Beberapa waktu lalu, dalam forum Seminar Nasional Kebangsaan bersama seribu Guru Besar, Rektor dan Cendekiawan se-Indonesia, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto menyatakan bahwa kesejahteraan saat ini hanya dinikmati oleh minoritas, sementara mayoritas rakyat bawah hanya mendapatkan tetesan kesejahteraan dari atas.
Ia menyebut, keadaan itu adalah implementasi dari konsep trickledown economics, produk asli sistem ekonomi kapitalisme neoliberal, yang memercayai dengan tingginya penghasilan orang kaya, maka akan menetes ke bawah dan menguntungkan seluruh lapisan. Namun, kritik dia, belum sempat tetesan itu sampai ke bawah, kita semua sudah mati. Oleh sebab itu, Ia menginginkan sistem ekonomi itu tidak dipelihara di Indonesia karena hanya akan menciptakan kesenjangan dan ketidakadilan.
Selain itu, Prabowo juga mengatakan bahwa ada kekuatan lain yang berusaha menguasai dan mengganggu kedaulatan Indonesia dengan politik pecah belah atau adu domba. Mereka menginginkan adanya kekacauan dan instabilitas lalu mencoba menjadi pahlawan di siang bolong. Selanjutnya, dengan segala instrumennya, mempertahankan agar paham trickledown economics terus diberlakukan di Indonesia.
Prabowo berharap jiwa persatuan tumbuh di hati masyarakat Indonesia; menciptakan kehendak untuk tidak mau dipecah-belah dan kehendak untuk tidak mau kekayaan kita diambil terus-menerus serta kehendak untuk tidak mau rakyat berada dalam keadaan lapar dan miskin.
Belajar dari Pangeran Diponegoro
Spirit perlawanan Prabowo terhadap kapitalisme neoliberal dan intervensi bangsa asing terhadap kedaulatan Indonesia ini mengingatkan kita pada kisah perlawanan Raden Mas Antawirya atau Pangeran Diponegoro terhadap Belanda dalam Perang Jawa yang berlangsung antara tahun 1825 sampai 1830 lalu.
Salah satu penyebab lahirnya perlawanan Pangeran Diponegoro dilatarbelakangi oleh ketidaksenangannya terhadap perilaku Belanda yang mencampuri urusan Kerajaan Yogyakarta saat keadaan tidak stabil. Saat itu, keraton dipimpin oleh Sultan Hamengkubowo IV, adik RM Antawirya yang masih berusia 10 tahun. Pangeran Diponegoro adalah anak pertama dari Sultan Hamengkubowo III dari seorang selir. Meski diminta oleh ayahnya untuk melanjutkan kepemimpinan, Ia lebih memilih keluar keraton meninggalkan keningratannya dan hidup bersama neneknya di Tegalrejo.
Lantaran masih belum dewasa, dalam menjalankan kekuasaan, Sultan HB IV didampingi oleh wali raja bernama Pangeran Notokusumo atau Paku Alam I. Hanya saja, menjelang penyerahan kekuasaan Inggris ke Belanda pada tahun 1816, Ibunda Sultan atau Ratu Ibu dan Patih Danurejo IV yang justru menjalankan kewenangan sebagai wali raja.
Kedekatan Pangeran Diponegoro mulai renggang dengan keraton saat Patih Danurejo IV semakin menegaskan pengaruhnya dalam kerajaan. Kendali kebijakan berada di tangan Ratu Ibu dan Patih Danurejo IV yang berkolaborasi dengan Belanda. RM Antawirya tidak menyetujui kebijakan terkait sistem sewa tanah untuk swasta karena praktik itu mengakibatkan kesengsaraan bagi rakyat. Saat itu, para pengusaha Eropa menjalankan usaha perkebunan kopi dan nila yang sangat besar.
Selain itu, akibat pengaruh Belanda, keraton juga menerapkan kebijakan pajak yang justru menambah penderitaan dan kesengsaraan rakyat. Intervensi tersebut dianggap sebagai ancaman bagi kedaulatan kerajaan. Ditambah lagi, kekuasaan raja-raja di Yogyakarta semakin sempit karena Belanda telah menguasai daerah pantai utara Jawa Tengah.
Pangeran Diponegoro juga turut merasakan kecemasan kalangan Ulama karena masuknya budaya Barat yang akan berpotensi merusak nilai-nilai tradisional. Di sisi lain, kaum bangsawan dirugikan karena sebagian besar sumber penghasilan mereka direbut dan dikuasai oleh Belanda.
Pada akhirnya, 20 Juli 1825, Pangeran Diponegoro dan pengikutnya memutuskan untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan menerapkan strategi gerilya. Strategi ini dilakukan karena pasukan Belanda lebih unggul dalam jumlah prajurit dan persenjataan. Perlawanan dan pertempuran berlangsung selama lima tahun. Korban diperkirakan mencapai 200 ribu jiwa yang merupakan pengikut Pangeran Diponegoro dan 15 ribu pasukan Belanda yang terdiri dari 7000 orang pribumi dan 8000 prajurit Belanda. Pertempuran ini menjadi salah satu perang terbesar dan melelahkan bagi Belanda karena menghabiskan banyak sumber daya, baik pasukan maupun pendanaan. Bahkan, pemerintah kolonial sempat mengalami krisis keuangan akibat pertempuran tersebut.
Pelajaran untuk Prabowo
Jika dilihat dari konfigurasinya, pengikut dan pasukan Pangeran Diponegoro diisi oleh msyarakat dari pelbagai kalangan, baik dari kalangan abangan (rakyat biasa), santri (ulama dan muridnya) maupun priyayi (bangsawan). Mereka bersatu dalam sebuah perlawanan terhadap musuh bersama, kolonialisme Belanda. Abangan karena beban pajak yang menyengsarakan, santri karena kecemasan terhadap masuknya budaya barat dan priyayi yang merasa dirugikan karena sumber penghasilan direbut. Dan, konfigurasi itu masih bertahan hingga saat ini: abangan, santri dan priyayi.
Situasi yang dihadapi Bangsa Indonesia saat ini pun tak banyak berbeda dengan kondisi rakyat saat itu. Rakyat masih dihadapkan pada pajak yang besar dan menjerat, konflik agraria yang melibatkan rakyat, pemerintah dan pengusaha masih terus terjadi serta martabat kebangsaan yang mulai dirongrong oleh kepentingan bangsa lain.
Dalam situasi saat ini, khususnya menjelang kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, banyak sekali pelajaran yang bisa diambil Prabowo dari kisah pertempuran Pangeran Diponegoro tersebut.
Pertama, Prabowo harus meninggalkan ‘keningratannya’ dan memilih jalan kerakyatan. Mungkin hampir sebagian rakyat sudah mafhum bahwa Prabowo Subianto adalah anak dari Begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo yang memiliki keturunan ningrat dari Sultan Agung ke Raden Adipati Mangkuprojo, Raden Tumenggung Indrajik Kartonegoro, Raden Tumenggung Kertanegara atau Banyak Wide (salah satu panglima perang Pangeran Diponegoro saat melawan Belanda), dan Raden Kartoatmojo yang merupakan keturunan ke-8 dari Trah Sultan Agung Mataram dan Kesultanan Yogyakarta Sultan Hamengkubowono I.
Raden Kartoatmojo selanjutnya menikah dengan RA Djojoatmojo, bangsawan Kesultanan Yogyakarta keturunan ke-4 dari Sultan Hamengkubowo I. Hasil pernikahan itu berlanjut ke keturunan Raden Tumenggung Mangkuprojo dan berikutnya Raden Mas Margono Djojohadikusumo, mantan Presiden Direktur Bank Nasional Indonesia (BNI) kakek Prabowo.
Kedua, Prabowo harus menempatkan penjajahan dalam bentuk apapun sebagai musuh bersama. Hal ini berkelindan dengan muatan pidatonya yang menyebut bahwa ada kekuatan lain yang berusaha memecah-belah Bangsa Indonesia agar mereka dapat semakin menancapkan pengaruhnya.
Ketiga, Prabowo harus mampu menyatukan seluruh komponen masyarakat Indonesia yang sejak lahirnya sudah memiliki heterogenitas tinggi untuk mewujudkan cita-cita bersama, masyarakat adil makmur tanpa penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa.
Keempat, Prabowo harus mampu meneruskan cita-cita besar Pangeran Diponegoro yang ingin membangun jatidiri bangsa berdaulat, mewujudkan keadilan—kekuasaan tidak boleh mengeksploitasi rakyat—serta kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Terakhir, kata kunci supaya pembangunan terus berkelanjutan dan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan di masa lalu, kepada seluruh komponen bangsa, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, JASMERAH.
Agus Jabo Priyono
Ketua Umum PRIMA
Foto: Savic Rabos, DI: Raga VOI


