Pemberontakan Kapal Zeven Provinciën

5 Februari 1933, pelaut-pelaut Indonesia melancarkan pemberontakan. Mereka mengambil alih kapal perang milik Angkatan Laut Belanda: De Zeven Provinciën atau Kapal Tujuh.

Pemberontakan itu, yang dimotori oleh kelasi-kelasi berdarah Indonesia, memprotes pemotongan gaji 17 persen dan perlakuan diskriminatif terhadap pelaut pribumi. Meski kalah, pemberontakan itu mempertegas keikutsertaan pelaut-pelaut dalam arus revolusi Indonesia.

Bagaimana pemberontakan itu bermula?

Di tahun 1930-an, sebuah krisis menghunjam jantung kapitalisme. Bermula di Amerika Serikat, lalu menjalar ke Eropa, lalu menyeberang ke Hindia-Belanda. Krisis ini sering disebut “malaise”, tapi orang pribumi menyebutnya “zaman meleset”.

Merespon krisis itu, pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan kebijakan mengencangkan ikat pinggang. Gaji dan tunjangan dipangkas habis-habisan. Jumlah pegawai dikurangi. PHK massal terjadi di mana-mana.

Gerakan buruh pun melawan. Pemogokan menghantui seluruh tanah Hindia-Belanda, termasuk kota Surabaya. Di kota itu, pemogokan besar dilakukan oleh para pelaut yang berdarah Indonesia.

Belanda ketir-ketir. Untuk mencegah solidaritas dan pemogokan meluas, kabar tentang pemogokan pelaut di Surabaya ditutup rapat-rapat. Tak secuil informasi pun dibolehkan beredar, apalagi di kalangan pelaut.

Namun, siapa yang bisa menghalau kabar, meski menggunakan sensor paling ketat. Kabar pemogokan pelaut di Surabaya terdengar oleh pelaut-pelaut Indonesia yang menjadi kelasi di kapal Seven Provincien. Saat itu, kapal Seven Provincien tengah berlabuh di Sabang, Aceh.

Ketika pemogokan itu meletus, para perwira pelaut Belanda berusaha mengisolasi kejadian ini. Segala pemberitaan mengenai pemogokan dilarang, dan orang-orang dilarang membicarakan kejadian itu.

Maud Boshart, seorang pelaut Belanda, yang pertama sekali mendengar kabar itu lewat radio. Meski berdarah Belanda, Boshart dianggap berpikiran radikal. Karena itu, ia tak menyimpang sendiri kabar itu, tetapi menyebarkannya.

Sehari setelah kabar itu, tepatnya 28 Januari 1933, menjelang hari hari raya Lebaran, para pelaut Indonesia dan Belanda menggelar rapat tertutup. “Rapat itu pura-pura membahas rencana penyambutan lebaran, tetapi sebetulnya mempersiapkan pemogokan,” tulis Harian Ra’jat, koran Partai Komunis Indonesia (PKI), tentang kejadian itu.

Perwira-perwira Belanda sempat mencurigai rapat itu. Maklum, rapat itu tak hanya diiikut pelaut pribumi, tetapi juga oleh sebagian pelaut Belanda. Pertemuan itu ditutup dengan menyanyikan lagu “Internasionale,” lagu gerakan buruh internasional yang terkenal itu.

Pada 30 Januari, kabar pemogokan pelaut di Surabaya kembali terdengar oleh Boshart. Merespon kabar terbaru itu, para pelaut di Kapal Tujuh kembali melakukan rapat. Diantara yang ikut rapat adalah Rumambi, Paraja, Hendrik dan Gosal.

Rupanya, sang Komandan kapal, Kapten Eikenboom, sudah mencium kabar soal rapat-rapat itu. Agar keresahan tidak segera meluas, ia mengelar briefing. “Saya harap, jangan sampai kalian meniru contoh yang jelek untuk mengadakan pemogokan di kapal ini,” katanya saat briefing.

Pidato bernada ancaman itu tidak menurunkan semangat perlawanan para kelasi dan matros. Paraja dan Rumambi, dua kelasi berdarah Indonesia, mulai menyiapkan aksi pemberontakan di atas kapal. Mereka berencana membawa kapal kebanggan Angkatan Laut Kerajaan Belanda ini ke kota Surabaya.

Paraja dan Rumambi mendorong sebuah pertemuan di darat. Hadir dalam pertemuan itu, antara lain Gosal, Kawilarang, Kaunang, Posuma, Hendrik, Sudiana, Supusepa, Luhulima, Abas, Tuanakotta, Pelupessy, Delakrus, Suparjan, Achmad, Tuhumena, J Parinusa dan Manuputi. Hadir pula Maud Boshart dan pelaut-pelaut Belanda yang setuju dengan rencana pemberontakan.

Begitulah, pada 4 Februari 1933, sekitar pukul 22.00 malam, peluit panjang berbunyi untuk menandai dimulainya pemberontakan. Awak kapal melakukan pengambilalihan kendali kapal dari tangan perwira Belanda. Awak kapal keturunan Indonesia dipimpin oleh Paraja dan Gosal, sedangkan awak kapal Belanda dipimpin oleh Boshart dan Dooyeweerd.

Dua perwira Belanda yang memimpin kapal, Vels dan Bolhouwer, berhasil meloloskan diri dari pemberontak, setelah menjebol jendela kapal. Keduanya melompat ke laut dan berenang hingga ke daratan.

“Kapal Tujuh yang usang itu datang dari Oleh-Le ke selat sunda dipimpin oleh seorang kelasi bangsa Indonesia yang berkulit hitam itu dan di dorong maju oleh mesin-mesin yang dilayani oleh seorang Korporal masinis bangsa kulit putih,” tulis Harian Ra’jat.

Pada tanggal 5 Februari, pimpinan pemberontakan mengeluarkan siaran pers dalam tiga bahasa, yaitu Belanda, Inggris, dan Indonesia. Intinya, mereka memberitahu bahwa kapal Zeven Provincien sudah di bawah kendali awak kapal dan akan segera berlayar ke kota Surabaya.

“Maksud kami adalah memprotes pemotongan gaji yang tidak adil dan menuntut agar rekan-rekan kami yang ditahan pada waktu berselang segera dibebaskan,” tulis para pemberontak dalam siaran persnya.

Mendengar kabar pemberontakan ini, belanda dibuat kalang-kabut. Mereka langsung mengirimkan sebuah kapal, namanya kapal Aldebaren, untuk melakukan pengejaran.

Namun, begitu kapal Aldebaren mendekat, Kawilarang—yang bertugas di bagian hulu tembak kapal—memberikan sinyal akan menembak jika kapal tersebut berani mendekat. Kapal Aldebaren keder, lalu berhenti mengejar.

Pemerintah Hindia-Belanda makin naik pitam. Kali ini mereka mengirimkan kapal penyebar ranjau, Goudenleeuw, untuk melakukan pengejaran. Lagi-lagi, kapal ini tidak berani untuk terlalu mendekat. Pasalnya, kapal ini lebih kecil dan kalah persenjataan dibanding Kapal Tujuh.

Kapal tujuh terus berlayar menuju kota Surabaya. Lagu “Indonesia Raya” dan “Internasionale” silih berganti bersenandung di atas kapal. Pada 5 Febuari, kapal itu sudah berada di pulau Berueh, lalu 6 febuari di pulau Simeuleu, 7 februari di Sinabang. Dan, pada 10 Februari, kapal ini masuk selat Sunda.

Akhir Pemberontakan

Begitu memasuki selat sunda, Belanda kembali mengirimkan kapal perang. Namanya: Java, yang dikawal dua kapal torpedo: Piet Hien dan Evetsen.  Belum cukup juga, Belanda mengirim lagi dua kalap perang terbaru, yaitu Gouden Leeuw. Juga sebuah pesawat pembom Dornier.

