Tahun 1952, saat peringatan HUT ke-7 kemerdekaan Republik Indonesia, Sukarno mewanti-wanti perihal sebuah krisis yang sangat berbahaya: krisis gezag.
Krisis gezag menyerang wibawa negara. Krisis ini melucuti wibawa penyelenggara negara dan aparaturnya. Boleh dikatakan, krisis gezag adalah krisis legitimasi pada penyelenggaraan negara.
Bayang-bayang krisis gezag ini terpotret oleh jajak pendapat Kompas yang dirilis pada awal Agustus lalu. Hampir separuh responden (49,5 persen) menganggap pejabat publik belum menjalankan tugas dan fungsinya dengan amanah.
Lebih lanjut, menurut jajak pendapat itu, ada 65,9 persen responden menilai pejabat publik belum bisa menjadi teladan masyarakat. Bahkan ada 70,9 persen responden yang menganggap pejabat publik belum bertanggung-jawab dalam penggunaan uang rakyat.
Ada banyak temuan lembaga survei lain yang menunjukkan gejala serupa. Malahan, lembaga yang dulu punya integritas dan dihormati oleh publik, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kini sedang terpuruk.
Survei Indikator Politik Indonesia pada Mei 2022 menunjukkan, tingkat kepercayaan publik pada KPK hanya 59,8 persen, merupakan yang terendah sepanjang sejarah berdirinya lembaga anti-rasuah itu.
Tingkat kepercayaan terhadap DPR lebih rendah lagi. Boleh jadi, lomba tersulit di negeri ini, kalau ada yang menyelenggarakan, adalah menyebutkan anggota DPR yang punya integritas. Data ICW menunjukkan, ada 586 anggota DPR/D yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi sepanjang tahun 2010-2019.
Survei Transparency International Indonesia (TII) pada 2020 lalu menyebut DPR sebagai institusi publik paling korup di Indonesia[1]. Dan ada banyak bertebaran hasil survei dari lembaga lain yang menunjukkan trend yang serupa.
Sudah dua bulan lebih, rakyat Negeri ini bahu-membahu sebagai detektif massal untuk menyingkap selubung misteri pembunuhan seorang polisi berpangkat rendah oleh seorang Jenderal bintang dua. Sang Jenderal, yang punya pengaruh kuat dan jejaring luas di institusinya, berusaha menutupi kasus ini dan menyebarluaskan narasi palsu.
Namun, rakyat tak mau memakan mentah-mentah suguhan narasi versi Polisi itu. Mereka meragukannya. Ibarat permainan puzzle, rakyat dengan sabar menyatukan serpihan fakta-fakta, sehingga pelan-pelan bisa menyingkap misterinya.
Tahun lalu, ada tagar #PercumaLaporPolisi yang viral selama berbulan-bulan. Tagar itu merupakan reaksi publik atas keputusan Polisi mengabaikan pelaporan seorang ibu atas kekerasan seksual yang menimpa 3 anaknya. Momentum itu bertemu dengan bertumpuk-tumpuk pengalaman orang Indonesia yang pernah dikecewakan oleh kinerja Kepolisian.
Aksi main hakim sendiri merupakan wajah lain dari krisis gezag: ketidakpercayaan terhadap penegak hukum dan institusinya. Bahkan, aksi main hakim sendiri tak hanya dilakukan oleh rakyat biasa, tetapi juga oleh aparat berseragam.
Inkonsistensi pernyataan Presiden, yang kadang berbeda antara ucapan dengan tindakan, juga tak luput dari kritik satire netizen. Sampai-sampai ada sindiran: “Dengarkan apa yang dikatakan Jokowi, lalu lihat sebaliknya.”
Sudah menjadi kebiasaan di Negeri ini, kalau ada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), maka kesalahan akan ditimpakan pada makhluk berlabel “oknum”. Sehingga solusinya: si oknum dikeluarkan dari institusi, tetapi institusinya tidak dipersoalkan.
Maka benar, seperti dikatakan Seno Gumira Ajidarma, penggunaan istilah oknum hanyalah upaya membiaskan persoalan institusional dan struktural menjadi personal.
Mungkin ada banyak penjelasan tentang penyebab krisis gezag ini. Saya sendiri mengajukan dua penjelasan yang penting.
Pertama, penyelenggaraan Negara dibajak oleh segelintir elit. Pada masa Orde Baru, segelintir elit ini adalah penguasa Orba dan kroninya. Sekarang, segelintir elit ini adalah oligarki.
Pembajakan Negara oleh segelintir elit ini menggiring kita pada konsep “state capture”. Negara dan aparatusnya dibajak oleh oligarki dan dipergunakan untuk melayani kepentingannya: mengakumulasi kekayaan.
Mereka membuat UU sesuai dengan kepentingannya, seperti tercermin dalam revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, UU Ibu Kota Negara, UU Minerba, dan lain-lain.
Mereka juga yang mengontrol aturan main pemilu. Mereka mempersempit ruang partisipasi elektoral dengan persyaratan dan rezim ambang batas. Mereka juga yang mengatur siapa saja yang boleh menjadi Calon Presiden dan Wakil Presiden
Mereka yang mengubah lembaga negara beserta aparatusnya tak lebih dari, meminjam istilah Karl Marx, “sebuah komite eksekutif atau panitia untuk mengatur urusan-urusan bersama dari seluruh borjuasi.” Mereka menjadikan legislatif, eksekutif, dan yudikatif tak lebih dari komite eksekutif untuk mengatur urusan oligarki. Lalu aparat keamanannya jadi centeng oligarki.
Kedua, kekuatan rakyat biasa tidak sanggup mengimbangi dominasi elit oligarki. Sementara elit oligarki bisa dipersatukan oleh kepentingan, kekuatan rakyat biasa justru terfragmentasi. Tidak ada agenda politik bersama yang bisa mempersatukan rakyat biasa.
Dalam arena elektoral, yang muaranya untuk mempengaruhi keputusan politik yang strategis, tidak ada partai politik yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat biasa. Hampir semua parpol besar dikendalikan oleh oligarki.
Padahal, seperti dikatakan Olle Tornquist, pakar ilmu politik dari Universitas Oslo yang banyak mengulas situasi politik Indonesia, tanpa sebuah partai elektoral yang dibangun oleh organisasi massa demokratis dan kaum pro-demokrasi, maka sangat sulit untuk mematahkan dominasi elit dalam perpolitikan Indonesia.
Tanpa sebuah artikulasi politik yang konkret, suara protes rakyat biasa tak ubahnya bunyi knalpot dari truk yang lewat di jalan raya. Bising dan mengganggu mungkin. Tetapi tak cukup mengancam dominasi oligarki.
RUDI HARTONO, bisa dihubungi lewat akun twitter: @rhmardika
[1] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201204075231-32-577831/survei-tii-dpr-lembaga-paling-korup

