Di Balik Terbitnya Sertifikat Tanah Eks Pasar Tuminting, Ada Mafia Tanah serta Penyidik Polda Sulawesi Utara Ikut bermain!

Sulawesi Utara, Berdikari Online, Tanah tersebut awalnya di bawah kelola Belanda namun pada tahun 1950 Pengadilan Negeri Manado menetapkan bahwa tanah tersebut menjadi kepemilikan dari Ibu Karlina Manamuri yakni pemberian dari tuan Gaafar Voges seluas 2 hektar, berdasarkan akta no 17 yang berbatasan sebagai berikut : Utara dengan saluran air, Timur dengan Desa Abuthan, Selatan dengan Herson Mohede, Barat dengan Bolosan Tamara.

Adapun surat-surat asli terkait surat wasiat dari tuan Gaafar Van Voges ke Ibu Karlina Manamuri dibakar habis oleh rezim di tahun 1960-an karena Pak Takasana merupakan Kamerad PKI SULUT. Namun pihak keluarga Takasana mencari surat ketetapan pengadilan dan melegalisir surat tersebut.

Pada tahun 1984, tanah tersebut dihibahkan oleh Ibu Karlina Manamuri terhadap Bapak Takasana dengan Akta Wasiat No.12 tertanggal 02 November 1984 dibuat oleh A.J Tumonggor,S.H sebagai Notaris dan PPAT Kota Manado.

Di tahun 2002, pihak Pemerintah Kota Manado membeli sebidang Tanah kepada pihak keluarga guna membangun puskesmas. Adapun posisi tanah tersebut masih satu hamparan dengan tanah yang bersengketa saat ini.

Di tahun 2009, pada tanggal 27 Oktober, pihak keluarga membuat surat keterangan kepemilikan dari Pemerintah Kota Manado, Kecamatan Tuminting, Kelurahan Tuminting adapun Nomor surat…… dengan dasar :
1.Akta wasiat No 12 tertanggal 2 November 1984 dibuat oleh A.J Tumonggor, S.H sebagai Notaris dan PPAT Kota Manado.

  1. Putusan penetapan Perdata Pengadilan Negeri Tomohon No 60 Tanggal 10 Februari 1950 mempunyai kekuatan Hukum.
  2. Surat penetapan Perdata Pengadilan Negeri Tomohon No.100 tanggal 10 Februari 1950 Mempunyai kekuatan Hukum.
  3. Surat Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Manado Tanggal 14 Februari pada tanggal 1994 Perihal pembatalan hak milik atas tanah nomor 102, 26 dan 53 Tuminting Kecamatan Molas Kotamadya Manado.

Batas-batas : Utara dengan Saluran Air, Timur dengan Desa Abuthan, Selatan dengan Herson Mohede, Barat dengan Bolosan Tamara.

Namun saat ini, pihak keluarga Takasana dilaporkan ke Polda Sulawesi-Utara dengan bentuk laporan “Penyerobotan Tanah” sedang Tanah yang bersertifikat tersebut masih dalam satu hamparan seperti penjelasan di atas.

Sertifikat yang diterbitkan jelas simpang siur sebab tidak pernah berhubungan dengan pihak keluarga Takasana, bahkan tiada Akta Jual Beli dengan pihak keluarga. Terlebih surat putusan Pengadilan yang menjadi dasar pihak keluarga Takasana tidak pernah digugat kembali oleh pihak penggugat yang memiliki sertifikat saat ini.

Laporan yang dibuat oleh pihak pelapor dengan dasar sertifikat diterima oleh kepolisian Sulawesi Utara dan berlanjut hingga tahap penyidikan dengan menetapkan pihak keluarga Takasana sebagai tersangka.

Pihak keluarga Takasana merasa bingung dengan putusan penetapan tersangka yang dibuat oleh Polda Sulawesi-Utara. Pasalnya hal tersebut jika ditelisik kasusnya adalah perdata sehingga jalur yang lebih tepat harusnya adalah pengadilan.

Boy Takasana yang sering disapa Boy juga menjadi tersangka menyampaikan: “Menurut saya, ada yang tidak beres. Sertifikat yang bisa terbit seperti demikian perlu di telusuri. Saya yakin ada Mafia Tanah yang bermain”.

Pihak keluarga Boy Takasana juga menunjukkan bukti chat salah satu oknum polisi selaku penyidik yang menyampaikan kepada seorang pembeli tanah, bahwa surat yang dipegang oleh Pak Boy adalah palsu atau dibuat-buat.

Boy Takasana menyampaikan bahwa pernyataan tersebut merupakan bentuk pelecehan terhadap lembaga negara dalam hal ini Pengadilan Negeri Manado.

“Dalam waktu dekat saya akan ke Jakarta untuk membawa hal ini hingga ke Nasional. Saya berusaha untuk bisa bertemu Kapolri serta Kemenkopolhukam guna meminta keadilan,” tutur Boy kembali

Alpianus Tempongbuka, selaku Ketua Wilayah Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Eksekutif Wilayah Sulawesi Utara ikut mendampingi pihak keluarga bahkan pernah menyurat ke Kapolda Sulawesi Utara guna diadakan Audiensi. Surat tersebut dimasukkan secara bersama-sama dengan pihak keluarga. Namun surat tersebut tak mendapat respon hingga saat ini.

Berdasarkan keterangan serta rekaman maupun bukti via wa yang diberikan oleh pihak keluarga Takasana, Alpianus merasa ada yang menyimpang; artinya surat-surat yang dipegang oleh pihak kelurga harusnya menjadi dasar yang kuat bahwa keluarga Takasana tidak bisa ditetapkan sebagai tersangka. Namun pihak penyidik menyampaikan bahwa surat ketetapan yang dipegang oleh pihak keluarga sifatnya tidak pasti. Hal ini menurut Alpianus adalah pernyataan yang cukup ganjil. Terlebih kasus tersebut sudah berjalan cukup lama namun belum ada kepastian Hukum. Sesuai Regulasi yang ada bahwa kasus Ringan selama 30 hari, sedang 60 hari dan sulit 90 hari.

Kasus tersebut sudah bergulir sejak November 2022. Di bulan Februari tahun 2023, perkara masuk di tahap penyidikan namun hingga dengan saat ini perkara tersebut belum memiliki titik terang. Alpianus menilai bahwa pihak penyidik Polda keliru dalam menetapkan tersangka pasalnya keluarga Takasana memiliki dokumen-dokumen yang lengkap.

“Kami akan terus melakukan pendampingan kepada pihak Keluarga Takasana. Dalam waktu dekat, saya dan pihak Keluarga Takasana akan ke Jakarta guna menyampaikan persoalan ini ke Kepala Kepolisian Republik Indonesia,” pungkas Alpianus. (Alvian)

[post-views]