Nasionalisme Gandhi Dikoyak Nasionalisme Hindu di India

Tahun 1920, saat masih memperjuangkan kemerdekaan India, Gandhi sudah berkeyakinan teguh: India tak akan merdeka tanpa persatuan antara Hindu dan Muslim.

“Hanya persatuan Hindu dan Muslim, dengan jalan perjuangan non-kekerasan, yang bisa menunjukkan jalan keluar dari kegelapan,” kata Gandhi.

Inggris, yang hampir 200 tahun menjajah India, menerapkan politik pecah-belah agar bisa berkuasa lama. Kartu yang paling kerap dipakai adalah agama, terutama memecah-belah Hindu dan Islam.

Oiya, saat itu India yang diperjuangkan Gandhi memang masih meliputi Pakistan. Namun, terlepas dari itu, India memang bangsa yang majemuk. Ada banyak agama di sana: Hindu, Islam, Kristen, Sikh, Budha, dan lainnya.

Karena itu, Gandhi tak tertarik sedikit pun dengan gagasan nasionalisme etnik. Terutama yang dikobarkan oleh Vinayak Savarkar, seorang pengarang, yang mengumandangkan nasionalisme Hindu: Hindutva.

Nasionalisme Hindu menghendaki India menjadi negara Hindu, dengan agama Hindu sebagai basis pemersatu, pandangan hidup, dan identitas. Hindutva mengklaim penganut Hindu adalah “penduduk asli” Hindustan. Agama-agama lain yang lahir di India, seperti Sikhisme, Jainisme dan Budhisme, masih bagian dari Hindu.

Namun, agama-agama yang dibawa pendatang, seperti Islam, Kristen, maupun Yahudi, dianggap “agama asing” dan berusaha menaklukkan Hindu-India.

Gandhi mengambil jalan berbeda. Ia sadar, India yang majemuk, dari suku hingga agama, tak bisa berpijak di atas nasionalisme etnik semcam itu. Sebaliknya, India harus didirikan di atas gagasan nasionalisme yang mengakui keragaman itu dan menempatkan semua manusia itu setara.

Tak suka dengan nasionalisme Hindu, tapi Gandhi juga tak sudi menerima nasionalisme Eropa. Baginya, nasionalisme Eropa itu terlalu “sempit, egois, agresif, dan eksklusif”.

Ia meracik nasionalismenya sendiri, yang dikawinkan dengan nilai-nilai kemanusiaan, seperti kesetaraan, demokrasi, dan hak-hak azasi manusia.

“Aku menyebut diriku nasionalis, tetapi nasionalismeku selebar alam semesta: itu merangkul semua bangsa,” katanya.

Karena berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan, maka nasionalisme Gandhi tidak memperkenankan eksploitasi dan penindasan, baik sesama manusia maupun antar bangsa.

Karena itu, Gandhi menentang kolonialisme sekaligus mengeritik kapitalisme. Ia kemudian punya gagasan “Sarvodaya”, yang berarti “kemajuan untuk semua”. Pada intinya, Sarvodaya menginginkan sebuah masyarakat yang setara, baik secara ekonomi maupun politik.

Begitulah gagasan nasionalisme Gandhi, yang disebutnya nasionalisme-kemanusiaan, yang turut menginspirasi bapak bangsa Indonesia, Sukarno.

Sayang, perjuangan Gandhi memerdekakan India yang bersatu tak berujung manis.  Di tahun 1947, ketika India akan menjemput kemerdekaannya, Inggris menyiapkan bom waktu: politik pemisahan/partisi.

Jadi, saat itu, Gubernur Jenderal (Viceroy) Hindia, Louis Mountbatten, diberi mandat mencari jalan terbaik seiring berakhirnya kekaisaran Inggris di India. Dan solusi ala Inggris adalah: membagi Hindustan menjadi dua Negara.

Mountbatten kemudian menugasi seorang ahli hukum, Cyril Radcliffe, untuk mengurus garis batas antar dua cikal bakal Negara ini. Radcliffe, yang berpengetahuan terbatas soal India, membagi India berdasarkan garis agama. Garis pembatas itu disebut Radcliffe line.

Semua wilayah mayoritas muslim, yang mengapit India di bagian barat dan timur, menjadi Pakistan. Sedangkan yang mayoritas Hindu menjadi negara India. Beberapa wilayah besar dibelah begitu saja, seperti Punjab dan Bengal. Punjab barat jadi Pakistan, sedangkan Punjab timur jadi India. Bengal barat jadi India, Bengal timur jadi Pakistan (sekarang Bangladesh).

Politik partisi ala Inggris membawa tragedi kemanusiaan. Jutaan orang muslim terpaksa berpindah ke Pakistan. Begitu juga sebaliknya: jutaan Hindu dari wilayah Pakistan mengalir ke India.

Dalam arus manusia yang berpindah dengan segala cara itu, dari kereta, gerobak hingga jalan kaki, yang kadang dibayang-bayangi oleh teror konflik komunal, sekitar 1 juta jiwa tewas di perjalanan.

Gandhi sebetulnya sangat menentang politik partisi ini. Jelas sekali, politik partisi ini membuyarkan mimpinya memerdekakan India yang bersatu.

“Hindu dan muslim adalah anak dari tanah-air yang sama: India. Mereka adalah saudara yang, karenanya, harus tetap menjaga India yang merdeka dan bersatu,” tegasnya.

Namun, apa daya, teman-teman Gandhi di Kongres, seperti Nehru dan Patel, sudah menerima partisi. Di sisi lain, India menjelang ditinggal Inggris justru membara dalam konflik komunal.

Gandhi menerima partisi, sembari tetap menyimpan sebuah harapan besar: suatu hari India bersatu lagi.

Oiya, sekedar tahu saja, selain Gandhi dan barisan nasionalisnya, tak sedikit organisasi dan politisi Islam yang juga menentang politik partisi ini.

India sendiri memproklamirkan kemerdekaan dari Inggris pada 15 Agustus 1947.

Sayang, bukan harapannya yang terwujud, pada 30 Januari 1948, tak lama setelah kemerdekaan Negeri yang dicintainya, Gandhi dibunuh oleh seorang nasionalis Hindu bernama: Nathuram Vinayak Godse.

Godse, seorang nasionalis Hindu, anggota dari Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS). Berdiri sejak 1925, RSS menjadi penganut nasionalisme Hindu garis keras. Godse membunuh Gandhi, karena tak setuju ide rekonsilisasi antara Hindu dan Islam.

Memang, memang sejak berkuasa dari 1947 hingga 1980an, partai Kongres tak sepenuhnya berhasil menyelesaikan berbagai persoalan mendasar rakyat India, terutama soal ekonomi. Situasi ini yang menjadi lahan subur bagi gerakan nasionalis Hindu.

Momentumnya, pada 1992, kaum nasionalis Hindu berhasil memobilisasi ratusan ribu orang untuk menghancurkan masjid Babri, salah satu masjid tertua (berdiri 1527) dan paling dihormati oleh umat Islam India.

Ditambah lagi, pemerintahan Kongres yang terakhir, Manmohan Singh, makin membawa India dalam jebakan neoliberalisme. Di tahun 2007, sebanyak 80 persen rakyat India hidup kurang dari 20 rupee per hari (sekitar Rp 4000).

Situasi itu menjadi lahan subur bagi pasang politik nasionalisme Hindu. Dan akhirnya, pada 2014, Bharatiya Janata Party atau Partai Rakyat India berhasil menang pemilu dan mengantarkan Narendra Modi sebagai Perdana Menteri.

Di bawah pemerintahan Modi, supremasi nasionalis Hindu menguat drastis. Kelompok minoritas, terutama muslim dan Kristen, makin sering dipersekusi. Puncaknya, keluarnya Citizenship Amandement Act (CAA).

CAA memberi peluang lebar kepada imigran yang beragama Hindu, Sikh, Buddha, Jains, Parsi dan Kristen yang berasal dari 3 negara mayoritas muslim, yakni Bangladesh, Pakistan, dan Aghanistan, untuk mendapat kewarganegaraan India.

Masalahnya, CAA ini  dianggap diskriminatif. Sebab, hanya diberikan pada non-muslim saja, tetapi tidak pada imigran muslim. Tidak hanya itu, sebagai negara sekuler, tak etis mencantumkan kategori agama dalam hak mendapatkan kewarganegaraan.

Ditambah lagi, ada isu yang menyebutkan, setelah pemberlakuan CAA ini, ada pendataan penduduk (NRC)–yang selama ini berlaku di Assam—yang akan memaksa setiap warga membuktikan ke-Indiannya (sudah menetap atau lahir di India sebelum Maret 1971).

Tentu saja, ini tak adil bagi muslim. Jika mereka tak bisa membuktikan kewarganegarannya, maka mereka akan dianggap warga ilegal. Sementara non-muslim, mereka bisa lolos dengan menggunakan CAA.

Diperkirakan, jutaan muslim akan menjadi warga illegal jika kebijakan itu benar-benar diberlakukan.

Dan jelas sekali, ini hanya merupakan satu jalan untuk mengantarkan cita-cita kaum nasionalis Hindu: menjadikan India sebagai negara Hindu.

Dan, jika itu terjadi, maka tumpaslah gagasan dan cita-cita nasionalisme Gandhi. Semoga tidak.

Raymond Samuel

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid