Pemilu Filipina: Kembalinya Dinasti Marcos

Filipina pernah merasakan masa kelam. Selama dua dekade, tepatnya dari 1965 hingga 1986, negeri kepulauan yang terletak di lingkar pasifik barat ini diperintah oleh diktator Ferdinand Marcos.

Marcos berkuasa dengan tangan besi. Selama hampir satu dekade (1972-1981), dia memberlakukan hukum darurat militer yang berdarah-darah. Menurut catatan Amnesti Internasional, ada 70.000 orang dipenjara, 34.000 disiksa dengan kejam, dan 3.200 orang dibunuh[1].

Tak hanya bertangan besi, rezim Marcos juga korup. Selama berkuasa, Marcos dan istrinya, Imelda Marcos, dituduh mencuri ₱500 miliar atau US$10 miliar uang negara Filipina. Pada 2004, Transparency International menempatkan Marcos sebagai diktator terkorup nomor dua di dunia setelah Soeharto[2].

Pada 25 Februari 1986, kemarahan rakyat Filipina yang sudah memuncak memicu “people power” atau sering disebut “Revolusi EDSA”. Rezim Marcos pun terguling. Marcos dan keluarganya melarikan diri ke Hawaii, Amerika Serikat.

Marcos meninggal di Hawaii pada 1989. Jenazahnya ditolak pulang oleh mayoritas rakyat Filipina. Baru pada 2016, setelah Duterte berkuasa, jenazah Marcos bisa pulang dan dimakamkan di Filipina.

Namun, pada pemilu hari Senin, 9 Mei lalu, sejarah Filipina seakan berbalik arah. Setelah 36 tahun tersingkir dari politik oleh sebuah people power, dinasti Marcos bisa kembali ke tampuk kekuasaan.

Ferdinand ”Bongbong” Marcos Jr, anaknya diktator Ferdinand Marcos, berhasil memenangi Pemilu dengan raihan suara yang sangat signifikan. Dari 98,30 persen suara yang dihitung, Bongbong meraih 31 juta suara atau 58,74 persen. Suaranya terpaut jauh dengan pesaingnya, Leni Robredo, yang hanya mendapat 14,8 juta suara atau 27,9 persen[3].

Posisi ketiga diraih oleh mantan petinju, Manny Pacquiao, dengan 3,6 juta suara (6,8 persen). Sementara kandidat yang diusung oleh kiri, Leody de Guzman, yang maju di bawah payung Partido Lakas ng Masa (PLM), hanya mendapat 92 ribu suara (0,17 persen).

Apa yang membuat sebuah dinasti yang punya rekam jejak sangat kelam, dengan berlapis-lapis kejahatan HAM dan korupsinya, bisa berkuasa kembali? Apa yang salah dengan jalan demokrasi yang ditempuh oleh Filipina selama 3 dekade terakhir?

Kegagalan Demokrasi Liberal

Setelah rezim Marcos tumbang, Filipina mulai menapaki jalan demokrasi. Setahun setelah revolusi, di bawah pemerintahan  Corazon Aquino, Filipina memiliki konstitusi baru: Konstitusi 1987.

Selain mengembalikan demokrasi (pemilu bebas dan jaminan hak-hak politik), konstitusi 1987 juga menjanjikan penegakan HAM, kesetaraan di depan hukum, dan keadilan sosial.

Demi mengakomodir suara-suara rakyat jelata yang selama Marcos tak didengarkan, konstitusi 1987 mengadopsi konsep “party list system”, yang mengharuskan 20 persen kursi dewan perwakilan diisi oleh party list, seperti buruh, petani, masyarakat adat, perempuan, kaum miskin kota, dan kelompok marginal lainnya.

Sayang sekali, seperti diungkap Walden Bello, intelektual progresif veteran revolusi EDSA, revolusi EDSA hanya penataan ulang persaingan politik antar faksi-faksi elit anti-Marcos, sembari mencegah perubahan sosial dan ekonomi yang mendasar[4].

Revolusi tak menyentuh persoalan ekonomi, seperti penguasaan segelintir sumber daya dan kekayaan oleh segelintir elit/dinasti. Akibatnya, kendati Konstitusi 1978 hendak membuka ruang partisipasi, tetapi kontestasi politik hanya bisa disentuh oleh para elit. Sehingga terjadilah apa yang disebut Bello sebagai “elite capture of democratic processes”.

Kemudian, sekalipun revolusi mengembalikan sistem multi-partai di Filipina, tetapi kebanyakan partai tak lebih dari kendaraan politik elit atau dinasti tertentu. Dari data Komisi Pemilu Filipina (Comelec), ada 49 partai nasional yang terdaftar, 23 partai regional, dan 102 partai lokal. Kemudian ada 270 partai atau organisasi yang masuk kategori “party list”[5].

