Peristiwa G30S 1965 Dan Keterlibatan Amerika Serikat

Membaca ‘peristiwa 1965’ di Indonesia, keterhubungan antara peristiwa itu dengan faktor dunia internasional sangat terang. Namun, keterhubungan itu, seperti sering dikemukakan banyak orang, tidak sesederhana ‘konteks perang dingin’.

Pada Januari 2011 lalu, Goethe Institute menggelar konferensi internasional bertajuk Indonesia and the World in 1965. Konferensi itu menghadirkan pakar dan peneliti, antara lain, Bradley Simpson, Ragna Boden, Jovan Cavoski, dan Richard Tanter.

Yang menarik, bagi saya, adalah makalah berjudul Amerika Serikat dan Dimensi Internasional dari Pembunuhan Massal di Indonesia yang disampaikan oleh Bradley Simpson, dosen sejarah di Universitas Princeton, Amerika Serikat.

Makalah itu menyingkap keterlibatan AS secara langsung untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan penyingkiran Soekarno. Untuk diketahui, sebagian besar informasi di makalah Brad Simpson dari arsip-arsip AS sendiri, seperti telegram (rahasia) Kedubes AS, memo sejumlah pejabat AS, kabel infomasi CIA, airgram Kedubes AS, dan lain-lain. Jadi, akurasi informasinya cukup menyakinkan.

Dari makalah Brad Simpson itu, saya menangkap setidaknya ada dua kepentingan besar AS di Indonesia saat itu. Pertama, AS berkepentingan mengubah haluan politik luar negeri Indonesia saat itu, yang terang-terangan anti-kolonialis dan anti-imperialis, agar kembali ke pangkuan barat. Kedua, menjaga kepentingan ekonomi AS melalui perusahaan-perusahaannya yang beroperasi di Indonesia dan, kalau memungkinkan, memperluasnya.

Untuk mencapai dua misi itu, AS punya kepentingan untuk: satu, menghancurkan PKI. Sebab, PKI merupakan kekuatan politik utama yang menentang kepentingan ekonomi-politik AS di Indonesia; dua, menggulingkan Soekarno dan menciptakan rezim baru yang lebih sejalan dengan kepentingan barat.

Untuk lebih memudahkan para pembaca menangkap peran AS dalam memainkan situasi Indonesia untuk mencapai tujuannya, saya mencoba membagi tiga pembahasan–tentunya dengan mengacu pada makalah Brad Simpson; 1) pra-G30S 1965; 2) saat peristiwa G30S 1965 meletus; dan 3) pasca G30S 1965.

Pra G30S 1965

Sebelum peristiwa G30S 1965, seperti ditulis Brad, AS sudah melakukan sejumlah aksi untuk membendung laju komunisme, politik luar negeri non-blok, dan rencana-rencana pembangunan di Indonesia. Salah satunya adalah keterlibatan AS dalam menyokong militer kanan dalam pemberontakan PRRI/Permesta di tahun 1950-an.

Selain itu, kata Brad, AS juga bekerjasama dengan sejumlah intelektual berorientasi barat di Indonesia, yang kecewa dengan pembubaran Demokrasi Parlementer. Selain itu, pemerintah AS, lembaga-lembaga kemanusiaannya, dan lembaga seperti Bank Dunia mencoba ‘merayu’ Soekarno untuk menerima bantuan militer, ekonomi, dan teknis.

Harapan AS untuk membawa Indonesia ke pangkuan barat benar-benar pupus begitu Soekarno melancarkan konfrontasi terhadap Federasi Malaya (federasi bentukan Inggris). Di sisi lain, politik luar negeri Indonesia makin merapat ke Cina.

Pada Agustus 1964, kata Brad, AS memulai operasi-operasi rahasia untuk menggulingkan Soekarno dan memancing konflik yang tajam antara Angkatan Darat (AD) dan PKI. Saat itu, pihak intelijen AS menyimpulkan bahwa kekusaan Presiden Soekarno mustahil dilawan selama dia masih hidup, “kecuali, tentu saja, jika beberapa teman kita ini mencoba menggulingkannya.” [1]

Inggris juga mengikuti langkah serupa tahun 1964. Bahkan, Asisten Menteri Luar Negeri Inggris, Edward Peck, mengisyaratkan bahwa ‘ada peluang besar untuk mendorong timbulnya suatu kudeta prematur oleh PKI selama Soekarno masih hidup.’ [2]

Awal 1965, ada peristiwa yang membuat AS dan barat makin tidak sabar untuk menghajar PKI dan menggulingkan Soekarno. Pertama, keputusan Soekarno menarik Indonesia keluar dari PBB. Kedua, para pekerja Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI)–yang berada di bawah kendali PKI–untuk merebut perkebunan-perkebunan yang dimiliki oleh US Rubber Company di Sumatera Utara.

Pada saat bersamaan, Februari 1965, Presiden Soekarno, Waperdam III Soebandrio, dan Menteri Perkebunan Frans Seda menyampaikan kepada perwakilan US Rubber Company dan Goodyear, bahwa pemerintah (Indonesia) mengambil ‘kendali administratif’ atas perkebunan-perkebunan karet milik asing dan mendukung pengambilalihan properti milik barat. [3]

AS tentu gerah dengan aksi-aksi tersebut. Karena itu, pejabat AS segera memperingatkan, “Soekarno dan para komandan militer sudah kami beritahu, bahwa begitu terjadi sesuatu yang mengisyaratkan adanya campur tangan terhadap kendali atas Caltex….pengeboran minyak dari Indonesia akan dihentikan.” [4] Ini ancaman yang serius. Maklum, jika pengeboran minyak dihentikan, ekonomi Indonesia makin lumpuh.

Yang menarik dari ulasan Brad, ketika merespon situasi di Indonesia, terutama politik konfrontasi Soekarno terhadap federasi Malaysia, Inggris mempertimbangkan untuk memecah Indonesia menjadi negara-negara kecil. Ya, Inggris memang paling lihai dalam urusan memecah-belah bangsa, seperti yang dilakukannya terhadap India dan Pakistan, lalu Malaysia.

Pada Februari 1965, CIA mengusulkan untuk memperluas cakupan operasinya di Indonesia, termasuk hubungan rahasia dengan kelompok-kelompok anti-komunis, black letter operation, operasi media, termasuk kemungkinan aksi ‘radio hitam’ dan politik hitam di dalam lembaga-lembaga politik di Indonesia. [5]

Dari uraian di atas, saya kira, AS dan sekutunya memainkan peran besar dalam memprovokasi situasi di Indonesia. Dugaan bahwa AS dan sekutunya turut bermain dalam isu “Dewan Jenderal” dan “Dokumen Gillchrist” sangat mungkin terjadi. Provokasi-provokasi itu bermakna dua hal: pertama, memancing pendukung Soekarno, termasuk PKI dan Angkatan Bersenjata, untuk melancarkan operasi kontra-kudeta yang prematur; kedua, mempertajam peruncingan antara sayap kiri (Soekarno, militer progressif dan PKI) melawan sayap kanan (AD, Masyumi, PSI, dll).

Peristiwa G30S 1965 Dan Pembantaian Massal

Gerakan prematur yang dilancarkan oleh sekelompok Angkatan Darat (AD) untuk menggagalkan rencana kup Dewan Jenderal, yang ironisnya memperlihatkan Biro Khusus PKI, merupakan momen yang paling ditunggu-tunggu oleh AD yang anti-komunis dan sekutu internasionalnya (negara-negara kapitalis).

Dengan meminjam hipotesis John Rosa, penulis Dalih Pembunuhan Massal, Brad menyimpulkan bahwa G30S dijadikan dalih/justifikasi bagi Soeharto, AD, dan pendukung internasionalnya untuk melakukan pembasmian terhadap PKI.

Begitu G30S dipatahkan, tanggal 1 Oktober 1965, pejabat Washington tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya terhadap kemungkinan AD tidak menggunakan peluang itu untuk menumpas habis PKI. Kabel CIA tertanggal 17 Oktober 1965 menunjukkan: “CIA memperingatkan bahwa AD boleh jadi cukup puas dengan hanya melakukan tindakan terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pembunuhan Jenderal, dan membiarkan Soekarno memperoleh kembali sebagian besar kekuasaannya.” [6]

Dubes Inggris di Indonesia, Andrew Gilchrist, menyerukan dilakukannya “propaganda dini yang (direncanakan) secara hati-hati dan aktivitas perang urat syaraf guna memperburuk perselisihan di dalam negeri (Indonesia) dan memastikan pembasmian dan penghalauan PKI oleh tentara Indonesia.” [7]

Telegram Kedubes AS tanggal 5 Oktober 1965 mengatakan: “pemerintah AS, Inggris, dan Australia berusaha membantu AD dengan menciptakan propaganda mengenai kesalahan, penghianatan, dan kekejaman PKI [garis miring oleh penulis] dan tuduhan mengenai adanya kaitan antara G30S dengan Cina.” [8]

Tanggal 13 Oktober 1965, Menlu AS Dean Rusk menyimpulkan bahwa sudah tiba waktunya untuk memberi isyarat pihak militer (Indonesia) mengenai sikap AS terhadap perkembangan terkini. Menurut Rusk, bersedia dan tidaknya AD menuntaskan aksinya terhadap PKI bergantung pada atau harus dipengaruhi AS.

Pada saat yang sama, ajudan Jenderal Nasution mendekati Dubes AS untuk meminta bantuan peralatan komunikasi portabel untuk keperluan panglima AD. Bantuan Kedubes itu menandai penarikan pengakuan Washington terhadap Soekarno sebagai pemimpin Indonesia yan sah. Artinya, Washington terang-terang memaksakan campur tangan untuk mengganti pemerintahan sah di Indonesia.

Segera setelah itu, mulai terdengar aksi-aksi pembantaian massal nan keji terhadap anggota dan simpatisan PKI. Pada tanggal 4 Oktober, Kedubes AS melaporkan bahwa RPKAD di daerah komando Jateng memberi pelatihan dan senjata kepada pemuda muslim. Di sumatera utara dan Aceh, pemuda IPKI dan unsur-unsur anti-kom mulai dorongan sistematis untuk menumpas PKI.

Yang menarik dari ulasan Brad Simpson, Kedubes maupun Konsul AS di Indonesia menerima banyak laporan tentang pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI, misalnya:

Tanggal 13 November: kepala Informasi Polisi Kol Budi Juwono melaporkan bahwa 50 sampai 100 anggota PKI di bunuh setiap malam di Jawa Timur dan Jawa tengah oleh kelompok sipil anti-komunis atas restu AD.

Tanggal 16 November: Pemuda Pancasila memberitahu Konsulat AS di Medan bahwa mereka bermaksud membunuhi setiap orang PKI yang mereka jangkau.

Bulan November: missionaris memberitahu konsulat AS di Surabaya bahwa 15.000 komunis dibunuh di daerah Tulungagung saja. Di Pasuruan, Jawa Timur, 2000 buruh pabrik Nebritex–semuanya anggota SOBSI–dibunuh sejak akhir November.

Di perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara, kelompok anti-komunis membantai sedikitnya 3000 anggota PKI setiap minggu.

Ironisnya, seperti diungkapkan Brad Simpson, AS menanggapi pembantaian massal itu dengan antusias. Malah mengintensifkan bantuan kepada tentara dan kelompok anti-komunis. Yang paling menyedihkan adalah komentar pejabat Deplu AS, Howard Federspiel: “Tak ada yang peduli jika mereka disembelih, asalkan mereka komunis.” [9]

Di sini saya mencoba menarik dua kesimpulan: pertama, AS telah mengeksploitasi G30S sebagai justifikasi untuk menyingkirkan PKI; kedua, AS terlibat dalam mendanai, mengoperasikan, dan mengintensifkan pembantaian massal terhadap orang-orang PKI.

Pasca G30S

Telegram Kedubes AS tanggal 2 November 1965 mengatakan, “negara-negara barat bersikeras bahwa militer bukan hanya harus menghancurkan PKI, melainkan juga menyingkirkan Soekarno dan pendukungnya.” [10]

Negara-negara barat khawatir, selama Soekarno masih berkuasa, AD akan sulit untuk melakukan perubahan drastis di Indonesia sesuai dengan harapan AS dan sekutunya. Untuk itu, pejabat AS mulai memikirkan untuk bagaimana membantu AD menyingkirkan Soekarno.

Salah satu aksi paling efektif yang dilancarkan AS dan sekutunya untuk menjatuhkan Soekarno, seperti dicatat Brad Simpson, adalah memperburuk situasi ekonomi Indonesia. Langkah yang menyerupai perang ekonomi ini punya makna: 1) membuat pemerintah Soekarno terjepit dengan mengarahkannya pada posisi kebangkrutan; 2) menciptakan ketidakpuasan populer dikalangan rakyat terhadap situasi ekonomi yang memburuk.

Perang ekonomi itu cukup efektif. Di awal 1966, ekonomi Indonesia di ujung keruntuhan. Ini dipakai oleh AD dan mahasiswa kanan untuk mendesakkan aksi-aksi menuntut penurunan harga dan mengeritik kegagalan ekonomi Soekarno.

Yang paling ironis, sekaligus benar-benar licik, adalah upaya mengalihkan sumber-sumber devisa Indonesia, yang seharusnya masuk ke Bank Sentral, justru masuk ke kantong Soeharto dan kelompoknya. Pada Februari 1966, Caltex tidak lagi membayar kepada Bank Sentral Indonesia, melainkan kepada rekening tak bernama di Belanda. Ironisnya, Menteri Perkebunan Frans Seda membuat aturan serupa terhadap perusahaan perkebunan AS yang lain, seperti Goodyear, US Rubber, dll. Ini membuat soekarno benar-benar terjepit.

Dengan situasi ekonomi yang memburuk, ditambah aksi-aksi mahasiswa kanan yang disokong oleh AD dan didanai AS/sekutunya, popularitas pemerintahan Soekarno merosot. Hingga akhirnya kekuasaannya dicolong oleh Soeharto pada bulan Maret 1966.

Segera setelah kendali kekuasaan sudah di tangan Soeharto/militer, AS dan sekutunya mulai merancang transisi di indonesia, termasuk mendesakkan paket-paket ekonomi untuk mengembalikan Indonesia sebagai ‘pejalan kapitalisme barat’. Pada tahun 1967, disahkanlah UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang sesuai dengan kehendak negara-negara kapitalis barat. Lembaga-lembaga imperialis seperti IMF, Bank Dunia, IGGI, dan LSM-LSM turun tangan untuk membantu Soeharto menata kekuasaannya dan model ekonominya agar benar-benar terbuka bagi kepentingan barat.

Dalam penyusunan UU PMA, misalnya, AS mengerahkan konsultan untuk membantu Widjoyo Nitisastro, seorang ekonom pro-barat, untuk menyusun UU tersebut. Setelah selesai, draftnya diserahkan ke Kedubes AS untuk dimintai komentar akan perlunya perbaikan-perbaikan dari pihak investor AS.

Lalu, untuk menguji kesetiaan rezim baru Soeharto terhadap investor asing, maka Freeport yang beroperasi di Papua sebagai ujian pertamanya. Setelah investor Freeport sukses, investor-investor asing pun mulai berebut jarahan di bumi Indonesia.

Rudi Hartonopengurus Komite Pimpinan Pusat – Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD); Pimred Berdikari Online

—————————

[1]. National Intelligence Estimate 55-63, The Malaysia-Indonesia Conflict, 30 Oktober 1963, NSF, NIE Box 55, Indonesia, Lyndon B Johnson Library.

[2] “The Succession Problem in Indonesia”, DOS/INR Research Memo RFE-16, March 19, 1964, NSF CO Files Indonesia Vol.1 LBJL; Memo dari Templeton untuk Peck 19 Desember 1964, FO General Correspondence Files FO 371/15251, DH 1015/112, UKNA.

[3] Telegram 1642, dari Kedutaan Besar AS di Jakarta ke Kementerian Luar Negeri AS, 22 Februari 1965, NSF CO File Indonesia, Box 246, Vol III, LBJL; Memo dari James C Thomson ke McGeorge Bundy, 1 Maret 1965, James C Thomson Paper, Box 12, John F Kennedy Library.

[4] Telegram 1718, dari Kedubes AS di Jakarta ke Kementerian Luar Negeri AS, 3 Maret 1965, PET INDON-US, NA.

[5] Memo yang dipersiapkan untuk Komite 303, 23 Februari 1965, FRUS, 1964-1968, hlm. 234.

[6] Kabel informasi CIA, OCI 13114, 17 Oktober 1965, NSF CO File, Indonesia, Vol. V, LBJL.

[7] Telegram 264 dari Penasehat Politik ke CinCFE Singapura, 5 Oktober 1965, FO 371-180313, UKNA.

[8] Telegram 868, dari Kedubes AS di Jakarta ke Kemenlu AS, 5 Oktober 1965, POL 23-9 INDON, NA; Drew Cottle and Narim Najjarine, “The Department of External Affairs, the ABC and Reporting of Indonesia Crisis, 1965-1969, Australian Journal of Politics and History 49:1 (2003) hlm.48-60.

[9] Federspiel sebagaimana dikutip dalam Kathy Kadane, “Ex Agent say CIA compiled death list for indonesia”, States News Service, 19 May 1990.

[10] Telegram 1304, dari Kedubes AS di Jakarta ke Kemenlu AS, 2 November 1965, NSF CO Files Indonesia, Vol. V, LBJL.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid