Musdah Mulia: Hukuman Mati Bertentangan dengan Agama dan Kemanusiaan

Hukuman mati terus menjadi perdebatan keras di Indonesia. Terutama karena pemerintah masih menggunakan hukuman mati sebagai jalan pintas untuk melawan kejahatan berat, seperti seperti terorisme, pengedaran narkoba, dan pembunuhan berencana.

Indonesia adalah satu dari 58 negara di dunia yang masih memberlakukan hukuman mati. Pemerintah Indonesia sangat yakin, metode penghukuman ini bisa memberi ganjaran setimpal kepada pelaku kejahatan sekaligus menciptakan efek takut kepada calon pelaku kejahatan serupa. Baru-baru ini, melalui Perppu nomor 1 tahun 2016, pemerintah memperluas ancaman hukuman mati kepada pelaku kekerasan seksual.

Namun, tidak sedikit juga yang menentang hukuman mati ini. Selain aktivis pro-demokrasi dan HAM, juga banyak intelektual, pemuka agama, politisi, dan budayawan. Bagi mereka, hukuman mati bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM. Sudah begitu, hukuman mati juga tidak terbukti memberikan efek jera.

Nah, untuk mengulas persoalan ini lebih luas: bagaimana melihat hukuman mati ini, apa dampaknya, dan bagaimana kita harus bersikap, Siti Rubaidah dari berdikarionline.com telah mewancarai Prof. Dr. Musdah Mulia. Beliau banyak bersuara menentang hukuman mati.

Beliau adalah ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) dan pengajar di UIN Syarif Hidayatullah. Beliau juga banyak bicara soal feminisme dan Islam. Berikut petikan wawancaranya:

Mengapa Ibu sangat gencar memperjuangkan dihapuskannya hukuman mati ini?

Sedikitnya ada delapan alasan mengapa perlu penghapusan hukuman mati. Pertama, hukuman mati bertentangan dengan esensi ajaran semua agama dan kepercayaan yang mengajarkan pentingnya merawat kehidupan sebagai anugerah terbesar dari Tuhan, sang Pencipta. Dalam Islam misalnya, seluruh ajarannya memihak kepada penghargaan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang terbaik dan sempurna. Hukuman mati berarti pelecehan terhadap Kebesaran dan Kekuasaan Tuhan. Tidak satu pun berhak mengakhiri hidup manusia, kecuali Dia sang Pencipta. Dia lah pemberi kehidupan dan Dia pula sepatutnya penentu kematian. Bukan manusia atau makhluk lain. Apa pun alasan dan motivasinya. Ajaran agama harus akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Agama sepenuhnya harus pro-kemanusiaan. Kedua, hukuman mati bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Studi mendalam mengenai latar belakang dan penggunaan hukuman mati di dunia menunjukkan bahwa dewasa ini hukuman mati dilakukan di negara-negara yang kurang demokratis. Karena itu, penting memahami mengapa kebanyakan negara demokrasi menghapuskan hukuman mati. Ketiga, hukuman mati bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Pelaksanaan hukuman mati selalu mencerminkan bentuk penegasian atas hak hidup manusia, hak asasi yang tidak boleh dikurangi sedikit pun (non-derogable) dalam kehidupan manusia. Hukuman mati sangat merendahkan martabat manusia. Keempat, hukuman mati hanya sebagai alat penindasan. Sejarah panjang penggunaan hukuman mati membuktikan bahwa ini lebih sering dipakai sebagai alat penindasan terhadap kelompok-kelompok kritis, pro demokrasi, yang dituduh sebagai pemberontak, demi merebut dan mempertahankan suatu kekuasaan. Contoh nyata kasus-kasus hukuman mati terhadap pemberontak di Hungaria, Taiwan, Somalia, dan Suriah. Kelima, hukuman mati hanya sebagai tindakan pembalasan dendam politik. Lihat saja apa yang terjadi dengan Zulfikar Ali Bhutto di Pakistan (dieksekusi pada l 4 April 1979 karena divonis membunuh lawan politiknya). Jadi, alasannya sangat politis. Bukan untuk membangun keadilan dan kesejahteraan. Keenam, hukuman mati sangat sering dijatuhkan pada orang yang tidak terbukti bersalah. Pelaksanaan hukuman mati sering dilakukan secara ceroboh, tanpa tanda bukti sama sekali. Ketujuh, hukuman mati sering digunakan sebagai cara yang paling efektif untuk menghilangkan jejak penting dalam suatu perkara atau penghilangan tanda bukti dalam suatu kasus intelijen. Kedelapan, hukuman mati ternyata tidak membuat pelaku kejahatan berkurang atau menjadi jera. Studi mendalam terhadap negara-negara yang masih memberlakukan hukuman mati membuktikan bahwa angka kriminalitas di negara-negara tersebut meningkat setiap tahun secara signifikan.

Apa landasan hukum dan dasar dihapuskannya hukuman mati ini, dan mengapa Indonesia harus mengindahkannya?

Indonesia telah meratifikasi sejumlah ketentuan internasional yang di dalamnya mengandung ketentuan penegakan demokrasi dan hak asasi manusia, khususnya hak paling mendasar, yakni hak hidup. Hak hidup dan penghapusan segala bentuk hukuman mati dinyatakan, antara lain, dalam Deklarasi Universal HAM (1948), Konvensi Perlindungan Hak Asasi Manusia Dan Kebebasan Mendasar (1950), dan Piagam Kebebasan Mendasar Uni Eropa (2002). Dalam instrumen HAM yang disebutkan terakhir dinyatakan bahwa: Pasal 2:  (1) Setiap orang mempunyai hak atas hidup; (2) Tidak seorang pun layak dihukum mati atau digantung. Pasal 19: (1) Pengusiran paksa secara kolektif dilarang; (2) Tidak seorang pun patut diusir, dibuang atau diekstradisi ke negara dimana terdapat resiko serius bahwa ia akan dihukum mati, siksaan atau perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi lainnya atau menjatuhkan martabat manusia.

Ada contoh negara-negara yang sudah menghapus hukuman mati dan bagaimana penerapannya di negara masing-masing?

Kondisi Indonesia ini sangat bertolak-belakang dengan kecenderungan dinamika di tingkat internasional yang mulai menghapus praktek hukuman mati. Sebagai informasi, dari 140 negara di dunia yang menjadi anggota PBB, sebanyak 98 negara di antaranya telah menghapus hukuman mati secara keseluruhan, 7 negara menghapus hukuman mati untuk kejahatan umum, dan 35 negara lainnya melakukan moratorium terhadap eksekusi mati. Sementara itu, 58 negara di dunia, termasuk Indonesia, yang masih memberlakukannya.

Salah satu alasan pemberlakuan hukuman ini biasanya dihubungkan dengan upaya memberikan efek jera terhadap pelakunya. Apa pendapat Ibu?

Fakta sosiologis menjelaskan bahwa hukuman mati tidak membuat jera pelaku kejahatan. Negara-negara yang masih tetap memberlakukan hukuman mati membuktikan bahwa angka kriminalitas di negara tersebut tidak berkurang. Bahkan, ada kecenderungan tingkat kriminalitas di Negara-negara yang menghapuskan hukuman mati lebih rendah. Bagi saya, solusinya adalah mewujudkan masyarakat yang beradab dan taat hukum melalui langkah-langkah konkret berikut:

Pertama, tingkatkan kualitas dan mutu pendidikan masyarakat melalui pendidikan yang murah, berkualitas dan terjangkau oleh seluruh masyarakat, khususnya di kalangan kelompok miskin dan tidak mampu.

Kedua, berantas semua bentuk korupsi, suap dan pungli. Tingkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembukaan lapangan kerja yang seluas-luasnya dan pembuatan kebijakan ekonomi yang sungguh-sunguh berpihak kepada rakyat kecil.

Ketiga, tingkatkan kualitas kesehatan masyarakat melalui penyediaan sarana dan prasarana kesehatan yang berpihak pada kelompok kecil, dan masyarakat terpencil.

Keempat, tingkatkan kualitas institusi peradilan melalui revisi undang-undang yang diskriminatif, rekrutmen aparat peradilan yang bermutu dan profesional,  serta reformasi birokrasi dan administrasi peradilan sehingga memihak kepada keadilan dan kebenaran.

Kelima, tingkatkan rasa keadaban masyarakat melalui sosialisasi dan internalisasi  nilai-nilai budi-pekerti dan ajaran agama yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan di semua levelnya mengarah kepada pembentukan karakter peserta didik.

Baru-baru  ini pemerintah Jokowi-JK telah mengesahkan  Perppu Nomor 1 Tahun 2016 yang, antara lain, memuat  hukuman mati dan hukuman kebiri kimiawi didalamnya sebagai pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual. Bagaimana pendapat Ibu?

Saya sangat tidak setuju pada kebijakan ini. Pemerintah Jokowi-JK tidak konsisten pada upaya penegakan demokrasi dan HAM. Demikian pula dengan hukuman kebiri. Hukuman kebiri membenarkan pandangan bahwa kejahatan seksual hanya berurusan dengan alat kelamin manusia, padahal sejatinya sumber kejahatan itu ada pada pikiran manusia.

Solusi terbaik untuk kejahatan seksual adalah hukum penjara yang lama dan upaya memberikan pendidikan seksual yang komprehensif kepada seluruh masyarakat, khususnya kaum muda dan remaja. Pendidikan seksual yang komprehensif  merupakan akumulasi dari pendidikan tentang anatomi tubuh manusia, kesetaraan gender, hak dan kesehatan reproduksi, pendidikan nilai-nilai agama dan moralitas. Sejumlah negara yang menerapkan bentuk pendidikan seksual ini membuktikan bahwa mereka yang telah mendapatkan pendidikan menjadi individu yang matang, mengerti tentang tubuhnya, menghargai tubuh orang lain seperti menghargai tubuh sendiri, mengerti tentang hak dan kesehatan reproduksi serta sadar akan pentingnya menghormati sesama manusia sbg implementasi ajaran agama yang paling esensial.

Presiden perlu mendengar pendapat lembaga-lembaga Hak Asasi Manusia, sebagai lembaga negara dalam membuat keputusan terkait isu hak asasi, disamping lembaga-lembaga lain.

Menurut  ibu, selain termaktub dalam Perppu No 1 Tahun 2016, Adakah produk hukum lain yang memberlakukan hukuman mati, termasuk di KUHP?

Salah satu persoalan dalam konteks berlanjutnya praktek hukuman mati di Indonesia adalah banyaknya peraturan perundang-undangan yang di dalamnya masih mencantumkan pasal ancaman hukuman mati. Perkembangan ini tentunya tidak sejalan dengan upaya ratifikasi instrument HAM internasional, seperti Kovenan tentang hak-hak sipil dan politik, yang mengharuskan upaya penyelarasan dalam konteks hukum di tingkat nasional. Instrumen HAM itu, dan bahkan juga Konstitusi hasil Amandemen, sejatinya telah menegaskan jaminan atas hak hidup. Adanya masalah di sektor peraturan ini menimbulkan implikasi dimana penegak hukum pun menggunakan pasal hukuman mati itu atas nama memberantas kejahatan.

Perbaikan di sektor peraturan merupakan jalan yang sangat penting untuk mendorong penghapusan hukuman mati di Indonesia. Upaya perbaikan ini sejatinya terbuka melalui agenda revisi KUHP yang akan dilakukan. KUHP sendiri merupakan warisan kolonial yang belum pernah direvisi dan merupakan peraturan pertama di Indonesia yang memiliki delik ancaman hukuman mati. Meski demikian, upaya memastikan terjamin dan terlindunginya hak  hidup di dalam revisi ini tampaknya masih menghadapi kendala mengingat tetap kuatnya kehendak pemerintah dan legislator di DPR yang ingin mempertahankan hukuman mati.

Bagaimana pendapat ibu dengan keputusan pemerintah Indonesia tempo hari yang menjatuhkan eksekusi mati terhadap warga Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso, yang karena tekanan publik yang kuat, pemerintah membatalkannya?

Itulah bukti ketidakbijaksanaan pemerintah dalam melihat sebuah perkara.  Saya setuju mengenai pentingnya kita memperberat hukuman terhadap pelaku pengedar narkoba dan semacamnya. Saya setuju dengan isu darurat narkoba, namun dalam pelaksanaan hukumannya perlu bijak memilah. Apakah yang terpidana itu betul-betul pelakunya ataukah dia hanyalah korban sindikat atau korban trafficking. Kasus itu kemudian membuktikan bhw Mary hanyalah korban dan untunglah pemerintah Filipina serius membela warganya. Pendekatan pemerintah Filipina dan juga desakan aktivis HAM baik di dalam negeri maupun di tingkat internasional membuat pemerintah membatalkan hukum mati terhadap Mary. Artinya, pemerintah hendaknya belajar dari kasus ini bahwa hukuman mati bukanlah solusi terbaik untuk menghentikan pengedaran narkoba, dan cara-cara primitif tersebut sudah lama ditinggalkan oleh negara-negara pro-demokrasi di dunia. []

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid