Pada awal abad ke-20, fajar baru menyinari wilayah-wilayah Hindia-Belanda yang selama ratusan tahun terperintah. Fajar baru itu adalah nasionalisme.
Menariknya, nasionalisme itu tidak terjahit dari faktor kesamaan etnis maupun agama, melainkan oleh kesamaan nasib dan cita-cita.
Kesamaan nasib terbentuk oleh pengalaman panjang yang merentang dari era perdagangan dan kerjasama lintas pulau (dwipantara dan nusantara) hingga pengalaman perih-pedih di bawah kolonialisme Belanda. Tidak mengherankan, apa yang kita sebut Indonesia sekarang adalah semua daerah bekas jajahan Belanda.
Sedangkan kesamaan cita-cita lahir dari keinginan bersama mendirikan sebuah negeri yang inklusif, yang mengakui kesetaraan semua warga negara, yang bersatu, adil dan makmur.
Hari-hari ini, kita berhadap-hadapan dengan kenyataan pahit: Indonesia merupakan salah satu negara paling timpang di dunia. Pada 2019, negeri kita tercinta merupakan negara tertimpang ke-6 di dunia (Credit Suisse).
Merujuk pada resmi (TNP2K, 2019), 1 persen terkaya di Indonesia menguasai 50 persen kekayaan nasional. Kalau angkanya sedikit diperbesar, maka 10 persen terkaya menguasai 70 persen kekayaan.
Ketimpangan kekayaan bukan sekadar persoalan ekonomi. Bukan hanya merenggangkan tatanan sosial dan membuat segelintir orang berjarak jauh dengan kebanyakan orang lainnya.
Dalam konteks berbangsa, ketimpangan berpotensi merenggangkan ikatan kebangsaan. Pengalaman dan nasib segelintir warga negara bisa berjarak sangat jauh dengan mayoritas lainnya.
Satu bangsa dengan kapal nasib yang berbeda. Yang satu, kapal pesiar dengan penumpang sedikit, tetapi fasilitasnya sangat lengkap dan mewah. Yang satu lagi, kapal dengan penumpang yang penuh sesak dan fasilitas yang tidak memadai. Pada kapal pesiar, penumpangnya hanya mengenal pesta dan bertamasya. Sementara pada kapal yang satu lagi, penumpangnya berjuang untuk selamat (survive).
Bahkan, bercermin pada pergolakan sosial di sepanjang 2018 dan 2019, isu ketimpangan sosial cukup sering menjadi pemantik gejolak politik, dari bangkitnya fasisme atau meledaknya revolusi sosial[1].
Baca di sini: Dunia Sedang Bergolak, Ini 23 Negara yang Diguncang Demonstrasi
Lebih dari jauh, ketidaksetaraan juga merembek pada persoalan politik. Kekayaan menciptakan kuasa. Konsentrasi kekayaan yang ekstrem di tangan segelintir orang akan menciptakan penumpukan kekuasaan yang ekstrem di tangan segelintir orang (Saez dan Guzman, 2020). Ketidaksetaraan material yang ekstrim akan melahirkan ketidaksetaraan politik yang ekstrem (Winters, 2014).
Kekuasaan ekstrem di tangan segelintir kaum kaya ini bisa digunakan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah, memenangkan persaingan, bahkan membuat sebuah gagasan/ideologi menjadi hegemonik (Saez dan Guzman, 2020).
Ketidaksetaraan ekonomi melahirkan ketidaksetaraan dalam lapangan politik. Dalam banyak kasus, suara si kaya raya tidak sama dengan suara rakyat kebanyakan. Sebab, si kaya bisa menggaungkan suaranya lebih besar dengan membeli politisi, partai, media massa, dan lain-lain. Tentu saja, ini bertentangan prinsip dasar demokrasi: satu orang, satu suara (one man, one vote).
Pada kasus Amerika Serikat, studi Levin-Waldman (2013) menemukan korelasi antara tingkat pendapatan dengan partisipasi politik warga negara[2]. Dia membandingkan mereka yang berpendapatan US$ 100.000 per tahun dengan di bawah US$ 30.000 per tahun. Hasilnya, mereka yang berpendapatan tinggi lebih otonomi individu dan peluang lebih aktif berpartisipasi dalam politik[3].
Prasyarat manusia berpolitik, yaitu merdeka berpikir, bersikap, dan memilih, sulit dipenuhi oleh kelompok sosial yang berada di bawah piramida terbawah ketimpangan sosial. Yang kerap terjadi, kemiskinan bisa membuat seseorang menjual suaranya pada politisi kaya.
Ketimpangan juga mendistorsi tatanan hukum, sehingga tidak terjadi persamaan warga negara di hadapan hukum. Mereka yang berduit, apalagi kaya-raya, bisa membeli hukum. Sementara si miskin sangat rentan menjadi korban dari hukum yang tak adil.
Singkat cerita, kalau mau menguatkan kembali ikatan kebangsaan, mau menebalkan sentiment of belonging, mau mengembalikan nation Indonesia sebagai “proyek bersama”, maka persoalan ketimpangan ini harus diatasi.
Indonesia yang kokoh, yang bersatu-padu, hanya mungkin kalau diletakkan di atas kesetaraan hak semua warga negara dan keadilan sosial.
Kita harus bangkit dari ketimpangan ini, agar cita-cita nasionalisme Indonesia, yaitu masyarakat adil dan makmur, bisa terwujud.
MAHESA DANU
[1] https://www.berdikarionline.com/dunia-sedang-bergolak-inilah-23-negara-yang-tengah-diguncang-demonstrasi/
[2] Ada enam kategori partisipasi politik dalam ukuran Levin-Waldman: (1) terlibat dalam diskusi harian soal politik, (2) membaca surat kabar setiap hari, (3) terlibat dalam protes (petisi, aksi, dll), (4) menghadiri pertemuan politik, (5) bertemu pejabat publik, dan (6) terlibat dalam organisasi masyarakat sipil.
[3] Levin-Waldman, Oren M. 2013.Income, Civic Participation and Achieving Greater Democracy. Journal of Socio-Economics. 43,2:83-92.


