Lima Alasan Menolak Penundaan Pemilu 2024

Wacana penundaan Pemilu 2024 sedang menggelinding liar. Awalnya, wacana ini dikumandangkan oleh tiga partai politik, yaitu PKB, Golkar, dan PAN.

Belakangan, wacana liar itu dilantangkan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Dia mengklaim wacana ini mendapat dukungan rakyat. Ia pun menyodorkan data siluman, yang diberinya istilah canggih “big data”, bahwa ada 100 juta pengguna medsos yang mendukung wacana penundaan pemilu 2024.\

Wacana ini sangat berbahaya. Meski tampak tak masul akal, tetapi konfigurasi politik di Indonesia sangat memungkinkan hal ini terjadi.
Untuk diketahui, pemerintahan Jokowi sekarang ini didukung oleh 7 partai di DPR dengan 471 kursi (81,9 persen). Kalau pemerintah berkehendak, apa yang tak mungkin. Ada banyak preseden, agenda politik yang tak dikehendaki rakyat, seperti revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja, bisa berjalan tanpa hambatan, meski ditolak banyak rakyat Indonesia.

Berikut ini lima alasan mengapa wacana ini perlu ditolak.

Pertama, tidak ada alasan kuat untuk menunda pemilu. Tidak ada situasi force majeure, seperti kerusuhan atau bencana berskala nasional, yang memaksa keseluruhan tahapan pemilu harus ditunda.

Kalau alasan pandemi, toh sekarang kasus covid-19 mulai melandai. Malahan, di tahun 2020, ketika bangsa ini tengah di puncak pandemi, pemerintah justru ngotot menggelar Pilkada di 270 daerah (provinsi, kota, dan kabupaten).

Alasan pemulihan ekonomi yang disodorkan Luhut juga sangat absurd. Pemulihan ekonomi pasca pandemi memang membutuhkan anggaran besar. Namun, mengapa anggaran pemilu yang mau dipangkas, sedangkan anggaran untuk proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) tetap jalan. Kalau negara lagi fokus anggaran untuk pemulihan ekonomi, kok malah jor-joran membeli alutsista.

Kedua, menggiring penyelenggaraan negara ke arah otoritarianisme. Dalam sistem demokrasi, setiap kekuasaan atau jabatan politik harus mendapat mandat dari rakyat. Sebab, rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi.

Masalahnya, penundaan Pemilu 2024 akan memperpanjang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Dengan sendirinya, itu juga memperpanjang jabatan DPR, DPD, dan DPRD (Provinsi dan Kota) sekarang ini.

Padahal, mandat Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin hanya sampai 2024. Begitu juga dengan DPR, DPD, dan DPRD sekarang ini.

Jadi, bisa disimpulkan, penundaan pemilu akan memperpanjang masa jabatan Presiden, Wapres, DPR, DPD, dan DPRD tanpa mandat. Tentu saja, jabatan tanpa mandat bukan saja ilegal (illegitimate power), tetapi juga otoriter.

Ketiga, penundaan Pemilu 2024 melecehkan Konstitusi. Pasal 7 UUD 1945 menyebutkan, ”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”

Sebagai negara hukum (rechtsstaat), sudah sewajibnya penyelenggara negara dan partai politik mematuhi konstitusi. Agar bangsa ini bisa menjunjung tinggi konstitusi, maka penyelenggara negara dan parpol seharusnya menjadi suri teladan.

Sebaliknya, keinginan memaksa penundaan Pemilu tanpa situasi force majeure, hanya demi melayani kepentingan sempit dan jangka pendek segelintir elit, merupakan bentuk pelecehan terhadap konstitusi (contempt of constitution).

Lebih lanjut, dalam banyak kejadian sejarah, kekuasaan cenderung untuk absolut. Karena itu, agar kekuasaan tidak absolut dan sewenang-wenang, ada pembatasan terhadap kekuasaan (limitation of power). Salah satu bentuk pembatasan terhadap kekuasaan itu adalah pembatasan masa jabatan.

Keempat, hanya mengakomodir kepentingan sempit dan jangka pendek segelintir elit.

Klaim Luhut maupun Muhaimin Iskandar terkait ratusan pengguna medsos yang mendukung wacana penundaan pemilu, yang bersumber dari big data, diragukan oleh banyak akademisi, pakar media sosial, dan periset.

Berlawanan dengan klaim itu, survei yang menggunakan metodologi yang jelas dan bisa dipertanggung-jawabkan justru menyuguhkan fakta berbeda. Survei Litbang Kompas menyebut 62,3 persen masyarakat setuju pemilu tetap digelar pada 14 Februari 2024.

Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan angka lebih tinggi lagi: 70,7 persen menolak kalau alasan pandemi, 68,1 persen menolak kalau alasan pemulihan ekonomi, dan 69,6 persen menolak kalau alasan pembangunan ibu kota baru.

Survei Indikator menyebut 67,2 persen yang menolak penundaan pemilu. Sementara survei Charta Politica di tiga provinsi, yaitu Lampung, Jawa Barat, dan Jawa Timur, menyebut mayoritas masyarakat di daerah itu menolak penundaan pemilu.

Boleh disimpulkan, isu penundaan pemilu sebetulnya isu segelintir elit di kekuasaan, yang hendak memperpanjang masa pemerintahan Jokowi secara inkonstitusional. Segelintir elit ini mewakili kepentingan bisnis maupun kroni yang diuntungkan oleh rezim Jokowi.

Kelima, menyimpang potensi letupan sosial yang besar.

Demokrasi merupakan cara mengartikulasikan berbagai kepentingan dan ekspresi politik lewat kanal yang konstitusional, yaitu pemilu. Lewat pemilu, beragam kepentingan dan ekspresi politik warga bersaing untuk mendapatkan dukungan.

Lewat pemilu, kepentingan dan ekspresi politik yang menang, yang terwujud pada Capres-Cawapres terpilih dan wakil-wakil rakyat (parlemen), mendapat kesempatan berkuasa selama kurun waktu tertentu.

Tentu saja, dalam kurun waktu itu, ada yang puas dan tidak puas. Mereka yang tidak puas butuh kanal politik untuk mengekspresikan kehendak politiknya. Bukan sekedar kanal untuk menyalurkan kritik dan protes, tetapi juga untuk mengocok ulang kekuasaan secara konstitusional. Dan itu adalah pemilu.

Kalau pemilu ditunda, itu sama saja membuat berbagai ekspresi politik itu bertemu jalan buntu. Dalam banyak hal, kebuntuan politik sering mendorong untuk mengambil jalan radikal, ekstrem, dan tidak konstitusional.

Di Indonesia, ini ada presedennya. Dua kekuasaan yang berdiri terlalu lama, Sukarno dan Orde Baru, berakhir dengan kudeta dan penggulingan kekuasaan.

MAHESA DANU

[post-views]