Olga Benario, Kisah Hidup Seorang Perempuan Revolusioner

Di tahun 1942, seorang perempuan muda berusia 34 tahun berakhir hidupnya di ‘kamar gas’ Hitler. Melalui surat terakhirnya ia menulis: “Aku berjuang untuk keadilan, kebaikan, dan untuk dunia yang lebih baik.”

Perempuan itu adalah Olga Benário. Dia anak keluarga kelas menengah di Munich, Jerman. Ayahnya, Leo Benário, seorang pengacara sekaligus anggota Partai Sosial-Demokrat Jerman. Ibunya, Eugenie Gutmann, seorang Yahudi konservatif.

Tetapi Olga memilih keyakinan politik yang berbeda dengan kedua orang tuanya. Di usia 14 tahun, dia menjadi anggota sayap pemuda Partai Komunis Jerman (KJVD). Sebagai aktivis komunis, ia terjun dalam pengorganisiran kelas pekerja di Berlin-Neukoelln.

Tanggal 12 Februari lalu, bertepatan dengan 106 tahun kelahirannya, saya menonton filmnya: Olga (2004). Film garapan sutradara Jaime monjardim itu mengulas perjalanan hidupnya, semangat dan kesabaran revolusionernya, dan komitmen perjuangannya.

Di tahun 1926, Olga memimpin ‘aksi bersenjata’ untuk membebaskan kawan seperjuangannya, Otto Braun, yang sedang diadili dengan tuduhan menghasut kebencian anti-pemerintah. Waktu itu Olga membuat ‘aksi spektakuler, dengan menodongkan pistol ke polisi penjaga, dan kemudian berhasil membawa pergi Otto Braun.

Karena dicari-cari polisi, Olga dan Otto pergi ke Moskow. Waktu itu Soviet sedang kekurangan pangan. Tetapi Olga tetap optimis dengan sosialisme. “Tetapi di sini ada kebebasan dan masa depan. Tidak seorang pun akan kelaparan,” ujarnya kepada Otto Braun.

Ada dialog menarik ketika keduanya sedang berada di atas kereta menuju Moskow. Otto mengatakan, “Kau bisa berjuang bersamaku.” Olga menjawab: “Aku berjuang bersama revolusi, bukan dengan seorang laki-laki.”

Waktu itu fasisme mulai menguat di Jerman. Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NZDAP), partai yang didirikan Hitler, sedang naik daun. Mereka memanfaatkan gelombang PHK untuk menarik simpati umum. Partai Komunis Jerman, yang melihat bahaya fasisme itu, mencoba menyadarkan rakyat dengan tuntutan: roti dan pekerjaan. Tak jarang, terjadi perkelahian massal di jalanan antara massa komunis dengan milisi-milisi NZDAP. Dan, Olga hadir di tengah-tengah perkelahian itu.

Tahun 1928, ia menjadi delegasi Jerman pada Kongres Pemuda Komunis Internasional ke-V. Di sana ia berseru akan bahaya fasisme yang sedang merekah di berbagai belahan dunia, terutama di Eropa. “Kita harus bersiap untuk melawan ini. Aku ingin pelatihan militer sehingga kami dapat berjuang untuk kemenangan revolusi. Berjuang untuk dunia tanpa ketidak-adilan, tanpa kesengsaraan, dan tanpa perang.”

Di Soviet, Olga mendapat pelatihan militer. Tak lama kemudian, ia bekerja di Direktorat Intelijen Tentara Merah. Saat itulah ia mendengar tentang rencana revolusi di Brazil. Sekelompok tentara, yang menamai dirinya “Prestes Column”, berjalan kaki sejauh 25.000 kilometer untuk menggulingkan rezim korup di Brazil. Pemimpinnya seorang Kapten bernama Luis Carlos Prestes.

Olga sangat berminat untuk terlibat dengan misi revolusi di Brazil. Dan, bak gayung bersambut, Dmitry Manuilsky, seorang pejabat Komintern (Komunis Internasional), menugasinya mengawal Carlos Prestes ke Brazil.

Untuk melakukan perjalanan dari Moskow ke Rio De Jeneiro, yang tentu saja melintasi banyak negara, keduanya menyamar sebagai pengantin baru kaya raya sedang berbulan madu. Jadilah perjalanan panjang itu sebuah kisah romantis antara Olga dan Prestes. Tiba di Brazil, keduanya sudah menjadi sepasang kekasih. Keduanya juga langsung bergelut dengan persiapan revolusi. “Mungkin tahun 1935 akan menjadi tahun revolusi di Brazil,” kata Prestes. Pemberontakan militer meletus bulan November 1935. Sayang, karena kurangnya persiapan, pemberontakan itu tidak berumur lebih 12 jam. Revolusi menemui kegagalan.

Tetapi, pemberontakan yang gagal itu cukup menjadi dalih bagi rezim berkuasa, Getulio Vargas, untuk menghabisi kaum komunis sebagai jalan pembangunan rezim diktator. Tak lama kemudian, dinas intelijen Brazil–dengan dukungan Gestapo–mulai menangkapi aktivis komunis. Termasuk mengincar Prestes dan Olga.

Setelah bersembunyi dari rumah ke rumah, Olga dan Prestes tertangkap. Keduanya dijebloskan di penjara terpisah. Saat itu, Olga mulai mengandung anaknya dari Prestes. Bersamaan dengan itu, agen rahasia Brazil mengetahui identitas Olga sebagai seorang yahudi sekaligus aktivis Partai Komunis Jerman.

Pada September 1936, di tengah kehamilannya yang membesar, Olga dideportasi ke Jerman sebagai “hadiah” Vargas untuk Hitler. Padahal, saat itu dunia internasional mengutuk rencana deportasi itu sebagai kejahatan kemanusiaan. Cerita sedih pun dimulai. Tak lama kemudian, Olga melahirkan anaknya di sebuah penjara di Berlin. Ia memberi nama anaknya: Anita Leocardia Prestes.

Kesedihan demi kesedihan merenggut ketegaran Olga. Baru saja menikmati masa bahagia saat menyusui anaknya, otoritas NAZI sudah memaksa memisahkan mereka. Anita Leocardia kemudian diserahkan kepada Ibunda Prestes.

Terguncang karena kehilangan anaknya, Olga dikirim ke kamp konsentrasi di Lichtenberg. Tak lama kemudian, dia dipindahkan ke Ravensbruck. Di dalam kesulitan dirinya, Olga tetap memberikan perhatian dan solidaritasnya kepada sesama tawanan. Selain itu, melalui surat-suratnya, Olga tetap memelihara komitmennya terhadap cita-cita sosialisme.

“Sekarang aku mau tidur, supaya besok aku bisa kuat,” tulis Olga melalui surat kepada suami dan anaknya dari kamp Konsentrasi NAZI pada malam terakhir hidupnya. “Peluk cium untuk kalian berdua untuk terakhir kalinya.”

Tahun 1942, Olga bersama komunis lainnya dibunuh di dalam sebuah kamar gas. Tahun 1945, kediktatoran Vargas tumbang. Tak lama kemudian, Prestes mendapat pengampunan.

RUDI HARTONO

Anda bisa menontonnya di sini: www.youtube.com/watch?v=tDS3m-hPKF0

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid