Ribuan dokter yang tergabung dalam Ikadan Dokter Indonesia (IDI) menggelar aksi protes di depan Istana Negara, Senin (24/10/2016). Mereka menolak program Dokter Layanan Primer (DLP).
Dalam aksinya para dokter tidak setuju program DLP, sebagimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter, karena dianggap mubazir.
Ketua Umum Pengurus Besar IDI Ilham Oetama Marsis mengatakan, program DLP hanya akan menghabiskan anggaran negara yang cukup tinggi.
Dalam hitungan IDI, negara akan mengeluarkan biaya mencapai Rp 300 juta setiap tahun untuk satu orang dokter yang akan mengikuti program DLP. Ia mencatat ada 110 ribu dokter yang membutuhkan peningkatan kompetensi.
“Bayangkan ada 110 ribu dokter yang harus disekolahkan,” katanya.
Pernyataan hampir senada juga disampaikan Anggota Komisi IX DPR RI, Ribka Tjiptani, yang juga turut bergabung dalam aksi ribuan dokter ini. Politisi PDI Perjuangan itu mengaku memiliki sikap yang sama dengan para dokter.
“Hari ini, saya selaku dokter, dan juga ibu yang mempunyai anak, tiga diantaranya dokter, melakukan perjuangan ekstra parlementer,” kata dia kepada berdikarionline.com.
Menurut Ribka, dirinya menolak program DLP karena semakin menghambat Mahasiswa Fakultas Kedokteran untuk bisa segera mengabdi kepada masyarakat.
“Saya kira ini ironis, di tengah Indonesia kekurangan dokter,” ujarnya di tengah-tengah ribuan dokter yang tengah menggelar aksi protes.
Di Parlemen, Ribka Tjiptaning menyatakan dirinya sebagai inisiator revisi UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, khususnya masalah program DLP.
“Hari ini juga saya akan memasukan naskah akademik dan draf perubahan atas UU No 20 Tahun 2013 ke Baleg,” tambahnya.
Aksi ribuan dokter ini juga bertepatan dengan peringatan HUT IDI ke-66. Disamping mengusung isu soal penolakan program DLP, IDI juga menyoroti berbagai persoalan kesehatan di tanah air.
Mulai dari biaya pendidikan kedokteran yang terbilang sangat mahal dan sulit dijangkau oleh masyarakat menengah ke bawah hingga program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Terkait JKN, IDI menilai program yang dijalankan oleh BPJS itu masih memerlukan perbaikan dalam hal harmonisasi kebijakan, aspek pembiayaan dan pengawasannya.
“Kebijakan mengenai otonomi daerah masih dilaporkan menjadi kendala dalam penerapan program JKN. Juga sinkronisasi aturan BPJS dengan standar profesi,” kata Ilham.
IDI juga mengeluhkan minimnya dukungan prasarana pelayanan, khususnya fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Juga pembebanan pajak alat kesehatan yang sangat tinggi sehingga biaya di fasilitas kesehatan juga tinggi.
Mahesa Danu
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid