Kenapa Dana Ketahanan Energi Dianggap “Pungli”?

Rencana pemerintah memungut Dana Ketahanan Energi (DKE) dari rakyatnya terus dipersoalkan. Banyak yang menilai kebijakan itu sebagai bentuk pungutan liar alias pungli.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, tanpa payung hukum yang jelas, dan tanpa adanya badan pengelola yang bisa diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), DKE tidak ada bedanya dengan pungli.

“Sebelum ada payung hukum yang jelas, saya kira ini menjadi pungli kepada rakyatnya yang dilakukan oleh negara. Kalau kelembagaan belum jelas, nanti audit bahwa dana itu betul digunakan untuk ketahanan energi seperti apa?” ujar Tulus seperti dikutip Kompas.com, Selasa (29/12/2015).

Menurut dia, sebelum memungut DKE ini, pemerintah seharusnya membuat satu lembaga atau badan independen yang jelas, dengan pengelolaan dana yang bisa diawasi dan diaudit.

Hal senada juga disampaikan oleh anggota Komisi VII DPR RI, Hari Purnomo. Menurut dia, tanpa dasar hukum yang jelas, DKE tidak ada bedanya dengan pungli.

“Kalau tanpa aturan itu sama saja pungli (pungutan liar),” ujar Hari seperti dikutip tribunnews.com, Minggu (27/12/2015).

Karena itu, bagi Hari, selama belum punya dasar hukum yang jelas, pungutan DKE ilegal diberlakukan. Dia pun meminta pelaksana tugas di lapangan tidak menjalakan kebijakan itu sebelum ada aturan hukum yang jelas.

Selama ini, pemerintah berlindung di balik pasal 30 UU nomor 30 tahun 2007 tentang energi, yang berbunyi: “pengembangan dan pemanfaatan hasil penelitian tentang energi baru dan terbarukan dibiayai dari pendapatan negara yang berasal dari energi tak terbarukan.”

Menurut politisi PDIP Rieke Dyah Pitaloka, jika merujuk pada ketentuan tersebut, maka sumber pendanaan DKE harusnya berasal dari APBN. Karena itu, tidak dibenarkan mengutip uang dari rakyat.

“Silakan ambil dari pendapatan negara dari Pajak Migas sekarang ada Rp50 triliun, dan penghasilan negara bukan pajak dari Migas sekarang ada Rp95 triliun. Tidak boleh diambil dari penjualan BBM kepada rakyat,” jelasnya.

Karena itulah, anggota DPR yang terkenal kritis ini menuding kebijakan Menteri ESDM Sudirman Said itu bisa dikategorikan sebagai bentuk pungli.

Sementara itu, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dari unsur akademisi, Rinaldy Dalimi, menjelaskan bahwa pemerintah tidak bisa menjadikan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) sebagai payung hukum pungutan DKE. Sebab, kata dia, mengacu pada beleid tersebut, premi pengurasan energi fosil dikenakan pada sektor hulu.

Sementara konsep DKE ini, jelas dia, premi dikenakan di sektor hilir, yang dalam hal ini adalah harga jual bahan bakar minyak (BBM). Padahal, BBM yang dikonsumsi tidak seluruhnya diperoleh dari hasil pengurasan energi fosil dalam negeri atau sebagian besar diperoleh secara impor.

“Oleh karena itu, pemerintah harus dengan tepat mendefinisikan dana ini dana apa? Apakah ini dana untuk menekan depletion rate? Kalau iya, tidak cocok (regulasinya). Kalau tidak dibuat aturannya, lalu dana ini untuk apa?” ujar Rinaldy.

Penjelasan soal DKE ini sendiri belum jelas. Di tubuh pemerintah juga belum satu kepala. Awalnya, Sudirman Said bilang, DKE ini bertujuan untuk untuk mendorong eksplorasi agar laju/tingkat deplesi (depletion rate) cadangan kita bisa ditekan. Selain itu, dana ini akan dipakai untuk membangun prasarana cadangan strategis serta energi berkelanjutan, yakni energi baru dan terbarukan (EBT).

Belakangan, Sudirman Said menjelaskan, sebagian dari dana DKE dipakai untuk membayar utang atas subsidi dan sebagian lagi untuk pembangunan infrastruktur listrik di daerah yang belum tersentuh oleh listrik.

“Ini kan bagian dari apa, iuran gitu. Jangan lupa sebagian untuk bayar utang karena sudah murah selama ini dan sebagian bantu saudara kita di 2.517 desa yang belum kebagian listrik,” kata Sudirman seperti dikutip vva.co.id, Selasa (29/12/2015).

Tetapi penjelasan Sudirman itu berbeda dengan penjelasan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurut Jusuf Kalla, pungutan dana ketahanan energi sebagai bantalan jika harga bahan bakar naik dan tidak stabil. “Itu untuk menjaga supaya jangan ada turun naik terlalu jauh. Nanti kalau BBM naik tentu ada bantalannya,” jelasnya.

Sebelumnya juga, seperti dikutip dari situs Kementerian ESDM, DKE disamakan dengan Petroleum Fund. Nah, di berbagai negara yang menjalankan petroleum fund, seperti Norwegia dan Timor Leste, dananya berasal dari penerimaan negara di sektor migas yang disisihkan. Jadi, bukan dikutip dari rakyat.

Risal Kurnia

[post-views]