Benedict Anderson, yang meninggal kemarin (13/12/2015) pada usia 79 tahun di Malang, Indonesia, sangat terkenal di dunia karena bukunya di tahun 1983 berjudul Imagined Communities, yang sangat jauh dan mendalam mempengaruhi studi tentang nasionalisme.
Berbeda dengan para sarjana sebelumnya yang melihat secara negatif isu nasionalisme ini, Anderson melihat nasionalisme sebagai proses imajinatif yang terpadu yang memungkinkan kita merasakan solidaritas dengan orang-orang yang sebelum belum dikenal.
Anderson menulis Imagined Communities: “di zaman ketika sangat umum untuk menjadi progressif, intelektual kosmopolitan (terutama di Eropa?) bersikeras pada karakter patologis dari nasionalisme, yang berakar pada ketakutan dan kebencian terhadap yang lain, dan berafinitas dengan rasisme, sangat berguna untuk mengingatkan diri kita bahwa bangsa menginspirasi cinta, juga semangat berkorban….Produk kebudayaan dari nasionalisme—puisi, prosa, fiksi, musik, seni plastik—menunjukkan cita ini sangat jelas dalam berbagai bentuk dan gaya berbeda.”
Sekalipun sarjana soal nasionalisme, sangat sulit untuk menyimpulkan apa kebangsaan dari Anderson ini. Anderson adalah “anak pengembara” dari imperialis Inggris. Lahir di Kunming, Tiongkok, tahun 1936, tempat ayahnya yang keturunan Anglo-Irlandia bekerja di Kepabeanan Maritim Tiongkok, sebuah konsorsium kerajaan yang mengumpulkan pajak. Anderson kemudian melarikan diri ke California, Amerika Serikat, tahun 1941, ketika kekaisaran Jepang mulai memperluas kekuasaan ke negeri itu. Keluarganya kembali ke Irlandia pada tahun 1945, tetapi menduduki posisi ambigu di tanah leluhurnya sendiri. Satu untai keluarganya adalah bagian dari nasionalisme Irlandia cukup lama, tetapi sebagai Anglo-Irlandia mereka mucul sebagai “minoritas yang diistimewakan”, yang menikmati prestise tetapi juga dikecualikan dalam sebuah bangsa yang mayoritas rakyatnya adalah Katolik.
Jika Anderson tidak sepenuhnya Irlandia, dia juga tidak sepenuhnya Inggris. Pengalaman keluarga di Tiongkok memberi mereka penghargaan di bawah kekaisaran. Seperti juga Perry Anderson, adik laki-laki dari Benedict Anderson dan juga dikenal sebagai sejarawan terkemuka, pernah mencatat bahwa ayah mereka pernah memerangi korupsi dalam manajemen kolonial Tiongkok yang memberi kesan pada anak-anaknya.
Pada tahun 1956, sebagai sarjana di Cambrigde, Anderson teradikalisasi oleh protes terkait krisis terusan Suez, dimana ia memposisikan dirinya sebagai pelajar anti-imperialis melawan nasionalis Inggris yang mendukung usaha Perancis mengambil terusan Zues. Dari pengalaman di Cambrigde, Anderson memilih jalan sebagai marxis dan sarjana anti-kolonial.
Lulus dari Cambridge, Anderson belajar di Universitas Cornell, Amerika Serikat, dan menenggelamkan dirinya dalam studi mengenai Indonesia. Kendati Anderson menghabiskan sebagian besar hidupnya di Amerika Serikat, tetapi tidak bisa disimpulkan bahwa dia adalah orang Amerika. Sebenarnya, kalaupun Anderson punya tanah air, itu adalah Indonesia, yang mengerahkan seluruh hati dan pikirannya untuk tidak hanya belajar, tetapi juga secara emosional sebagai “warga negaranya”.
Kefasihan berbahasa Anderson membuatnya hampir seperti manusia super. Perry Anderson dapat membaca semua bahasa utama Eropa, tetapi ia sendiri mendeklarasikan saudaranya (Benedict Anderson) sebagai polygot (orang yang menguasai lebih dari 5 bahasa) sejati dalam keluarga: Benedict dapat membaca Belanda, Jerman, Spanyol, Rusia, dan Perancis. Juga sangat fasih berbahasa Indonesia, Jawa, Tagalog, dan Thai. Dia sering mengklaim dirinya selalu berpikir dalam bahasa Indonesia. (Kemampuan berbasa banyak adalah umum di keluarganya: Melanie Anderson, seorang antropolog dan saudara perempuan Perry dan Bennedict, sangat fasih berbahasa Albania, Yunani, dan Serbia-Kroasia.
Seorang teman Indonesia saya sangat kagum bahwa Benedict Anderson sangat nyaman berbahasa Jawa dan mengeluarkan lelucon dalam bahasa tersebut. Teman ini juga membandingkan Anderson dengan ahli Indonesia terkemua, antropolog Clifford Geertz. “Aku beruntung membaca Geertz, tetapi dia hanya memperdalam pemahamanku tentang Indonesia,” kata teman saya. “Anderson membuat aku mengetahui banyak hal tentang Indonesia yang sebelumnya tidak kuketahui. Dia tahu Indonesia seperti juga banyak orang Indonesia.”
Antara 1965-1966, Indonesia dilanda kekerasan kontra-revolusioner yang dipimpin oleh diktator anti-komunis dan pro-Amerika, Soeharto, yang merebut kekuasaan tahun 1967. Antara 600.000 hingga 1 juta orang Indonesia, sebagian besar pendukung Partai Komunis Indonesia, dibunuh. Agen intelijen Amerika (CIA), yang berpartisipasi aktif membantu militer Indonesia memilih targetnya, menyebutnya sebagai “satu pembunuhan massal terkejam dan terburuk di abad ke-20”.
Kudeta Suharto adalah titik balik penting dalam kehidupan Anderson. “Ini terasa menyadari bahwa satu yang dicintai adalah pembunuh,” tulis Anderson. Dia kemudian mendedikasikan dirinya untuk kerja menyusun sejarah yang benar tentang kudeta itu dan melawan propaganda rezim Suharto. Di Universitas Cornell, tahun 1966, Anderson dan koleganya menyusun makalah yang disebut “The Cornell Paper”, sebuah laporan yang kemudian menjadi dokumen penting menyingkap fakta sejarah tentang kudeta dan beredar luas dikalangan pembangkang Indonesia. Anderson juga adalah satu dari dua orang asing yang menyaksikan Persidangan Sudisman—salah satu pimpinan kunci PKI–di tahun 197I. Belakangan, Anderson menerjemahkan kesaksian Sudisman, sebuah dokumen penting dalam sejarah Indonesia.
Pada tahun 1972, Anderson diusir dari Indonesia, menjadi buangan dari bangsa yang dicintainya. Dia baru kembali ke Indonesia tahun 1998, setelah rezim Suharto terguling. Setelah kunjungan singkat dan pribadi ke temannya, Anderson tampil di acara publik yang disponsori oleh Tempo.
Dalam sebuah artikel briliyan di majalan Lingua Franca, jurnalis Scott Sherman menggambarkan kembalinya Anderson ke Indonesia:
“Di sebuah hotel mewah di pusat Jakarta, Anderson yang berusia 62 tahun, mengenakan kemeja bercahaya dan celana panjang untuk melawan panas yang mengcekik, suasana tegang, di hadapan tiga ratusan pendengar yang menyimpang harapan, jurnalis senior, profesor tua, bekas mahasiswa, dan orang yang diliputi rasa ingin tahu. Dalam bahasa Indonesia yang fasih, dia menyerang oposisi politik yang ketakutan dan lupa sejarah—khususnya yang berkaitan dengan kasus pembantaian 1965-1966.
Sekembalinya ke Indonesia, ia dipertemukan kembali dengan pemuda Tionghoa yang diadili bersama Sudisman. Anderson berpikir anak muda ini sudah dibunuh bersama Sudisman. Keberlanjutan hidupnya yang ajaib adalah pertanda bahwa rezim Suharto tidak bisa menghancurkan segalanya.
Karya Anderson yang paling terkenal, Imagined Communities, muncul dari wadah bernama sejarah Indonesia. Bagaimana bangsa yang beragam seperti Indonesia, terdiri dari banyak bahasa dan etnis, bisa memilih hidup bersama? Mengapa mereka kadang-kadang berantakan? Apa yang memelihara bangsa besar ini dari bunuh-membunuh satu sama lain dan mengapa kohesi nasional kadang-kadang gagal? Ini bukan pertanyaan abstrak bagi Anderson, tetapi sebaliknya lahir dari sejarah Indonesia yang terpendam.
Ketika Imagined Communities menjadi karya paling terkenal dari Anderson, segala yang ditulisnya bernilai untuk dibaca–di sini ada beberapa studi yang bijak seperti Di Bawah Tiga Bendera: Anarkisme Global dan Imajinasi Antikolonial (2005). Sebagai sarjana yang sangat berpengalaman dalam novel dan puisi, Anderson adalah penganjur untuk kebudayaan global, punya perhatian besar terhadap sastra Indonesia dan Philipina. Seorang pelancong dunia, sudah tepat jika Anderson meninggal di Indonesia, negeri yang ia anggap sebagai rumahnya.
Jeet Heer, editor senior di New Republic
*) Diterjemahkan oleh Raymond Samuel dari New Republic


