Peribahasa bahwa “Right or wrong is my country,” memang tampak agung dan cukup membikin sebentuk kekeliruan berkesan heroik. Setidaknya, prinsip itulah yang digaungkan pula oleh Mangkunegara IV dalam Serat Tripama. Kenapa banyak orang yang dianggap “baik” dan terkesan sangat jauh dari kekeliruan dapat memilih sebuah jalan yang banyak dianggap keliru, taruhlah Kumbakarna, Suwanda, Karna, ataupun Bhisma yang Agung, Rsi Drona, Prabu Salya, Baladewa dan Abiyasa yang konon hanya hatinya yang melakukan pemihakan?
Pada kasus Tripama kekeliruan dalam memilih jalan itu disebabkan oleh balas budi pada negara ataupun orang-orang yang dianggap ikut berjasa dalam kehidupan mereka. Jadi, pada dasarnya, dalam perspektif ini, mereka tak sedang membela sebuah kekeliruan, namun tengah membela—ketika bertautan dengan kebaikan yang bersifat personal—sebuah kebaikan.
Sangat menarik ketika mengaitkan ide-ide besar semacam kekeliruan, keburukan maupun kebaikan pada konteks di atas. Ide-ide besar itu seolah bukanlah ide-ide yang berlangsung di masa kekinian, di sini dan kini. Sebagai ide-ide yang besar, ide-ide itu ternyata hanya bertautan dengan masa silam dan masa mendatang. Bukankah banyak para orang yang dianggap mulia, ketika berbusa-busa akan memulai sesuatu, orang-orang yang dianggap sebagai para pejuang, senantiasa meletakkan ide-ide besar semacam itu sebagai latar-belakang (untuk memotivasi) sekaligus latar-depan (untuk menjadi acuan)?
Di sinilah sangat tampak bahwa Serat Tripama mengaitkan ide-ide besar semacam itu pada kondisi “kecil”-nya atau kekiniannya: derajat, pangkat, keramat, dan semat. Kebaikan dan kekeliruan atau keburukan menjadi tampak kongkrit. Pada kasus Karna, misalnya, kebaikan itu adalah ketika ia yang bukan siapa-siapa dapat menjadi seseorang di tangan Duryudana yang secara moral dianggap bobrok. Atau, untuk mengacu pada tokoh-tokoh lain, Rsi Drona yang dapat menjadi tampak berharga, suci, sakti, tempat tinggal yang layak (Sokalima), dan pangan yang cukup serta masa depan anak tunggalnya, di tangan para Kurawa yang dikenal busuk secara “etis.”
Di sinilah kemudian sangat tampak pula bahwa istilah “etika” ataupun “etis” adalah istilah yang mengacu pada perkara bagaimana orang itu hidup. Dan, atas Serat Tripama, kejeniusan Mangkunegara IV, sang adipati sekaligus pujangga Jawa itu, dapat terbuktikan dengan telaahnya atas problem “etis” yang jauh dari bayangan kita: derajat, pangkat, keramat, dan semat.
Dengan demikian, kenapa para orang-orang besar seperti Rsi Drona, Bhisma, Karna, Kumbakarna, dsb., dapat memilih “jalan keliru” adalah karena banyak orang yang masih terjebak pada istilah dan problem “etis” yang seakan jauh dari problem yang kecil-kecil namun mendasar: derajat, pangkat, keramat, dan semat. Hal ini persis sebagaimana yang dialami oleh sang pengarang Serat Tripama, Mangkunegara IV, ketika eksistensinya sebagai adipati sekaligus seorang pemimpin Legiun Mangkunegaran yang didanai oleh Belanda terpaksa melawan “saudara” sendiri: pemberontakan Pangeran Dipanegara.
Oleh : Heru Harjo Hutomo
Gambar : pinterest.com/kevinmastika