Van Dulm, komandan kapal perang Java, mengirimkan telegram ultimatum kepada kapal tujuh untuk segera menyerah. Namun, Martin Paradja dan kawan-kawan pantang menyerah. “Kami tidak mau diganggu dan akan meneruskan pelayaran menuju Surabaya,” demikian balasan Kapal Tujuh.

Tak berselang, pesawat Dornier mulai berputar-putar di atas Kapal Tujuh. Juga menebar ancaman. Tetapi Martin Paraja dan kawan-kawan tak juga mau menyerah.

Akhirnya, tepat hari Jumat, 10 Februari 1933, tepat Jam 09.18 pagi, bom pertama berukuran 50 kg mulai menghantam geladak Kapal Tujuh. Disusul bom kedua dan seterusnya. Tetapi para pemberontak memberi perlawanan gagah-berani.

Banyak pemberontak yang terluka. “J Pelupessy mendapat luka, sedangkan Sugiono kehilangan satu biji matanya,” tulis Maud Boshart dalam memoarnya untuk mengenang peristiwa heroic tersebut.

Rupanya, Kapal Tujuh tak dilengkapi meriam penangkis serangan udara. Walhasil, kapal ini hanya menjadi bulan-bulanan pesawat pengebom.  Martin Paradja, sang pemimpin pemberontakan, tewas diterjang bom.

Sebanyak 20 awak Indonesia dan 3 awak belanda juga tewas akibat serangan itu. Diantara yang gugur adalah Sagino, Amir, Said Bini, Miskam, Gosal, Rumambi, Koliot, Kasueng, Ketutu Kramas, Mohammad Basir, dan Simon.

Sementara itu, 545 kelasi berdarah Indonesia dan 81 awak berdarah Belanda ditahan akibat pemberontakan itu. Kawilarang, yang dituding sebagai memimpin pemberontakan, dijatuhi hukuman 18 tahun penjara. Maud Boshart mendapat hukuman 16 tahun penjara. Awak-awak lainnya dijatuhi hukuman 6 tahun dan 4 tahun.

Tahanan bekas pemberontakan Kapal Tujuh ditahan di sebuah pulau sepi di kepulauan seribu: Pulau Onrust. Sebagian besar diantara mereka meninggal dan dimakamkan di Pulai itu.

Dampak Pemberontakan

Meski pemberontakan patah, tetapi Belanda terus dinaungi rasa ketakutan. Belanda khawatir, dampak pemberontakan bisa memicu revolusi.

Jangan main-main, revolusi Rusia 1917, yang menggulingkan kekaisaran Nicolas II, juga didahului oleh pemberontakan di atas kapal. Namanya Pemberontakan Kapal Potemkin.

Karena itu, Belanda menghajar siapa pun yang berusaha menyiarkan atau mengapresiasi pemberontakan itu. Koran Soeara Oemoem, koran yang berkantor di Surabaya, langsung dibredel. Salah seorang wartawannya, Raden Tahir Tjindarboemi, ditangkap dan divonis bersalah karena menulis soal pemberontakan Kapal Tujuh.

Rapat-rapat dan pertemuan massal dilarang. Kegiatan bersifat politik juga dibatasi. Surat kabar mendapat pengawasan sangat ketat. Orang-orang kiri, baik yang dituding PKI bawah tanah maupun PNI baru, diawasi ketat gerak-geriknya. Hindia-Belanda menjelma menjadi Negara Orwellian.

Beberapa pejabat Belanda menunding orang-orang PKI bawah tanah dan PNI baru menjadi dalang dalam pemberontakan itu. Pasalnya, sebagian besar awak Kapal Tujuh adalah anggota Serikat Buruh, Inlandsche Marine Bond (IMB).  Serikat pelaut ini terpapar nasionalisme dan marxisme.

Begitulah, kisah pemberontakan Kapal Tujuh alias De Seven Provincien. Merdeka!

PIJAR SURYA KELANA

Foto: Kapal Tujuh Provinsi (zeven provincien) saat dikawal Kapal Torpedo, sumber: Indonesia Zaman Doeloe

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid