Dengan Siapa Kita Berdagang?

Permintaan Presiden Joko Widodo agar kondisi ekonomi nasional tidak melulu diukur dari dollar (Amerika Serikat) tetapi juga dari mata uang lain seperti Yuan Renminbi berdasarkan mitra dagang terbesarnya patutlah dipikirkan lebih lanjut dan mendalam terutama dalam hal membangun dan meningkatkan kerjasama perdagangan yang adil dan menguntungkan bagi Indonesia sekarang dan mendatang.

Sebagai negara yang merdeka, kita memang patut mencari terobosan jalan ekonomi yang kongkrit demi kemakmuran bangsa secara merdeka pula sehingga tidak melulu berkaca-mata kuda harus berorientasi perdagangan ke Eropa dan Amerika Serikat.

Yang di depan mata, dilandasi kerja sama perdagangan yang adil dan saling menguntungkan entah itu ke Barat atau ke Timur, ke Selatan atau ke Utara, itulah seharusnya jalan kerja sama perdagangan yang ditempuh. Jaman sekarang tentu saja jalur perdagangannya tidak ditentukan oleh arah mata angin tetapi lebih ditentukan oleh nilai-nilai yang disepakati bersama dengan mitra dagang.

Bagi Indonesia sendiri, bila kita menengok sejarah, akan terlihat jelas bahwa sebelum kolonialisme Eropa bercokol, hubungan perdagangan lebih banyak terjadi dengan Tiongkok dan India; Kedua negara itulah yang kemudian membawa barang-barang dagangan Nusantara ke Eropa.  Dengan India, bahkan terjadi hubungan Kebudayaan yang intim. Hubungan perdagangan Indonesia (Nusantara) dengan Tiongkok dan India ini sudah berlangsung tak kurang dari 2000 tahun hingga kedatangan bangsa-bangsa Eropa yang mengubah struktur,  pola, bentuk dan metode perdagangan.

Hubungan perdagangan sebelum kolonialisme Eropa, sebagaimana kita ketahui sempat mengalami ketegangan dengan berkuasanya Mongol atas Tiongkok. Dinasti Mongol (Yuan) inilah yang kemudian menuntut selain upeti tetapi juga ketundukkan Nusantara kepada Kaisar Tiongkok (Khubilai Khan) yang ditolak Raja Singhasari, Kartanagara. Dengan jelas bahwa Nusantara menginginkan perdagangan yang adil dan tetap merdeka; tidak sekadar mengikuti kemauan Penguasa Dunia, seperti Khubilai Khan, pendiri Dinasti Yuan itu, yang sedang berusaha mendominasi jalur perdagangan di selatan. Yang patut dicatat dari serangan Dinasti Yuan ke Singhasari adalah bahwa tradisi Jawa tidak menganggap serangan itu sebagai serangan Tiongkok tetapi serangan Tartar atau Mongol walaupun dalam ekspedisi itu terdapat barisan tentara Tiongkok. Sentimen anti Tiongkok pun tidak terjadi. Ini menunjukkan betapa tinggi pengetahuan Singhasari dan penerusnya atas situasi dunia.

Dengan kemerdekaan, hubungan perdagangan dengan Dinasti Yuan berlangsung. Setelah Yuan- Mongol tumbang dan diusir dari dataran Tiongkok  tahun 1368, kemudian digantikan Penguasa Tiongkok sendiri: Dinasti Ming, perdagangan dengan Tiongkok pun tetap berlangsung dan juga tidak terjadi sentimen anti-Tiongkok.

Di masa Majapahit, tampaknya kesepakatan dan kesepemahaman perdagangan dengan Tiongkok (yang masih di bawah Dinasti Yuan-Mongol) tercapai sehingga kemakmuran pun melanda Majapahit. Frater Odoric yang pernah berkunjung ke Istana Majapahit tahun 1322 mencatat dalam buku hariannya: “Raja pulau ini memiliki sebuah istana yang sangat mengagumkan. Karena sangat besar, undak-undakannya pun besar, luas dan tinggi dan anak-anak tangganya diselang-selingi emas dan perak. Demikian pula trotoar istana memiliki satu ubin emas dan satu perak dan dindingnya di dalam berlapis emas, di luarnya terukir ksatria-ksatria emas, dengan kepala yang dikelilingi lingkaran-lingkaran emas, seperti yang terdapat di kepala orang-orang kudus. Dan semua lingkaran ini ditaburi permata. Selain itu, langit-langit istana terbuat dari emas murni..singkatnya, tempat ini lebih kaya dan lebih mewah daripada tempat manapun di dunia saat ini” (Dikutip dari Earl Drake, Gayatri Rajapatni, Ombak, 2012;59).

Kesaksian lain kemudian datang juga dari para penguasa Muslim Pasai: “Penguasa Majapahit tersohor karena kecintaan mereka akan keadilan. Imperium itu tumbuh makmur. Berbondong-bondong orang pergi ke Majapahit. Waktu itu makanan berlimpah ruah. Orang datang dan pergi tiada henti; mereka berasal dari wilayah seberang laut yang telah tunduk kepada sang raja, belum lagi yang berasal dari Jawa sendiri.” (Dikutip dari Earl Drake, Gayatri Rajapatni, Ombak, 2012;174).

Dengan sejarah perdagangan yang panjang dengan Tiongkok itu, patutlah kalau kita  memperkuat perdagangan juga dengan Tiongkok; bukan justru larut dalam agitasi anti Tiongkok yang justru tidak menguntungkan bagi perkembangan Perdagangan yang bisa memakmurkan rakyat nusantara sebagaimana yang sudah diperlihatkan oleh sejarah.

Sentimen SARA memang  bisa  menjadi kendala dalam membangun jalur perdagangan. Padahal hakikat dari perdagangan adalah perjumpaan antar komunitas manusia yang di dalamnya terjadi barter yang bisa meningkatkan kebudayaan dan peradaban manusia.  Di masa lalu, Buddhisme yang tidak mengenal Kasta telah memudahkan dalam usaha membangun hubungan perdagangan antar bangsa-bangsa. Tetapi di dunia modern saat ini yang didukung oleh kecepatan teknologi pengangkutan dan informasi, mengapa justru sentimen SARA semakin menguat dan mempengaruhi hubungan dan jalur perdagangan?

AJ Susmana, Wakil Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD)

[post-views]