Tipologi partai di Filipina digambarkan oleh sosiolog Randolph David, seperti dikutip oleh Joel Rocamora dalam artikel Formal Democracy and its Alternatives in the Philippines, “tidak lebih sebagai alat yang digunakan elit dalam sistem kontestasi politik yang personalistik. Mereka menonjolkan bintang politik ketimbang ideologi. Mereka memelihara jaringan dan pendukung lewat ketergantungan pada uang, pekerjaan, bantuan, dan akses politik, ketimbang anggota partai yang setia pada prinsip-prinsip partai[6].”

Situasi itu yang meruntuhkan kepercayaan rakyat Filipina pada demokrasi dan partai politik. Survei Pew Research Centre pada 2017 menyebutkan, hanya 15 persen warga Filipina yang berkomitmen penuh pada demokrasi liberal, sementara 80 persen menyatakan terbuka pada pemimpin yang berpotensi otoriter.

Selama 36 tahun demokrasi liberal, rakyat Filipina menyaksikan ada belasan kali upaya kudeta, puluhan kasus korupsi pejabat tinggi, tiga kali upaya pemakzulan, dan satu kali penggulingan Presiden (penggulingan Joseph Estrada, sering disebut revolusi EDSA II).

Sementara kehidupan politik tidak stabil, demokrasi liberal juga gagal memenuhi janji revolusi EDSA untuk menghadirkan kemakmuran dan keadilan sosial.

Pada titik itulah, banyak warga Filipina yang merindukan datangnya “orang kuat” (strongman). Situasi itulah yang memungkinkan Rodrigo Duterte tampil dengan retorika anti demokrasi liberalnya.

Bencana Neoliberalisme

Perlu diingat, revolusi EDSA muncul pada saat neoliberalisme mulai naik daun sebagai sebuah ideologi dan globalisasi sebagai jalan untuk mempraktekkannya di seluruh pelosok dunia.

Seperti dicatat Bello, revolusi EDSA menjadi kelinci percobaan untuk penerapan kebijakan penyesuaian struktural oleh Bank Dunia. Di bawah Aquino, Presiden pertama pasca revolusi EDSA, pembayaran utang menjadi prioritas politik anggaran sesuai saran IMF dan Washington. Akibatnya, 20-45 persen belanja tahunan pemerintah hanya dipakai untuk membayar utang, yang melumpuhkan kapasitas pemerintah untuk berinvestasi atau merangsang pertumbuhan ekonomi maupun menyediakan pelayanan sosial.

Semakin menjadi-jadi setelah Fidel Ramos, yang berkuasa pada 1992-1998, yang memberlakukan pemotongan tarif perdagangan, deregulasi ekonomi, dan privatisasi perusahaan negara. Puncaknya: Filipina bergabung dalam WTO pada 1995.

Neoliberalisme menghancurkan sektor manufaktur Filipina. Sebagai contoh, pada tahun 1960-an dan 1970-an, Filipina menjadi basis industri sepatu yang berbasis di Marikina dengan 2000-an pabrik. Sekarang, akibat liberalisasi dan penyelundupan, tersisa hanya 100-an pabrik.

Dulu Filipina dikenal sebagai negara pertanian. Bahkan Filipina sempat dijuluki sebagai negeri “lumbung padi”. Tahun 1990an, benih-benih padi unggul yang ditanam di sawah-sawah Indonesia asalnya dari lembaga-lembaga riset pertanian Filipina, terutama IRRI.

Sekarang, setelah Filipina menjadi anggota WTO, Filipina menjadi pengimpor beras dan berbagai jenis kebutuhan pangan lainnya.

Sekarang, setelah kehancuran industri dan pertaniannya, Filipina menjadi pengirim tenaga kerja murah (buruh migran) ke berbagai belahan dunia. Sebagian besar pekerja kurang terampil dan pekerja urusan domestik.

Tahun 1990 hingga 2000, pertumbuhan ekonomi Filipina hanya rata-rata 3-4 persen, termasuk yang terendah di Asia tenggara. Tahun 2012 hingga 2019, ekonomi Filipina tumbuh rata-rata 6 persen, tetapi tidak menciptakan “efek menetes ke bawah”.

Pada 2015, sebanyak 21,6 persen penduduk Filipina dikategorikan miskin (pengeluaran di bawah $1.90 per hari PPP). Artinya, 1 dari 5 orang Filipina hidup di bawah garis kemiskinan.

Politik Dinasti dan Korupsi

Kegagalan revolusi EDSA membongkar struktur ekonomi dan sosial menyebabkan politik dinasti warisan feodalisme dan kolonialisme masih terawat baik.

Menurut Richard Javad Heydarian, seorang pengamat ekonomi dan geopolitik di Asia, lebih dari 70 persen jabatan penting dikendalikan oleh elit dinasti. Elit dinasti juga mengontrol hampir 80 persen kongres Filipina[7].

Temuan Ronald Mendoza dan peneliti dari Ateneo School of Government menyebutkan, pada 2019, 80 persen jabatan gubernur, 67 persen anggota DPR, dan 53 persen Walikota memiliki sedikitnya satu orang kerabat di kantornya[8].

Yang terjadi, elit dinasti dan orang kaya berjejaring satu sama lain mengendalikan sistem dan proses politik di Filipina. Ini juga yang menyebabkan revolusi EDSA tidak berhasil melikuidasi dinasti Marcos dan jejaring politiknya.

Walhasil, meskipun sempat melarikan diri ke Hawaii, keluarga Marcos bisa kembali ke Filipina dan berkiprah kembali dalam politik negeri itu. Bongbong Marcos, yang hari ini terpilih sebagai Presiden, kembali ke Filipina pada 1991 dan terjun kembali ke politik setahun kemudian.

Bongbong Marcos memulai kembali jalan politiknya sebagai anggota DPR (1992-1995), Gubernur Ilocos Norte (1998-2007), dan anggota senat (2010-2016).

Imelda Marcos, istri diktator Marcos yang terkenal dengan koleksi 3000 sepatu bermerek dan banyak kasus korupsi itu, justru pernah maju sebagai calon Presiden pada 1992. Dia memang gagal terpilih, tetapi berhasil menduduki kursi DPR dari 1995 hingga 2019.

Tidak bisa dipungkiri, bangkitnya dinasti Marcos banyak dibantu oleh Duterte yang juga hendak mendirikan dinastinya sendiri. Jenazah Marcos bisa kembali dan dimakamkan di Filipina berkat Duterte. Bahkan Marcos dimakamkan dengan upacara penghormatan layaknya pahlawan[9].

Dan pemilu ini adalah kemenangan dinasti Marcos dan Duterte. Bongbong Marcos menjadi Presiden, sedangkan Sara Duterte jadi Wakil Presiden.

Medsos sebagai Senjata

Bagaimana bisa dinasti korup dengan masa lalunya yang gelap bisa memenangi Pemilu Presiden?

Ya, sejarah harus ditulis ulang dan penjahat dinobatkan sebagai pahlawan. Caranya: gunakan media sosial.

Bongbong membuat kampanye dan propaganda yang gencar lewat media sosial. Dengan uangnya, Bongbong menciptakan pasukan dunia maya yang aktif, cerewet, dan bersuara nyaring di media sosial, terutama facebook, youtube, dan TikTok.

Narasi tentang Marcos yang baik diedarkan dalam bentuk video pendek dan tulisan-tulisan pendek. Tentu saja, dengan menyuguhkan cerita yang menyesatkan dan dimanipulasi, tetapi dikemas layaknya dongen pengantar tidur.

Sebagai contoh, pada 11 September 2021, bertepatan dengan 104 tahun kelahiran Marcos, beredar video di facebook tentang Marcos yang baik, yang disertai kata-kata “Happy, Marcos Day” dan tagar #MarcosRealHero.

Data dari CrowdTangle menunjukkan, pada 2021, ada 75 juta interaksi, meliputi reaksi (suka), komentar, dan berbagi, dari halaman para pendukung Bongbong Marcos. Bandingkan dengan halaman pendukung Leni Robredo yang hanya mendapat 39 juta reaksi[10].

Keberhasilan Bongbong Marcos membangun mesin propagandanya di medsos berkat dukungan kekuatan finansialnya yang melimpah. Dinasti Marcos tidak pernah “dimiskinkan” meskipun telah mengorupsi uang negara selama dua dekade.

RAYMOND SAMUEL


[1] https://opinion.inquirer.net/152763/vote-for-our-country-preserve-democracy

[2] https://www.theguardian.com/world/2004/mar/26/indonesia.philippines

[3] https://ph.rappler.com/elections/2022/races/president-vice-president/results

[4] Bello, Walden. The global crisis of legitimacy of liberal democracy. Diakses pada 11 Mei 2022, dari http://bibliotecavirtual.clacso.org.ar/ar/libros/sursur/lech/10bello.pdf

[5] https://newsinfo.inquirer.net/1506559/list-registered-political-parties-party-lists-for-the-2022-elections

[6] Rocamora, Joel. Formal Democracy and its Alternatives in the Philippines. Diakses pada 11 Mei 2022, dari https://www.tni.org/es/node/7396

[7] https://www.aljazeera.com/opinions/2021/12/14/what-is-behind-the-resurgence-of-the-marcos-dynasty

[8] https://foreignpolicy.com/2022/04/25/philippines-election-corruption-bongbong-marcos/

[9] https://www.youtube.com/watch?v=kuV5gz5HlbQ

[10] https://www.phnompenhpost.com/international/marcos-jr-wins-social-media-misinfo-race

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid