Reportase Wisata Ideologi: Geliat Papa Di Kota Praja

Suasana canda tawa, renyah tersungging dari setiap wajah di laman sebuah bangunan yang bertulis Batavia cafe. Di sudut utara bangunan, muda-mudi tengah asik mengayuh sepeda-sepeda tua, dan dengan riangnya mereka menikmati suasana sore itu. Proses jual beli para pedagang kaki lima dan alunan suara gitar pengamen jalanan semakin menambah ramah sapa pribumi di lapangan terbuka berbentuk persegi empat dengan bangunan-bangunan tua di semua sisinya itu lah geliat kehidupan rakyat berbaur.

Kota tua demikian banyak orang menyebut sahdan. Kawasan ini merupakan awal dari masa depan perkembangan kota Jakarta sejak abad 14. Dahulunya, ditahun 1527, kota ini adalah Kota pelabuhan yang direbut oleh Fatahillah dan berganti nama menjadi Jayakarta. Pada tahun 1620, kota ini dikuasai oleh VOC yang kemudian diubah menjadi Batavia. Pada abad ke 18 , kota ini telah berkembang ke sisi selatan sampai ke daerah taman Fatahillah, Glodok. Sebagai kota tua, bentuk bangunan dengan arsitektur Eropa dan Cina dari abad 17 dan awal abad ke-20 tetap dipertahankan.

“Berapa harga gorengan nya, Pak,” tanya saya kepada salah seorang penjual gorengan di kawasan itu. “Gopek (lima ratus rupiah) bang, mau beli berapa?” timpalnya. “Minta delapan ribu bang” pesanku. Selama dia menyiapkan gorengannya, saya sempat bercakap-cakap dengan bapak penjual gorengan tersebut, yang mana dia menuturkan bahwa pendapatannya berjualan saat ini bisa menyekolahkan anaknya sampai SMA.

“Alhamdulilah bang, sekarang anak saya sudah sampai SMA sekolahnya, mudah mudahan besok bisa kuliah, biar tidak bodoh seperti saya bapaknya. kalau pas rame atau hari libur bisa lumayan bang sampai 120 ribu untungnya,” terangnya.

“sebenernya enak bang kalau lokasi berdagangnya kayak gini, ngak di uber-uber ama satpol PP, seharusnya Foke memikirkan hal itu, supaya kami rakyat kecil ini bisa menyambung hidup kami, bukan malah di gusur atau di uber-uber, beri kami ruang untuk sekedar bertahan hidup,” demikian dia lebih jauh menyampaikan keluh kesahnya. Tak terasa gorengannya sudah jadi, dan setelah memberikan tiga lembar uang ribuan dan selembar uang lima ribuan saya meninggalkan bapak itu.

Belajar Dari Kota Tua

Selain bisa melihat geliat para pedagang kaki lima, penjual makanan, pedagang voucher isi ulang sampai pedagang baju, Kota Tua yang berada di Jakarta Barat yang dipenuhi dengan Bangunan khas bergaya kolonial yang menjulang tinggi dengan bentuk bangunan yang kokoh menjadi daya tarik tersendiri. Di sanalah melekat erat sejarah kota yang masih bisa terbaca melalui siluet bangunan, kanal, jalur kereta api, juga jembatan. Melihat itu semuanya membuktikan dulu pada masa nya, pemerintahan yang membangun kota tua sangat memperhatikan keseimbangan alam dan masyarakatnya. Tidak seperti Jakarta di masa sekarang yang terkesan sangat asal dalam membangun.

Saat ini pemerintahan daerah Jakarta sangat semrawut dalam menata kota. salah urus dalam pengelolaan tata kota inilah yang mengakibatkan bencana banjir menjadi jamak terjadi di jakarta. Resapan air semakin tahun semakin mengecil, ruang-ruang terbuka hijau dikonversi menjadi daerah komersial, seperti industri perkantoran. Pemerintah hanya mengharapkan pajak, namun mengabaikan hak-hak masyarakat. Pemerintah Jakarta hanya hobi dalam menggusur rakyatnya demi memuaskan para investor. Jakarta sekarang jadi semrawut, rakyat tergusur, tak ayal kini banyak rakyat menganggur.

Mengenang Sunda Kelapa

Masih di Kota tua, menelusuri jalan yang berjelok-kelok kearah utara mata akan menemukan dan menangkap sebuah tempat yang berjajar kapal-kapal Phinisi Bugis Schooner¬ dengan bentuk khas, meruncing pada salah satu ujungnya dan berwarna-warni pada badan kapal. itulah pelabuhan yang sangat bersejarah, pelabuhan sunda kelapa. Pelabuhan itu kini merupakan pelabuhan bongkar muat barang dari Pulau Kalimantan. Tampak pemandangan para pekerja yang sibuk naik turun kapal untuk bongkar muat.

Sunda Kelapa telah terdengar sejak abad ke-12. Kala itu pelabuhan ini sudah dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk, milik kerajaan Hindu terakhir di Jawa Barat, Pajajaran, terletak dekat Kota Bogor sekarang. Banyak Kapal asing yang berasal dari berbagai Negara seperti Cina, Jepang, India Selatan, dan Arab berlabuh pada masanya. Kapal-kapal itu membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi kekayaan tanah air saat itu.

Portugis tiba pertama kali di Sunda Kelapan (1512) untuk mencari peluang perdagangan rempah-rempah dengan dunia barat. Keberadaan portugis tidak berlangsung lama ketika gabungan kekuatan Banten dan Demak, dipimpin Fatahillah berhasil menguasai Sunda Kelapa, kemudian fatahilah mengganti nama sunda kelapa menjadi Jayakarta yang berarti kemenangan yang nyata pada tanggal 22 Juni 1527.

Setelah Portugis tunggang langgang, tahun 1596 para pedagang asal Belanda tiba dengan tujuan mencari rempah-rempah. Rempah-rempah saat itu menjadi komoditas utama di Belanda Para pedagang Belanda yang kemudian tergabung dalam VOC awalnya mendapat sambutan hangat dari Pangeran Wijayakrama dan membuat perjanjian.

Namun, karena tergiur dengan potensi pendapatan yang tinggi dari penjualan rempah-rempah di negara asalnya, VOC mengingkari perjanjian dan mendirikan benteng di selatan Pelabuhan Sunda Kelapa. Benteng ini, selain berfungsi sebagai gudang penyimpanan barang, juga digunakan sebagai benteng perlawanan dari pasukan Inggris yang juga berniat untuk menguasai perdagangan di Nusantara.

Benteng tersebut dibangun tahun 1613, sekira 200 meter ke arah selatan Pelabuhan Sunda Kelapa. Pada tahun 1839 di lokasi ini didirikan Menara Syahbandar yang berfungsi sebagai kantor pabean, atau pengumpulan pajak dari barang-barang yang diturunkan di pelabuhan. Lokasi menara ini menempati salah satu bastion (sudut benteng) yang tersisa. Segera, setelah VOC menundukkan pangeran Jayakarta pada 12 Maret 1619, nama Jayakarta diubah menjadi Batavia. Pemberian nama ini sendiri, oleh Dewan Direktur VOC, baru disetujui pada tanggal 4 Mei 1619. Sebetulnya, nama Batavia yang mengacu pada kota Benteng Belanda ketika itu, hanya meliputi bagian utara Jakarta sekarang ini. Dan nama Jakarta baru kemudian di gunakan untuk mengganti Batavia pada tahun 1942 setelah Jepang berhasil merebut dari tangan belanda (pada 5 Maret 1942) yang di susul dengan 9 Maret 1942 dimana Belanda menyerah tanpa syarat pada Jepang, selanjutnya nama Jakarta semakin di kukuhkan untuk menyebut sunda kelapa setelah soekarno mentasbihkan dalam proklamasi 17 agustus 1945.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid