasi terungkap hanya sekedar pemasaran produk yang menyebabkan kanker di bumi dan membunuh. Hal ini terungkap hanya sebagai produk beracun dan bersifat kanker yang dimasukkan ke dalam kerongkongan kita untuk meningkatkan metabolisme perusahaan.
Demokrasi hanyalah seekor Kuda Troya yang ditinggalkan oleh kolonialis sehingga mereka dapat terus mengambil barang-barang milik kita dan akan melakukan kudeta kapan pun.
Sejarawan Amerika terkenal, penulis biografi John Kennedy, orang kepercayaan dan globalis, Arthur Schlesinger Jr., pada tahun 1995 berkomentar dalam publikasi CFR Foreign Affairs, “Kami tidak akan mencapai Tata Dunia Baru tanpa membayarnya dengan darah serta kata-kata dan uang.”
Apa Solusinya
Demokrasi yang diterapkan saat ini memerlukan berbagai modifikasi karena merupakan sistem yang tidak valid. Rezim ini tidak boleh diterapkan pada masyarakat yang tidak berpendidikan. Untuk dapat menerapkan sistem ini, anak-anak harus dididik dengan patriotisme sejati dan harus diajari cara mengambil keputusan yang benar. Karena tidak adanya kondisi tersebut, maka harus dibentuk sistem baru untuk menghindari kesalahan pengambilan keputusan dan juga untuk menjamin hak setiap orang. Sebagai bukti dari komposisi yang tidak logis dari sistem ini, kita dapat menemukan kekeliruan yang berasumsi bahwa sesuatu itu benar jika mayoritas menyetujuinya. Apakah sosialisme-komunisme adalah solusi dari permasalahan ini? Ataukah para politisi harus mencari rezim baru yang kesalahannya seminimal mungkin?
– RJ. Endradjaja – Pengamat Pinggiran
Foto : Sumber Bing Image


